Meniti Jalan Menuju Jannah Firdaus-Nya

Rabu, 21 Maret 2018

Betapa Rindunya Rasulullah Dengan Saudara




Suatu ketika Rasulullah bertutur dihadapan para sahabat,,,,
“Aku rindu pada saudara-saudara ku”
Dengan keheranan sahabat bertanya,,,
“Wahai Rasulullah, bukankah kami saudaramu?,,,”
Lantas Rasulullah menjawab pertanyaan para sahabat...
“Kalian adalah sahabatku. Saudara-saudara ku adalah mereka yang tidak melihat ku, dan tidak semasa dengan ku,,,, akan tetapi mereka beriman dengan ku,,,” 
(al-Hadits)

Wahai saudara ku,,,, kita kah yang dimaksud Rasulullah,,,,,?
Kitakah saudara-saudara yang beliau rindukan,,,,,?
Benarkah kta sudah beriman secara utuh kepada beliau,,,?
Pantaskah kita menjadi manusia yang beliau rindukan,,,,?
Jika beliau saja merindukan kita. Apakah kita merindukan beliau,,,? Jika rindu, apa buktinya,,,?
Rindu pada beliau itu surga, dan surga itu berat,,,
Tak cukup dengan merasa rindu, atau sekedar ucap rindu,
Tapi rindu kita butuh realisasi ibadah pada Rabbul Izzah,
Jejaki ketaatan figur yang kita rindu,,,,, Yaitu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam,,,,

Created by: Nur Khadijah



3

Renungan hidup



Hidup itu kalau selalu MELIHAT KE ATAS, maka akan membuat kita KURANG BERSYUKUR

Hidup itu kalau selalu digunakan untuk BER-NEGATIF THINKING, maka hidup akan selalu TERASA SUSAH

Hidup itu kalau selalu digunakan untun BERSANDA GURAU, maka TIDAK AKAN ADA KARYA yang kita tinggalkan selepas jasad dikubur di liang lahad

Hidup itu kalau selalu digunakan untuk BERMALAS-MALASAN, maka hidup berasa TIDAK BERARTI

Hidup iti kalau selalu digunakan untuk TIDUR, maka waktu akan terbuang SIA-SIA tanpa hasil

Hidup itu kalau selalu digunakan untuk BERHAYAL TANPA DIIRINGI DENGAN PEMBUKTIAN, maka hidupmu HANYA TERDAPAT DALAM DUNIA HAYAL SAJA DAN MUSTAHIL UNTUK TERWUJUD

Hidup itu kalau selalu digunakan untuk MENGEJAR DUNIA, maka ketahuilah DUNIA ITU TIDAK ADA HABISNYA, yang nantinya engkau TIDAK SADAR BAHWA MALAIKAT MAUT SEDANG MENGINTAIMU.

OLEH KARENA ITU JADIKAN HIDUPMU SEBAGAI LADANG AMAL SHALIH UNTUK DIPANEN DI AKHIRAT KELAK

2

Selasa, 20 Maret 2018

Hukum Gambar, Lukisan dan Foto



A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang Masalah
Pada zaman kita sekarang ini, tidak dapat dipungkiri lagi sering kita temukan adanya gambar hampir pada semua benda. Baik itu dari benda sekecil apapun sampai benda yang besar sekalipun. Dan mayoritas gambar yang di pajang pada benda tersebut adalah foto perempuan yang menampakkan auratnya atau penampakan foto yang tidak mencerminkan budaya Islami. Ini menjadi sorotan tersendiri dalam hukum Islam bagaimana hukum gambar itu sendiri? Termasuk dalam pembahasan ini adalah hukum foto yang di hasilkan dari fotografi, bagaimana hukumnya menurut Islam? Penulis akan mencoba memaparkan sedikit penjelasannya dalam makalah ini insyaAllah. 
2.      Rumusan Masalah
1.      Apa hukum gambar yang bernyawa, yang tidak bernyawa, lukisan dan foto?
2.      Apa ‘illat diharamkannya gambar?
3.      Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui hukum gambar yang bernyawa, yang tidak bernyawa, lukisaan dan foto
2.      Mengetahui ‘illat diharamkannya gambar.
4.      Manfaat Penulisan
1.      Bagi penulis
Guna menambah ilmu pengetahuan, wawasan dan sebagai ajang latihan peulisan karya ilmiah dengan tepat dan benar, serta memberikan kontribusi ilmu pendidikan dan khazanah penulisan islam.
2.       Bagi masyarakat
           Sebagai sumbangan karya ilmiah  bagi perkembangan ilmu pengetahuan baik dikalangan             akademis maupun masyarakat pada umumnya.
3.       Bagi Ma’had ‘Ali Hidayaturrahman
Sebagai sumbangan pemikiran mengenai masalah terkait.

