Meniti Jalan Menuju Jannah Firdaus-Nya

Selasa, 07 Maret 2017

HUKUM MENG-UPDATE STATUS DI MEDIA SOSIAL (MEDSOS)



      A.  Definisi
1.      Media Sosial
Media sosial adalah sebuah media online dengan para pengguna dapat berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi dalam blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umun digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.[1] Menurut Andreas Kaplan dan Michael Haenlein, media sosial adalah sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun atas dasar ideologi dan teknologi web 2.0, dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content.[2] Sedangkan menurut Teri Gamble dan Michael Gamble, ciri-ciri media sosial adalah sebagai berikut:[3]
1.)    Pesan yang disampaikan untuk satu orang atau lebih. Contohnya pesan melalui SMS ataupun internet.
2.)    Pesan yang disampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper.
3.)    Pesan yang disampaikan cenderung lebih cepat dibanding media lainnya.
4.)    Penerima pesan yang menentukan interaksi.
2.      Meng-update
Dalam kamus Oxford kata update didefinisikan sebagai kegiatan memberi informasi paling terkini tentang sesuatu kepada seseorang.[4] Bahasa ini kemudian diadopsi oleh Bahasa Indonesia dengan memberi kata imbuhan meng. Bagi pengguna medsos, istilah ini tidaklah asing. Karena kegiatan seseorang di media sosial tidak lepas dari menyebarkan berbagai informasi terkini dari yang mereka dapatkan.
B.     Sejarah Media Sosial
Media sosial bermula dari sebuah evolusi dari manipulasi dasar system telekomunikasi pada akhir tahun 1950-an. Di era tersebut muncul The Phreaking yang mengubah teknologi telepon dari perangkat statis sederhana ke sebuah tenaga dinamis alami. Kemudian berevolusi lagi menjadi media elektronik bernama Bulletin Board System yang diprakarsai oleh Ward Christensen yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya World Wide Web, Sosial Network dan aspek lainnya dalam internet.[5] Contoh media sosial yang telah berkembang hari ini adalah: facebook, twitter, instagram, whatsapp, dan lain-lain. Dengan jutaan penggunanya di seluruh dunia.

C.    Dasar Hukum

Dalam menghukumi media sosial ini penulis menitik beratkan pada virus suka update status di media sosial terutama status yang menjurus kepada kemaksiatan. Maka dalam hadits telah dijelaskan bahwa orang yang suka menceritakan kemaksiatannya tidak akan mendapatkan ampunan.
Hadits dari Abu Huroiroh Ra., Rosulullah SAW. bersabda:
كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافًى إِلَّا المُجَاهِرِيْنَ، وَ إِنَّ مِنَ المُجَا هَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَ قَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ، فَيَقُوْلُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ البَرِحَةَ كَذَا وَ كَذَا، وَ قَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَ يُصْبِحُ يُكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ.
Artinya: “Setiap umatku itu dimaafkan, kecuali orang-orang yang muhajir (suka menampakkan-nampakkan kejahatan/maksiatnya sendiri dengan rasa bangga, atau melakukan maksiat di depan umum, tahu jika salah tetapi dia terus melakukan maksiat tersebut). Sesungguhnya (termasuk) muhajir ialah jikalau seorang melakukan sesuatu perbuatan dosa di waktu malam, kemudian di pagi hari, sedangkan Allah telah menutupi keburukannya itu, tiba-tiba ia berkata –pada pagi harinya-: ‘Hai Fulan, saya tadi malam melakukan demikian, demikian.’ Orang itu diberikan kepadanya itu. (HR: Bukhori)[6]
Ampunan dan keselamatan harga dirinya tidak dapat diraih oleh para penyiar kemaksiatannya sendiri.[7] Demikianlah gambaran singkat orang yang menyebarkan status tentang perbuatannya sendiri di media sosial.

