Meniti Jalan Menuju Jannah Firdaus-Nya

Minggu, 29 Oktober 2017

Pandangan Islam Terhadap Sistem Perpajakan di Indonesia


A.      DEFINISI

Secara etimologi pajak dikenal dengan istilah Dharibah. Dharibah adalah isim mufrad (kata tunggal) dari dharib yang artinya sesuatu yang diwajibkan pemerintah kepada masyarakat dari hartanya.[1]
Dalam kitab Mu’jamul al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’ashirah, Dharibah adalah pemerintah yang mewajibkan pajak kepada setiap orang dari kepemilikan, pekerjaan, dan penghasilan untuk kemaslahatan pemerintah yang bersifat jabariyyah (sifat yang tidak ada ikhtiyar manusia), hal ini dibebankan kepada semuan masyarakat.[2] Dalam kitab Syamsy al-‘Ulum wa Dawau Kalam al-A’rabi min al-Kulum definisi Dharibah adalah sesuatu yang dibebankan kepada manusia dari jizyah, kharaj, dan usyur.[3]
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa istilah jizyah, kharaj dan usyur temasuk istilah lain dari pajak, seperti yang terdapat dalam kamus Munawir. Dalam kamus al-Munawwir ketiga istilah tersebut diartikan pajak.[4]
Adapun definisi pajak secra terninologi adalah, Yusuf al-Qardawi mendefinisikan pajak berlandaskan pendapat para ahli keuangan yakni kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat timbal balik dari negara. Pajak juga difungsikan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisir sebagai tujuan ekonomi, sosial, politik, dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara.[5]

B.       MACAM-MACAM PAJAK

1.        Pajak dalam Islam

Terdapat beberapa istilah pajak dalam islam yakni kharâj, jizyah, dan usyur. Berikut penjelasan istilah-istilah tersebut,
1.      Kharaj.
Kharaj adalah pajak atas tanah atau bumi yang pada awalnya dikenakan terhadap wilayah yang ditaklukkan melalui perang ataupun karena pemilik mengadakan perjanjian damai dengan pasukan muslim.[6]
Dalam kitab Ahkâmul Kharâj fi al-Fiqh al-Islami, definisi kharâj dibagi menjadi dua, secara umum dan khusus. Definisi kharâj secara umum adalah harta-harta yang pemerintah menjadi pengurus dalam penarikan pajak dan penyalurannya sesuai pada haknya, harta-harta tersebut adalah zakat, jizyah, kharâj (definisi secara khusus), usyur dan lain sebagainya dari penghasilan Daulah Islamiyah. Sedangkan definisi kharâj secara khusus adalah beban atau pajak yang dibebankan imam kepada tanah kharâj yang dikelola (tanah yang tumbuh).[7]
2.    Jizyah.
Jizyah artinya pajak tanah. Bentuk pluralnya adalah jizan aw jizâan. Dalam kitab Lisanul Arabjizyah artinya sesuatu yang diambil dari ahlu dzimmah[8].[9] Menurut Wahbah az-Zuhaili, Jizyah adalah harta yang diambil dari ahlu dzimmah karena harta tersebut melindungi mereka dari diperangi.[10]
Menurut al-Mawardi jizyah adalah pungutan harta yang dikenakan atas setiap kepala. Kata jizyah itu diambil dari kata al-jaza (balasan). Makna ini memiliki dua pengertian, pertama balasan atas kekafiran mereka dengan mewajibkan jizyah itu bagi mereka sebagai penghinaan atas kekafiran mereka. Kedua, sebagai balasan atas keamanan yang kita berikan kepada mereka dengan mengambil jizyah tersebut dari mereka dengan tidak terpaksa.[11]
        3.  Usyur.
Istilah Usyur memiliki dua makna yaitu Usyur Shadaqah dan Usyur Tijarah.[12] Usyur shadaqah adalah sepersepuluh persen dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan. Ini termasuk zakat yang diambil dari seorang muslim dan didistribusikan sebagaimana distribusi zakat. Sehingga Usyur ini termasuk dalam pembagian zakat dan lebih menggunakan istilah zakat.[13] Usyur tijârah adalah sepersepuluh persen diambil dari pedagang-pedagang kafir yang memasuki wilayah Islam karena membawa barang dagangan.
Dalam kitab Fikih Ekonomi Umar bin al-Khattab mendefinisikan usyur tijârah dengan harta yang diambil petugas negara yang dipersiapkan untuk dagang ketika melintasi daerah Islam.[14]

2.         Pajak di Indonesia[15]

Di saat ini terdapat beberapa macam pajak yang sering kita jumpai di Indonesia, diantaranya:
a.       Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhadap tanah, lahan, dan bangunan yang dimiliki seseorang.
b.      Pajak Penghasilan (PPH), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
c.       Pajak Pertambangan Nilai (PPN)
d.      Pajak Barang dan Jasa
e.       Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
f.       Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap sistem perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
g.      Pajak Transit/Person dan lain sebagainya.