B.     Pembahasan
1.      Hukum Gambar
a.       Hukum gambar  bernyawa dan yang tidak bernyawa
1.      Definisi gambar
Gambar (Ash-Shuwar) secara bahasa adalah bentuk jama’ dari kata Ash-Shurah yang berarti: bentuk.[1]
Ash-Shurah berarti: bentuk dan gambar yang berbadan atau berbentuk jasad. Dalam Al-Quran disebutkan:
(اَلَّذِيْ خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ, فِي أَيِّ صُوْرَةٍ مَا شَاءَ ركَبَّكَ)
“Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan susunan tubuhmu seimbang, Dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu”. (Qs. Al-Infithar: 7-8)[2]
Adapun secara istilah  arti  dari gambar adalah sama sebagimana arti secara bahasa. Menurut KBBI, gambar: tiruan barang (orang, binatang, tumbuhan dan lain-lain) yang dibuat dengan cat, tinta, coret, potret dan lain sebagainya dan gambar bisa disebut juga dengan lukisan[3]. Dan kata At-Tamtsil bisa diartikan Ash-Shurah (gambar).
            Gambar bisa disebut dengan Ash-Shurah jika wujud gambar tersebut tidak memiliki bayangan (gambar 2 dimensi), dan disebut At-Tamtsil jika gambar tersebut memiliki bayangan (gambar 3 dimensi), adapun istilah disini dipakai untuk semua gambar baik yang bernyawa ataupun yang tidak bernyawa.[4] Adapun lukisan yang dibuat menggunakan tangan hukumnya sama dengan gambar.
2.      Dalil-dalil diharamkannya gambar
Dalil-dalil dari As-Sunnah:
حَدَثَّنَا يَحْيَى بنُ يَحْيَى وَ أَبُو بَكَر بنُ أَبِي شَيْبَة وَ عَمْرُو وَ النَاقِدُ وَإِسْحَاقُ بنُ إِبْرَاهِيمَ, قاَلَ يَحْيَى وَ إِسْحَاقَ: أَخْبَرَنَا. وَ قَالَ الَاخَرَانِ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بنُ عُيَيْنَةَ, عَنْ الزُّهْرِي, عَنْ عُبَيْدِ اللهِ, عَنْ ابنِ عَبَّاسٍ عَنْ أَبِي طَلْحَةَ عَنِ النَّبِي قَالَ: (لَا تَدْخُلُ الْمَلَئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ وَ لَا صُوْرَةٌ)
Dari Ibnu Abbas dari Abi Thalhah dari Nabi beliau bersabda: Malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang didalamnya terdapat anjing dan gambar”. (HR. Imam Muslim, no. 2106, bab: kitabul libas waz zinah)[5]
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بنُ إَبْرَاهِيْمَ: أَخْبَرَنَا جَرِيْرٌ, عَنْ سُهَيْل بنِ أَبِي صَالَحٍ, عَنْ سَعِيْدِ بنِ يَسَارٍ, أَبِي الحُبَابِ مَوْلَى بَنِي النَّجَّارِ, عَنْ زَيْدِ بنِ خَالَدٍ الجُهْنِيّ, عَنْ أَبِي طَلْحَةَ الأَنْصَارِي قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: (لَا تَدْخُلُ الْمَلَئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ وَ لَا تَمَاثِيْلُ)
Dari Abi Thalhah Al-Anshari beliau berkata: aku telah mendengar Rasulullah  bersbada: “Malaikat tidak akan masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan patung-patung. (HR. Imam Muslim, no. 2106, bab. Kitabul libas waz zinah)[6]
 Dari keterangan hadits diatas sudah jelas dan bisa di pahami bahwa Malaikat tidak akan masuk rumah yang didalamnya terdapat anjing dan gambar. Gambar yang dilarang disini adalah gambar makhluk bernyawa baik yang diletakkan di tempat yang hina atau tidak, karena hal ini terdapat unsur menyaingi ciptaan Allah . Adapun gambar-gambar benda mati seperti gunung, langit dan lainnya yang tidak bernyawa tidak apa-apa jika ada dalam sebuah rumah, dengan catatan tidak diagungkan dan disembah. Adapun gambar bernyawa dan anjing yang seperti apa yang sampai menyebabkan Malaikat tidak akan mau masuk rumah yan didalamya terdapat penghalang-penghalang tersebut?? Disini ada beberapa pendapat ulama’:
1.      Tidak ada perbedaan dalam gambar bernyawa yang tersebut dalam hadits ini baik gambar yang ada bayangannya atau yang tidak ada bayangannya (semua gambar) ini adalah pendapat kami dalam masalah ini. Dan ini adalah sama dengan perkataan jumhur dari kalangan sahabat, tabi’in yaitu madzhabnya Ats-Tsauri, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah dan yang lainnya. Begitu pula pendapat Az-Zuhri yang mengatakan hadits tersebut mencakup semua gambar baik gambar itu dihinakan (diletakkan di tempat yang hina) atau pun tidak, tetap dilarang karena beliau berdalil menggunakan dzahir hadits tersebut. Berkenaan dengan pendapat Az-Zuhri ini Imam Nawawi berkomentar “ ini pendapat  yang kuat”.
2.      Dan sebagian ulama’ salaf berpendapat: bahwa gambar yang dilarang hanyalah gambar yang mempunyai bayangan dalam arti  gambar yang memiliki volume (3 dimensi) seperti patung, adapun yang tidak memiliki bayangan (gambar 2 dimensi) maka boleh, dan pendapat seperti ini adalah bathil karena dalam hadits, Nabi menyebutkannya secara umum jadi, mencakup semua gambar. 
      