D.    Hukum Media Sosial Menurut Prespektif Islam

Media sosial bersifat duniawi. Maka Allah telah memberikan legalitas kepada para hambanya untuk dimanfaatkan sesuai koridor syar’i. Ia berfirman:
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَٰوَٰتٖۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٩
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS, Al-Baqoroh: 29)
Menurut Imam Ath-Thabari makna ayat tersebut adalah Allah menciptakan segala hal di bumi-Nya disertai dengan kemanfaatan untuk umat manusia. Adapun dalam konteks keagamaan ayat tersebut merupakan bukti kekuasaan Allah SWT. Sedangkan dalam konteks duniawi ia merupakan dalil bahwa bumi adalah tempat mencari penghidupan dan tempat untuk menunaikan ketaatan manusia terhadap Rabb-nya.[8] Dalam sebuah kaidah fiqih disebutkan bahwa hukum sarana adalah mubah (boleh).[9] Akan tetapi, hukum menggunakannya bisa berubah sesuai dengan maksud penggunanya. Kaidah tersebut ialah:
الوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَاُم الْمَقَاصِدِ    
“Setiap sarana memiliki hukum dari maksud yang dicapai.”[10]
Maknanya adalah bahwa setiap perbuatan yang menghantar kepada suatu maksud, hukumnya berbeda-beda tergantung hukum dari maksud yang dituju. Maka jika maksud yang hendak dituju wajib, maka hukum sarana menuju ke hal tersebut adalah wajib. Jika maksudnya haram, maksud sarananya juga haram. Apabila Sunnah, perbuatan menuju ke hal tersebut pun Sunnah. Begitu pula jika maksudnya makruh (dibenci), maka untuk menuju ke hal itu pun hukumnya makruh. Juga sarana menuju hal yang mubah (boleh), hukumnya pun mubah.[11]
Kaidah di atas bersifat umum untuk semua amalan, baik taklifi maupun tidak. Maksud sarana di atas adalah jalan yang dengan perkara atau amalan tersebut menghantarkan kepada perkara lain yang di dalamnya ada maksud tertentu. Maka jika maksud yang hendak dituju wajib, maka wasilah yang ditempuh pun wajib hukumnya. Begitu pula dengan maksud yang dituju lainnya, baik haram, mustahab (Sunnah), mubah (boleh), makruh (dibenci).[12] Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa media sosial dihukumi seperti hukum asalnya, yaitu mubah. Akan tetapi, sebagai sarana komunikasi dan informasi, hukumnya bisa berubah tergantung maksud yang hendak dicapai dari keduanya.

E.     Bentuk-Bentuk Update Status Di Media Sosial Beserta Hukum Masing-Masing

1.      Status berdakwah

Dalam konteksnya berdakwah merupakan hal yang wajib dilakukan oleh setiap muslim.[13] Karena di dalamnya ada tuntutan untuk  ber-amar ma’ruf nahi mungkar, yaitu mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran. Sebagaima perintah Allah SWT dalam surat Ali Imron ayat 104,
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Dakwah yang dimaksud oleh ayat di atas adalah dakwah yang menunjukkan kepada keimanan, mendorong kepada kebaikan, dan memotivasi untuk bersyukur terhadap nikmat Alah SWT. Selain itu dakwah tersebut harus mencegah dari perbuatan yang dilarang oleh syari’at.[14]
Menurut Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, media sosial yang digunakan sebagai sarana dakwah dihukumi mubah (boleh). Artinya dakwah dalam media sosial harus selaras dengan syariat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta dalil-dalil Syar’i lainnya.[15]