C.      HUKUM

1.        Pajak dalam Islam

Berdasarkan istilah-istilah di atas (al-Jizyah, al-Kharaj, dan al-‘Usyur), kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama dari zaman sahabat, tabi’in hingga sekarang berbeda pendapat di dalam menyikapinya.
Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
Firman Allah Ta’ala:
يا أيها الذين أمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”. (QS. An-Nisa’: 29).
Hadits yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. ”[17] (HR Ibnu Majah I/570 no.1789. Hadits ini dinilai dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani karena di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Hamzah (Maimun), menurut imam Ahmad bin Hanbal dia adalah dha’if hadistnya, dan menurut Imam Bukhari, ‘dia tidak cerdas’).
Mereka mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i yang menetapkan adanya hak wajib pada harta selain zakat hanyalah bersifat anjuran (bukan kewajiban yang harus dilaksanakan), seperti hak tamu atas tuan rumah. Mereka juga mengatakan bahwa hak-hak tersebut hukumnya wajib sebelum disyariatkan kewajiban zakat, namun setelah zakat diwajibkan, maka hak-hak wajib tersebut menjadi mansukh (dihapuskan/dirubah hukumnya dari wajib menjadi sunnah).
Pendapat kedua: Diantara ulama yang memperbolehkan pajak diantara lain adalah, Muhammad bin Muhammad al-Ghazali[18] termasuk ulama yang membolehkan pemimpin membebankan biaya kepada orang kaya untuk membantu biaya kepentingan negara seperti biaya perang. Berikut penuturan beliau dalam kitab al-Musthafa,
“Apabila kas negara kosong dan biaya tidak mencukupi untuk biaya militer, ditakutkan musuh akan masuk ke dalam negara Islam, atau muncul pemberontak dari pihak musuh yang bermaksud jahat. Maka diperbolehkan kepala negara memungut biaya dari orang kaya untuk mencukupi pembiayaan tentara. Karena telah kita ketahui apabila timbul dua bahaya maka hukum syara’ mengharuskan menolak bahaya yang lebih besar (bahaya yang mengancam jiwa dan harta) dengan bahaya yang lebih kecil (beban yang diberikan kepada orang kaya). Jika di negeri itu tidak terdapat kepala negara yang kuat yang dapat memelihara segala urusan negara dan menolak segala bahaya.”[19]
Dari penuturan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapat Muhammad bin Muhammad al-Ghazali memperbolehkan hal tersebut dengan syarat. Diantara syarat-syaratnya adalah, jika kas negara kosong, akan muncul bahaya yang lebih besar jika tidak memungut biaya dari orang kaya, dan tidak adanya kepala negara yang dapat memelihara segala urusan negara serta menolak segala bahaya.
Ibrahim bin Musa asy-Syathibi[20] (yang lebih terkenal dengan sebutan asy-Syathibi) senada dengan Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dalam hal pembolehan mengambil harta dari orang kaya. Yaitu jika Negara membutuhkan penambahan jumlah pasukan guna menjaga pos-pos perbatasan dan melindungi daerah kekuasaan yang semakin luas. Sementara baitul mal dalam keadaan kosong padahal kebutuhan pasukan juga meninggi dan sulit tercukupi. Maka menurut Asy-Syathibi seorang imam dalam keadaan tersebut dengan syarat imam yang adil, boleh menggunakan harta orang-orang kaya untuk menutupi keadaan atau kondisi yang sulit tersebut. Pungutan tersebut diambil sampai baitul mal terisi kembali.
Asy-Syathibi menjelaskan kebijakan pengambilan harta dari orang kaya sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, tidak terjadi pada era dulu. Dikarenakan harta di baitul mal telah mencukupi pembiayaan semua keperluan ummat. Asy-Syathibi berhujjah dengan meninjau dari sisi maslahat yang akan dicapai yakni terhindar dari bahaya yang akan diterima. Bahaya tersebut yakni jika imam tidak melakukan sistem ini maka kekuasaannya akan hancur, kemudian tempat tinggal seluruh masyarakat sangat dimungkinkan akan dikuasai musuh (orang-orang kafir).
Asy-Syathibi juga berpendapat jika dibandingkan antara bahaya ini (mengambil sebagian harta) dengan bahaya yang mungkin timbul (kalau kekuasaan jatuh ditangan musuh), maka para imam (pemimpin) berhak mengambil harta dari orang kaya.[21] Hal ini disebabkan jika kekuasaan jatuh ditangan musuh maka Syari’at Islam akan hancur dan Undang-Undang Islam tidak akan ditegakkan, bahkan kaum Muslimin akan dibantai dan dibinasakan.  