3.      Sebagian ulama’ lain berpendapat ada di antara gambar yang diperbolehkan, yaitu yang berupa garis-garis pada kain, baik yang diletakkan di tempat yang rendah atau tidak, dan baik gambar itu digantungkan di dinding atau tidak. Para ulama’ tersebut juga memandang makruh gambar-gambar yang memiliki bayangan maupun gambar yang di buat di dinding atau tempat yang mirip dengan itu, baik gambar yang dimaksud berupa garis-garis atau tidak. Mereka berdalil dengan hadits yang menyebutkan:         
إِلَّا مَا كَانَ رَقْمًا فِيْ ثَوْبٍ.....  
“ ..Kecuali yang berupa garis-garis pada kain....”. (HR. Imam Muslim, no. 2106, bab: kitabul libas waz zinah) dan ini pendapat Al-Qasim bin Muhammad.
4.      Selanjutnya, para ulama’ sepakat melarang gambar yang memiliki bayangan dan mewajibkan untuk mengubahnya. Qadhi Iyadh berkata “kecuali yang berkenaan dengan permainan boneka untuk anak-anak perempuan dalam hal ini mendapat keringanan”. [7]
       Bahwa dalam sabda Rasulullah
(لَا تَدْخُلُ الْمَلَئِكَةَ بَيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ وَ لَا صُوْرَةٌ)
Ulama’ berpendapat:
1.       Bahwa sebab terhalangnya Malaikat masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar adalah karena keberadaan gambar tersebut merupakan kemaksiatan yang besar dan bentuk penyaingan terhadap ciptaan Allah . Sedangkan penolakan masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjingnya adalah karena anjing adalah hewan yang banyak sekali memakan makanan najis dan karena anjing itu sangat bau sekali sedangkan Malaikat sangat tidak menyukai sesuatu yang bau. Oleh karena itu dilarang memajang sesuatu yang dapat menghalangi Malaikat masuk ke dalam rumah yang menyebabkan Malaikat tidak bisa memberi rahmat, memintakan ampunan dan memberkahi rumah tersebut. Adapun malaikat yang bertugas mencatat amal perbuatan tetap masuk ke setiap rumah dan tidak membedakan seorang pun walau bagaimanapun keadaannya karena para Malaikat itu bertugas untuk mencatat seluruh amalan manusia.
2.      Imam Al-Khathabi berpendapat: bahwa yang dimaksud malaikat tidak masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambarnya adalah anjing dan gambar yang memang haram untuk dimiliki. Adapun yang tidak diharamkan untuk dimiliki seperti anjing buruan, anjing untuk menjaga kebun dan ternak demikian juga gambar yang diletakkan di tempat yang hina seperti di karpet dan di bantal untuk  di duduki maka, hal ini tidak menghalangi Malaikat untuk masuk ke dalam sebuah rumah.[8]   
     Dalam hal ini ulama’ menyimpulkan bahwa gambar yang dilarang dalam hadits-hadits tersebut adalah gambar yang bernyawa baik yang memilki bayangan atau tidak , sedangkan gambar yang tidak bernyawa maka tidak ada larangan, asalkan tidak ditujukan untuk diagungkan dan disembah.    
3.      Hukumnya
Disini dibedakan  antara gambar yang bernyawa dan yang  tidak bernyawa:
Gambar yang bernyawa:
1.      Ulama’ sepakat atas keharaman gambar yang bernyawa baik itu berbentuk manusia atau pun hewan yang berbentuk lengkap seluruh badan  , yang memiliki bayangan atau tidak dan yang tidak ditempatkan di tempat yang hina atau rendah, adapun yang di tempatkan di tempat yang rendah maka dibolehkan. Juga gambar yang ditujukan untuk disembah dan diagungkan serta untuk menyaingi ciptaan Allah .
2.      Akan tetapi ulama’ Isbagh bin Al-Faraj Al-Maliki berpendapat tidak apa-apa mengambil gambar bernyawa yang memiliki bayangan yang tidak tahan lama seperti gambar tersebut terbuat dari sesuatu yang cepat rusak atau lenyap seperti terbuat dari adonan roti.
Gambar yang tidak bernyawa:
1.      Ulama’ sepakat bahwa semua gambar yang tidak bernyawa, tidak diagungkan, dan tidak diniatkan untuk menyaingi ciptaan Allah, maka dibolehkan, begitu pula membuatnya dan menjualnya juga boleh. Kecuali  sedikit dari ulma’ yang tidak bersepakat dalam hal ini, di antaranya yaitu Mujahid bin Jibr Al-Makki, Al-Qurthubi dan sebagian pengikut Imam Syafi’I dan sebgian pengikut Hanabilah. Sebagaimana hadits Ibnu Abbas yang pernah dimintai fatwa oleh seorang laki-laki yang bekerja sebagai penggambar makhluk bernyawa kemudian beliau berkata memberitahukan sabda Rasulullah yang berisi ancaman terhadap  para penggambar, lalu berkata kepadanya “jika kamu harus melakukan pekerjaan ini, maka gambarlah pohon atau sesuatu yang tidak bernyawa”.(HR. Imam Bukhari, no. 2225, bab. Al-Buyu’)[9]. Diantara ulama’ yang mengambil pendapat ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[10]
2.      Gambar yang wujudnya tidak sempurna, sebagaimana hadits ‘Aisyah:

 دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ وَ قَدْ سَتَرْتُ سَهْوَةً لِيْ بِقِرَامٍ فِيْهِ تَمَاثِيْلُ, فَلَمَّا رَاَهُ هَتَكَهُ وَ تَلَوَّنَ وَجْهُهُ وَ قَاَل: (يَا عَاِئَشةُ أَشَدَّ النَّاِس عَذَابًا عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَاَمِة الَّذِبْنَ يُضَاهِئُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ)
Rasulullah masuk ke rumah dan ketika itu saya tengah menutupi tubuh dengan sehelai selimut tipis yang bergambar permukaannya. Seketika wajah beliau berubah, lalu beliau meraih selimut itu dan merobeknya lantas berkata “sesungguhnya di antara orang yang paling besar adzabnya pada hari kiamat kelak adalah mereka yang membuat hal-hal yang menyerupai ciptaan Allah”.(HR. Imam Muslim, no. 2107, bab. Kitabul libas waz zinah)[11]

perbuatan Rasulullah yang merobek selimut itu menandakan keharaman atas gambar yang ada padanya, kemudian ‘Aisyah menjadikan kain selimut menjadi dua bantal dengan terobeknya gambar tadi maka bagian gambar tadi sudah tidak sempurna atau bagian tubuh gambar tadi terpisah-pisah dan ini menunjukkan jika seperti ini bentuknya maka boleh. Dari sini ulama’ dapat menympulkan bahwa jika sebuah gambar wujudnya tidak sempurna dan bagian anggota tubuhnya terpisah maka hal ini dibolehkan.[12]