2.      Status informasi atau berita

Hadirnya media sosial juga berfungsi menggantikan peran media massa konvensional dalam menyebarkan berita-berita. Informasi yang disebarkan melalui komunitas sosial yang memiliki minat dan cara berpikir serupa akan berfungsi selaku penyaring antara berita yang relevan dan yang tidak relevan. Ini sangat membantu, namun kemudahan mendapatkan informasi justru menjadikan pengguna internet mengalami fenomena Information overload (terlalu banyak informasi).[16] Begitulah alasan banyaknya berita dan informasi yang tersebar di media sosial. Akan tetapi mayoritas dari berita-berita itu tidak dapat dikonfirmasi kebenarannya. Berita tersebut bisa jadi salah, dan bisa jadi benar. Padahal ulama’ umat ini sangat melemahkan riwayat (berita) yang dzatnya diketahui namun keadaannya buta alias tidak dapat diketahui.[17]
Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurot: 6)
Maksud dari ayat di atas, bahwa setiap berita yang didapat hendaknya dicari kredibilitas berita tersebut, mengecek sumbernya dan mengenali dengan pasti pembawa berita tersebut supaya pasti kebenarannya. Hal inilah yang disebut Islam sebagai tabayyun. Yang artinya seseorang hendaknya mengenali berita yang didapatnya dan mengeceknya. Selain itu juga mencari kemaslahatan dari berita tersebut sebelum menyebarkannya ke khalayak sejelas mungkin.[18]
Dari dalil di atas, mengecek kebenaran berita yang didapat hukumnya wajib. Hal itu harus dilakukan sebelum berita itu disebarkan lewat status di medsos. Jika sudah jelas kebenarannya, maka tidak masalah menyebarkannya. Akan tetapi jika sulit mencari kejelasannya, maka sikap tawaquf (menahan diri untuk tidak menyebarkannya) itu jauh lebih baik. Karena Rosulullah SAW bersabda:
“Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta ketika ia membicarakan semua hal yang didengarnya.” (HR. Muslim)[19]
Selain efek dicap sebagai pendusta, menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya, tanpa disadari akan mengkibatkan tersakitinya individu atau kelompok.[20]

3.      Status keadaan diri yang bersifat pribadi

Seakan virus yang menyebar luas, munculnya media sosial hari ini menjadi ajang bagi netizen (masyarakat dunia maya) untuk mengekspresikan keadaan diri mereka dengan status. Bentuk status itu ada berbagai macam. Mulai dari yang berkaitan dengan kemaksiatan ataupun perkara yang kurang memiliki faedah. Berikut penjelasan singkatnya:

a.       Update perkara yang bukan kemaksiatan

Banyak contoh pengguna medsos yang gemar meng-update status kegiatannya. Bahkan sampai kegiatan ibadahnya pun di bagikan ke laman akun medsos-nya. Misalnya saja status yang mengabarkan bahwa penulisnya sedang dalam perjalanan ke suatu tempat. Atau ia baru saja mengerjakan sholat Sunnah. Lalu setelah status itu terpublikasi di medsos, maka banyak orang yang akan tertarik untuk meninggalkan komentar untuknya. Dalam komentar tersebut tidak akan lepas dari saling membalas komentar yang ada. Akibatnya banyak orang yang menghabiskan waktunya hanya untuk melayani komentar demi komentar. Bahkan sampai ada yang melupakan kewajiban-kewajibannya. Allah SWT berfirman:
فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ ٤  ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ ٥ 
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya” (QS. Al-Ma’un: 4-5)
Ketika Rosulullah SAW ditanya perihal ayat di atas, maka beliau bersabda: “Menyia-nyiakan waktu.”. (HR. Baihaqi)[21]. Maka betapa banyak orang yang berlaku demikian akibat kecanduan media sosial. Padahal kelak Allah SWT akan meminta pertanggung jawaban dari manusia tentang waktunya.[22] Oleh sebab itu, terlalu banyak menyia-nyiakan waktu dengan media social, akan mengubah hukum medsos menjadi haram, begitu pula status semacam itu.