2.        Pajak di Indonesia[22]

Apakah pajak hari ini sudah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan para ulama di atas? maka jawabannya adalah tidak sesuai, hal itu dikarenakan beberapa sebab:
1.      Negara belum komitmen untuk menerapkan syariat Islam.
2.      Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil.
3.      Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya, bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah, pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.
4.      Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.
5.      Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
6.      Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.
7.      Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan baik, malah diberikan kepada perusahaan asing, yang sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.[23]






[1] Muhammad Rawasi Qal’ahji dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughahal-Fuqahâ, cet. ke-2, (Libanon: Darul Nafais, 1988), hlm. 213.
[2] Ahmad Mukhtar Abdul Hamid Umar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’âshirah, cet. ke-1, jilid 2, (ttp.: ‘Alimul Kutub, 2008), hlm. 1355.
[3] Niswan bin Sa’id al-Humari, Syamsy al-U’lum wa Dawâu Kalam al-A’rabi min al-Kulumi, jilid.6, cet. ke-1, (Damaskus: Darul Fikri, 1999), hlm. 3952.
[4] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997).
[5] Yusuf al-Qardawi, Fiqhu az-zakat, cet. ke-2, jilid 1, (Beirut, Muasasatur Risalah, 1973), hlm. 997.
[6]Abdurrahman, “An-Nadmu ad-Dharibah (2004)”, tesis (Palestina: Universitas Najahul Wathiniyah, 2004), hlm. 73.
[7] Muhammad Utsman, Ahkamu Kharâj fial-Fiqih Islami, cet. ke-1, (Kuwait: Darul Arqam,  1986), hlm. 13.
[8]Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuhu,Jakarta: Gema Insani,2017, jilid 8, hlm.
[9]Ibnu Mandzur, Lisânul Arab, (Qohiroh: Dar Tauqifiyah Li At-Turots, 2009), hlm. 621. Rajab Abdul Jawad Ibrahim, Mu’jamal-Musthalahât al-Islâmiyah fial-Misbahal-Munir, cet. ke-1, (Qahirah: Darul Afaqil Arabiyah, 2002),hlm. 48.
[10]Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuhu..., hlm. 58.
[11] Al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, ttp.: t.p, t.t. hlm. 113-114.
[12] Abu Sulaiman Hamdan bin Muhammad al-Khatabi, Ma’alimas-Sunan lial-Khatabi , cet. ke-1, Jilid 3, (ttp.: Muhammad Raghib at-Tabakh, 1932), hlm. 39.
[13]Wazarotul Auqhaf wa Syu’unil Islamiyah, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah,(Kuwait: Wazarotul Auqhaf wa Syu’unil Islamiyah. t.t.),  jilid. 30, hlm. 101.
[14]Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab, terj. Asmuni Solihan Zamarkhasyi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2006),hlm. 570.
[16] Muhammad Taki Utsman, Abhats Fiqhiyyah Fi Qadhaya Az-Zakat Al-Mu’ashirah, (Damaskus: Dar Al- Qolamt.t.), jild. 2, hlm.621-623

[17] Al-Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, cet. ke-4, (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2013),  hlm. 286,  no. 1789
[18] Khairuddin bin Mahmud ad-Dimasyqi, al-‘Alâm, (ttp.: Darul ‘Ilmi lil Malayyin. 2002), jilid. 7, hlm. 22
[19] Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Musthafa fi ‘Ilmi al-Ushul, cet. ke-1,(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1413 H),hlm. 177.
[20]Abi Ishaq asy-Syatibi, al-‘Itshâm, (Kairo: Darul Hadits, 2003), hlm.7
[21]Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi, al-I’tisham, jilid 3, (ttp.,: Maktabah at-Tauhid, t.t.),  hlm. 25-27.
0

0 komentar:

Posting Komentar