b.      Hukum foto
1.      Definisi foto
Menurut KBBI foto: gambar potret atau hasil dari alat pemotret (kamera)[13].
2.      Hukumnya
Didalam kitab-kitab turats sudah banyak dijelaskan tentang masalah fotografi ini. Adapun hukumnya ulama’ berbeda pendapat, ada yang mengatakan tidak boleh dan ada yang mengatakan boleh. 
1.      Adapun pendapat ulama’ yang tidak membolehkan alasannya adalah bahwasannya foto tidak ada bedanya dengan jenis gambar lainnya yang dibuat dengan tangan, oleh sebab itu ia dinamakan tashwir baik secara bahasa, istilah syar’i, maupun ‘urf . Disebut tashwir secara bahasa karena yang dimaksud dengan shurah menurut bahasa adalah asy-syakl atau bentuk, maka foto termasuk di dalamnya. Adapun ditinjau secara ‘urf: karena hampir seluruh masyarakat di dunia menyebut foto dengan tashwir atau shurah dan orang yang mengambilnya tetap disebut dengan mushawwir. Maka dari hal ini foto termasuk dalam kategori shurah atau gambar secara bahasa, istilah syr’i dan ‘urf. Adapun ini adalah pendapatnya Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, Syaikh bin Baz dan Nashiruddin Al-Albani.
Mereka berpendapat menggunakan keumuman dalil yang telah disebutkan. Bahwasannya dalam hadits yang menyebutkan "كُلُّ مُصَوِّرٍ فِيْ النَّار"lafadz “كل” adalah umum yang mencakup seluruh mushawwirin yang menurut ilmu ushul bahwasaanya lafadz yang menunjukkan umum akan tetap keumumannya sehingga ada mukhassisnya, dalam hal ini fotografer (orang yang mem-foto) dan fotografi termasuk. Dan jika memang itu diperbolehkan maka harus mendatangkan dalil yang yang sharih yang menjelaskan takhsis atau taqyid dari keumuman nash tersebut[14].
2.      Adapun pendapat  ulama’ yang membolehkan foto: sebagian ulama’ mutakhirin dari fuqaha’ berpendapat  bahwa fotografi tidak masuk ke dalam ranah gambar yang diharamkan yang tercakup dalam menggambar dengan tangan yang diharamkan, karena sesungguhnya fotograffi tidak termasuk dalam nash (as-sunnah) yang menyatakan keharaman tashwir atau gambar. Karena di dalamnya tidak mengandung unsur menyaingi ciptaan Allah atau menyerupai ciptaan-NYA, dan hukum fotografi itu sebagaimana hukum garis-garis yang ada pada sehelai kain yang hal ini termasuk pengecualian yang berdasarkan nash dari keumuman haramnya gambar.   
            Syaikh Sayis berpendapat:  alasan dibolehkannya foto kamera adalah karena aktifitas tersebut tidak dinamakan sebagai akitfitas menggambar, baik secara etimologis maupun syari’at, berdasarkan makna menggambar pada masa Nabi yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu aktifitas ini dipandang tidak lebih sebagai tindakan menangkap bayangan atau gambar dari sesuatu, seperti halnya bayangan tubuh yang terdapat di  cermin atau air. Bedanya tidak lebih dari kenyataan bahwa gambar yang terdapat di cermin atau air bersifat bergerak dan tidak tetap. Sementara gambar yang dihasilkan kamera telah dibuat tidak bergerak melalui zat kimia tertentu berupa zat asam dan sebagainya. Tindakan mematenkan gambar seperti ini pada hakikatnya tidaak dapat disebut sebagai tindakan menggambar, sebab cairan asam tadilah yang mencegah gambar yang ditangkap tersebut menjadi tetap dan tidak bergerak. [15]ini adalah pendapatnya Syaikh Shaleh Al-‘Utsaimin dan sebagian ulama’ lainnya. Karena yang melakukan tahwir ini hampir semuanya dengan tenaga mesin bukan dari usaha dari si penggambar itu sendiri.[16]
3.                   Ada ulama’ lain yang juga membolehkan foto kamera adalah: Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni hjjah beliau sama dengan ulama’ lain (yang membolehkan) tetapi beliau menambahkan  bahwa adanya kebolehan foto kamera ini bukan berarti semua foto dibolehkan dan menggunakannya dalam kadar yang berlebihan. Tetapi kebolehan ini ada batasnya dan hanya dalam lingkup darurat yang dibutuhkan seperti identitas diri dan semua urusan yang mengandung maslahat duniawi yang dibutuhkan manusia[17]. Wallahu A’lam Bish-Shawab....
2.      ‘Illat diharamkahn gambar