b.      Update perkara yang bersifat kemaksiatan

Menyiarkan kemaksiatan sendiri dengan meng-update status di medsos sama halnya dengan mengumbar aib pribadi. Padahal Rosulullah SAW telah melarang umatnya untuk menyebarkan aibnya sendiri. Beliau bersabda:
“Setiap umatku itu dimaafkan, kecuali orang-orang yang mujahir (suka menampakkan-nampakkan kejahatan/maksiatnya sendiri dengan rasa bangga, atau melakukan maksiat di depan umum, tahu jika salah tetapi dia terus melakukan maksiat tersebut). Sesungguhnya (termasuk) mujahir ialah jikalau seorang melakukan sesuatu perbuatan dosa di waktu malam, kemudian di pagi hari, sedangkan Allah telah menutupi keburukannya itu, tiba-tiba ia berkata –pada pagi harinya-: ‘Hai Fulan, saya tadi malam melakukan demikian, demikian.’ Orang itu diberikan kepadanya itu” (HR: Bukhori)[23]
Maksud dari tidak dimaafkan dalam hadits di atas ialah keselamatan. Yaitu selamatnya harga diri seseorang dari penodaan terhadapnya. Sedangkan orang yang mujahir adalah orang yang menyiarkan kemaksiatannya sendiri yang padahal Allah telah menutupinya supaya harga dirinya tidak jatuh. Selain itu seorang mujahir juga tidak akn bisa terlepas dair jerat dosa akibat perbuatannya.[24]
Selain mengunggah status berbau maksiat, banyak pula status yang ditulis oleh seseorang yang sedang emosi dengan melontarkan kata-kata buruk. Padahal Rosulullah telah memerintahkan umatnya untuk mengucapkan perkataan yang baik. Sebagaimana dalam sabdanya:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أوْ لِيَصْمُتْ
Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbicaralah dengan perkataan yang baik atau diamlah.” (HR. Bukhori)[25]
Ibnu Mas’ud berkata berkenaan dengan hadits di atas, “tidak ada sesuatu yang paling dihajatkan untuk dipenjarankan kecuali lisan.”[26] Hal ini berlaku juga pada tulisan-tulisan status di medsos. Karena status di medsos termasuk bentuk ucapan yang tertulis.
Dari dua dasar hukum di atas, maka update status berkaitan dengan mengumbar kemaksiatan dan perkataan buruk tidak dibenarkan dalam Islam.

4.      Status provokasi dan fitnah

Bentuk status lainnya adalah seorang menulis status yang sarat akan provokasi dan fitnah terhadap suatu elemen masyarakat. Tindakan ini sama halnya dengan mengadu domba (namimah) yang dilarang dalam Islam. Karena menimbulkan perpecahan dalam diri umat Islam. Selain itu ada ancaman neraka bagi pelaku namimah telah dikabarkan oleh Nabi SAW dalam hadits berikut:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ
“Tidaklah masuk Jannah orang yang suka mengadu domba.” (HR. Bukhori)[27]
Namimah atau mengadu domba adalah perbuatan yang dibenci dan haram dilakukan oleh seorang muslim. Karena namimah timbul dari sifat dusta, dengki dan munafik, serta menghantarkan kepada derajat hina.[28] Oleh sebab itu, sarana untuk menyebarkan fitnah dan provokasi hukumnya seperti tindakan namimah, yaitu haram dan dibenci.

5.      Status Yang Mengandung Iklan

Beriklan dalam media sosial kini menjadi tren baru untuk mempromosikan barang dagang ataupun even tertentu. Dengan tujuan untuk menarik minat konsumen ataupun partisipan agar mengikutinya. Bentuk iklan pun bermacam-macam. Bisa hanya dengan kalimat persuasif atau disajikan dengan visualisasi, audio, serta gabungan dari keduanya. Media sosial seperti dalam internet mampu menyajikan semua bentuk iklan tersebut. Maka hukum status di medsos yang mengandung unsur iklan adalah seperti hukum beriklan itu sendiri.
Islam telah menetapkan koridor dalam iklan dengan berbagai bentuknya yang terangkum dalam satu kaidah, yaitu:
جَلْبُ الْمَصَلِحِ وَدَرْءِ الْمَفَسِدِ
“menciptakan manfaat dan mencegah bahaya.”[29]
Dalam runtutan amal terdapat keharusan memperhatikan setiap hak. Baik hal Allah SWT, Rosul-Nya, maupun hamba-Nya. Yaitu dengan meninggalkan kemaksiatan terhadap Allah dan Rosul-Nya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Juga tidak berlaku dholim terhadap para hamba.[30] Dari kaidah di atas bisa disimpulka bahwa beriklan hendaknya menghindari hal-hal yang dilarang oleh syari’at. Misalnya, beriklan tidak dengan music, tidak menampilkan aurot baik wanita maupun laki-laki. Selain itu, hendaknya menggunakan kalimat yang baik, yang tidak menyakiti atau menistakan siapapun. Juga tidak mengiklankan barang yang dilarang untuk diperjual-belikan, seperti khomr. Serta tidak ada unsur ghoror atau penipuan atas barang atau hal lain yang diiklankan. Hal ini mencegah kerugian yang diterima oleh pembeli barang atau peminat setelah membeli barang itu. Maka kejujuran dalam menawarkan setiap kebaikan itu lebih diutamakan.

III.    PENUTUP

A.       Kesimpulan

Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Media sosial adalah sebuah sarana menyampaikan informasi. Hukumnya mubah alias boleh. Akan tetapi dapat berubah sesuai tujuan yang hendak dicapai dan implikasi yang ditimbulkan. Karena
الوَسَائِل لَهَا أحْكَام المَقَاصِدِ.
2.      Meng-update status di media sosial haruslah memandang maslahat dan kemadhorotan yang timbul dari update status tersebut.
3.      Update status berupa informasi atau berita tidak dibenarkan kecuali setelah mengecek kredibilitas informasi tersebut.
4.      Haram hukumnya meng-update status yang mengandung unsur fitnah dan provokasi. Akibat perbuatan itu adalah timbulnya perpecahan pada diri umat.
5.      Jika status-status yang tidak dibenarkan di media sosial dilakukan terlalu sering, akibatnya tidak hanya pada diri sendiri, namun juga bagi orang lain. Karena mudahnya media sosial menyebarkan segala informasi.
6.      Jika media sosial yang hari ini menjadi sarana mudah untuk berkomunikasi digunakan dengan berlebihan sampai menyia-nyiakan waktu dan melalaikan kewajiban, maka hal itu dibenci dan harus segera bertaubat darinya.

B.        Saran

Seorang muslim hendaknya lebih bijak dalam memanfaatkan media sosial dalam berkomunikasi. Harus menjaga perkataan di media sosial sama saja dengan keharusan menjaganya ketika berbicara dengan orang lain secara langsung. Selain itu jangan mudah terprovokasi untuk menyebarkan berita yang di dapat di dalamnya.