Setiap syari’at yang Allah dan RasulNYA tetapkan pasti mempunyai alasan atau ‘llat yang mendasari suatu syari’at tersebut. Adapun ‘illat diharamkannya gambar adalah sebagai berikut:
1.      Menyerupai sekaligus menyaingi ciptaan Allah , dasar ini ditunjukkan oleh banyak hadits, di antaranya:
(إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَلَّذِيْنَ يُضَاهِئُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ)
“Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah yang mereka yang membuat gambar yang menyerupai makhluk Allah ”. (hR. Imam Muslim, no. 2107, bab. Kitabul libas waz zinah)[18]
(إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُوْنَ يُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوْا مَا خَلَقْتُمْ)
“Sesungguhnya orang yang menggambar gambar ini kelak di hari kiamat akan diadzab, dan dikatakan kepada mereka “hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan tersebut”. (HR. Imam Muslim, no. 2107, bab. Kitabul libas waz zinah)[19]
2.      Bahwasannya hikmah dilarangnya gambar adalah untuk menjauhkan manusia dari peribadatan kepada patung dan gambar tersebut serta  menjaga kesucian aqidah dari syirik, dan tidaklah celaka umat-umat terdahulu kecuali dikarenakan penyembahan mereka kepada gambar dan patung, sebagaimana kisahnya kaum Nabi Nuh yang menyembah patung-patung orang shaleh di zamannya. [20]
3.      Keberadaan gambar dan patung yang ada dalam sebuah rumah yang menghalangi Malaikat Rahmat untuk masuk, hadits sebagaimana yang dijelaskan diatas. Ini pendapat menurut jumhur ulama’termasuk madzahib al-arba’ah.
4.      Bahwasannya para penggambar makhluk yang bernyawa itu haram hukumnya sebagaimana mereka para penggambar makhluk bernyawa yang dianatkan untuk menyembahnya selain Allah, baik para penggambar meniatkan untuk menyembahnya atau tidak.
5.      Terdapat unsur menyia-nyiakan harta lantaran  membelanjakan harta untuk membeli sesuatu yang telah jelas keharamannya, padahal seseorang kelak di hari kiamat akan ditanya tentang empat hal yang salah satunya adalah masalah harta dari mana ia dapat dan kemana ia membelanjakannya?.
Mungkin inilah  illat yang diambil para ulama’ dari terlarangnya tashwir dan tamtsil.   [21]
C.     Penutup
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas maka bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Adapun semua gambar atau lukisan yang tidak bernyawa, yang tidak dimaksudkan untuk diagungkan dan disembah maka diperbolehkan. Adapun semua gambar yang bernyawa (2 dimensi atau 3 dimensi), yang ditujukan untuk diagungkan serta disembah selain Allah, yang tidak diletakkan di tempat yang hina maka ini haram hukumnya dan pembuatnya mendapatkan adzab yang paling keras di hari kiamat kelak, karena telah menyaingi ciptaan Allah .
2.      Adapun foto yang dihasilkan dari kamera ada dua pendapat, yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Penulis lebih condong kepada pendapat yang pertama (yang membolehkan) dengan  alasan bahwa foto bukanlah gambar yang digambar menggunakan tangan akan tetapi lebih kepada aktifitas menangkap dan mematenkan bayangan dari suatu gambar yang bergerak, yang hampir usaha itu yang menjalankan adalah mesin.
3.      Adapun dengan dibolehkannya hukum foto ini tetap kita memakainya dalam batasan tertentu (tidak berlebihan) dan hanya dalam keadaan darurat seperti untuk identitas diri (SIM, KTP, ijazah) dan urusan duniawi lain yang ada maslahatnya untuk kita dan kita membutuhkan hal itu.  Dengan catatan pula masih dalam koridor syar’i (tidak mengambil gambar atau foto sesuatu yang haram untuk dilihat atau dinikmati, seperti foto pornografi).
Saran
Barang siapa yang memiliki bakat dalam hal seni menggambar seyogyanya dia menggambar sesuatu yang diperbolehkan dalam agama Islam seperti yang telah dijelaskan diatas. Dan bagi siapa saja yng memilih hukum fotografi itu boleh maka gunakanlah kebolehan itu dalam kedaan darurat dan jangan sampai berlebihan dalam menggunakannya.

 Created by: Zulfa Sa'diah



[1]Fairuz Abadi, Al-Qamus Al-Muhith (Beirut, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah: 2013), cet. 4, hlm. 452
[2] Dr. Anis Ibrahim dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith (t.tp, tp: tt), jild. 1-2, hlm. 554
[3] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta, Pn Balai Pustaka: 1976), hlm. 292
[4] Helmi Abdul Hadi, “Hukmu At-Tashwir Al-Mujassam Ma La Ruha Lahu Wa Ma Lahu Ruhun fi Asy-Syari;ah Al-Islamiyah”, Majalah Jami’ah An-Najah li Al-Abhats (Al-Ulum Al-Insaniyah), No. 1, hlm. 170
[5] Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah: 2015),cet. 7, hlm. 837
[6] Ibid, hlm. 838
[7]Imam Nawawi, Shahih Muslim Bi Syarhi An-Nawawi (Kairo, Al-Maktab Ats-Tsaqafi: 2001), jild. 14, cet. 1, hlm. 95
[8] Imam Nawawi,..... hlm. 96-97
[9] Imam Bukhari, Shahih Bukhari (Beirut, Dar Al-kotob Al-Ilmiyah: 2015), cet. 8, hlm. 397

[10] Walid bin Rasyid As-Sa’idani, Hukmu At-Taswir Al-Futugrafi (t.tp, tp: t.tp) hlm. 6
[11] Imam Muslim, ....hlm. 839
[12] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawai’ Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam (Beirut, Al-Maktabah Al-‘Ashriyah: t.tp), hlm. 385
[13] Poerwadarminta,.........hlm. 283
[14] Muhammad bin Ahmad ‘Ali Washil, Ahkam At-Tashwir Fi Al-Fiqh Al-Islami (Riyadh, Dar Thayyibah: 1999), cet. 1,
[15] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawai’ Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam (Beirut, Al-Maktabah Al-‘Ashriyah: t.tp), hlm. 388-389
[16] Muhammad bin Ahmad ‘Ali Washil,.........hlm. 10
[17] Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni, ......hlm. 390
[18] Imam Muslim,....hlm. 839
[19] Ibid, hlm. 840
[20] Muhammad Ali Ash-Shabuni,..... hlm. 382
[21] Muhammad bin Ahmad ‘Ali Washil, Ahkam At-Tashwir Fi Al-Fiqh Al-Islami (Riyadh, Dar Thayyibah: 1999), cet. 1, hlm. 157-160


0