Created by: Eva Zulaikha


[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Media_sosial, diakses pada: 22 Februari 2017, jam: 17.57 WIB
[2] Andreas M. Kaplan dan Michael Haenlein, Users of the World, United! The Challenges and opportunities of Sosial Media, (t.k: Elsevier, t.t) hal: 3
[4] Oxford Learner’s Pocket Dictionary, Edisi ke-4, (New York: Oxford University Press: 2011) cet, ke-4, hal: 487
[5] Varinder Taprial dan Priya Kanwar, Understanding Sosial Media, (t.k: Vnetush Publishing Aps, t.t) hal: 9
[6] Imam Al-Bukhori, Shohih Bukhori, (Beirut: Daar Kutub Al-Ilmiyah, 2015), cet. Ke-8, hal: 1115, no. hadits: 6069
[7] Abdul Hamid Muhammad bin Badiis Al-Shonhajii, Majalisu At-Tadzkir Min Hadits Al-Basyiir An-Nadhiir, (Kostantin, Daarul Ba’ts, 1983), cet. Pertama, hal: 125
[8] Ibnu Jariir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, (Kairo: Daar As-Salam, 2009) cet. Ke-4, hal: 287
[9] Sarana masuk kedalam segala hal yang diperbolehkan. Kaidahnya: الأصل في الأشياء الإباحة  (Asal dari segala sesuatau hukumnya boleh)
[10] Mushthafa bin Karamatullah Makhdum, Qawa’id Al-Wasail fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, (Riyadh: Dar Isybiliya, 1999), hlm. 223
[11] ibid
[12] Abdul Muhsin bin Abdullah bin Abdul Kariim Az-Zamil, Syarh Al-Qowa’id As-Sa’diyah, (Riyadh: Daarul Athlas Al-Hadhro’, 2001) cet. pertama, juz: 1, hal: 297
[13] Abdurrahman Hasan Hanbakatul Maidany, Fiqh Ad-Da’wah Ilallah wa Fiqh An-Nushhi wa Al-Irsyad wa Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar, (Damaskus: Daarul Qolam, 1997), cet. Pertama, jild: 1, Hal: 47
[14] Muhammad Abdul Lathif bin Al-Khotiib, Awdhohu At-Tafasir, (t.k: Cetakan Mesir dan Maktabahnya, 1964), hal: 74
[15] Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Ash-Shohwah Al-Islamiyah Dhowabith wa At-Tujihaat, (Riyadh: Daar Al-Wathn, 1426 H) hal: 81
[16] Hermawan Kartajaya dengan Waizly Darwin dan pembaca Kompas, Connect! Surfing New Wave Marketing, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Anggota IKAPI, 2010) cet. Pertama, hal: 261
[17] Ahmad Muhammad Mukhtarisy, Dhohirotu Asy-Syai’aat, 52065/Sharia/net.alukah.www//:http</ br /, hal: 1
[18] Abu Thoyyib Muhammad Shodiq Khoon bin Hasan Al-Husainy Al-Bukhori Al-Qinnaujy, Fathu Al-Bayan Fii Maqoshidi Al-Qur’an, (Beirut: Maktabah Al-‘Ashriyah, 1992) juz: 13, hal: 136, Muhammad Abdul Lathif bin Al-Khotiib, ibid.., hal: 634
[19] Imam Muslim, Shohih Muslim, (Beirut: Daar Kutub Al-Ilmiyah, 2015), cet. Ke-7, hal: 12, no. hadits: 5
[20] Muhammad Abdul Lathif bin Al-Khotiib, ibid..
[21] Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubroo, (Beirut: Daarul Kutub Al-Ilmiyah, 2003), cet. Ke-3, jild: 2, hal: 304, no. hadits: 3164, (red: hadits ini shohih menurut beliau)
[22] Berdasarkan hadits: “Tidak tergelincin kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga Allah menanyakan empat hal: Umurnya, untuk apa selama hidupnya dihabiskan…” (HR. At-Tirmidzi, no. 2417)
[23] Imam Al-Bukhori, ibid.
[24] Abdul Hamid Muhammad bin Badiis Al-Shonhajii, ibid..
[25] Imam Al-Bukhori, Ibid, hal: 1108, no. hadits: 6018
[26] Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Malik Al-Qostholani Al-Qotti Al-Mishri, Irsyadu As-Sari Lii Syarhi Shohih Al-Bukhori, (Mesir: Al-Mathba’atul Kubroo Al-Amiriyah, 1323 H), cet. Ke-7, jild: 9, hal: 272
[27] Imam Al-Bukhori, ibid.., hal: 1113, no. hadits: 6056
[28] Syarifuddiin Husain bin Abdullah Ath-Thoyyi, Syarh Ath-Thoyyi ‘Alaa Misykaati Al-Mishbah Al-Musammaa bii Al-Kaasyif ‘An Haqoiqi As-Sunan, (Riyadh: Maktabah Nazar Musthofa Al-Baaz, 1997) cet. Pertama, jild: 10, hal: 3115
[29] ‘Izzud Diin bin Abdussalam As-Salami Ad-Dimasyqi, Qowa’id Al-Ahkam Fii Masholihi Al-Anam, (Kairo: Maktabah Al-Kulliyyaat Al-Azhariyah, 1991), jild: 1, hal: 153
[30] ibid
0

0 komentar:

Posting Komentar