Meniti Jalan Menuju Jannah Firdaus-Nya

Minggu, 05 November 2017

CIRI-CIRI ORANG SHOLEH


0

Senin, 30 Oktober 2017

ZAKAT PROFESI



Zakat merupakan rukun ketiga dari rukun islam yang lima. Allah telah mewajibkannya kepada seluruh umat islam untuk mengeluarkan zakat dari sebagian harta yang ia miliki, seperti firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
            “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Ta’ala Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. al-Baqarah: 267)
Ayat di atas menjelaskan bahwa sebagian dari hasil usaha (harta) yang kita peroleh melalui pekerjaan-pekerjaan kita wajib kita keluarkan zakatnya. Harta yang kita miliki, pada hakikatnya adalah milik Allah Ta’ala. Allahlah yang kemudian melimpahkan amanah kepada para pemilik harta, agar dari harta yang ia peroleh dari hasil kerjanya untuk dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian, harta dalam pandangan islam adalah amanah Allah Ta’ala. Disinilah sikap amanah harus dipupuk, sebab seorang muslim dituntut untuk mennyampaikan amanah tersebut kepada ahlinya.
Dalam hukum islam barang-barang yang wajib dikeluarkan zakatnya terbabi menjadi dua, yaitu yang sudah terdapat kesepakatan ulama (ijma’) dan yang masih diperselisihkan (ikhtilaf). Jenis yang pertama adalah barang-barang yang telah dijelaskan secara gambalng dalam teks hadits, seperti zakat pertanian, peternakan, emas dan perak, perdagangan dan harta temuan. Barang-barang itu sudah dijelaskan secara rinci, ulai dari kadar nisabnya maupun kadar zakatnya. Sedangkan yang kedua adalah jenis yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam teks hadits, yang merupakan perkembangan masyarakat, seperti zakat profesi dan jenis-jenis usha baru lainnya. Bagian yang kedua ini merupakan wilayah ijtihad, sehingga wajar jika terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Untuk bagian yang kedua ini para ulama mengambil dalil keumuman surat al-Baqarah ayat 267 yang telah tercantum diatas. Akan tetapi, disini penulis akan membahas bentuk kedua yaitu barang yang masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai kewajiban zakatnya, khususnya pada zakat profesi.

Definisi zakat profesi
            Zakat profesi dikenal dengan isltilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat gaji pegawai) atau kasb al-‘amal wa al-mihan (zakat hasil pekerjaan dan profesi swasta). Zakat profesi didefinisikan sebagi zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang atau lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhu nisab.
Zakat profesi merupakan perkembangan kontemporer, yaitu disebabkan adanya profesi-profesi modern yang sangat mudah menghasilkan banyak uang. Misalnya profesi dokter, dosen, arsitek dan lain sebagainya. Kenyataan membuktikan bahwa pada akhir-akhir ini banyak orang yang karena profesinya, dalam waktu relatif singkat akan tetapi menghasilkan banyak uang yang terkadang mencapai nisab zakat. Jika persoalan ini dikaitkan dengan pelaksanakan zakat yang berjalan di masyarakat maka terlihat adanya kesenjangan atau ketidakadailan antara petani yang memilki penghasilan kecil dan mencurahkan tenaga yang banyak dengan para profesional misalnya dokter, insinyur, notaris, dosen yang hanya dalam waktu relatif singkat memilki hasil yang cukup besar tanpa harus mencurahkan tenaga yang banyak. Adapun pekerjaan atau keahlian profesional tersebut bisa dalam bentuk usaha fisik, seperti pegawai atau buruh, usaha pikiran dan keterampilan sperti kosultan, notaris, insinyur, dan dokter, usaha kedudukan seperti komisi dan tunjangan jabatan, dan usaha lain seperti investasi. Hasil usaha profesi juga bisa berfariasi, misalnya hasil yang teratur dan pasti setiap bulan, minggu atau hari seperti upah pekerja dan pegawai atau hasil yang tetap dan tidak dapat diperkiraan secara pasti sepertin kontraktor dan royalti pengarang.

Pendapat ulama tentang zakat profesi
            Ulama berbeda pendapat mengenai hukum zakat penghasilan atau profesi. Mayoritas ulama empat madzhab tidak mewajibkan zakat penghasilan pada saat menerima kecuali sudah mencapai nisob dan haul. Adapun pendapat ulama mutakahirin seperti Yusuf al-Qardawi dan Wahbah az-Zuhail, menegaskan bahwa zakat profesi itu hukumnya wajib pada saat memperolehnya, meskipun belum mencapai nisab, ini berdasarkan pendapat sebagian sahabat (ibnu Abbas, ibnu Mas’ud, dan Mu’awiyah), sebagian tabi’in (az-zuhri, hasan al-basri, dan makhul). Dan pendapat Umar bin Abdul Aziz, Baqir, Shadiq, Nasir dan Daud azh-Zhahiri. 
            Adapun kewajiban zakatnya adalah 2,5 persen, berdasarkan keumuman nash yang mewajibkan zakat uang, baik sudah mencapai satu haul atau ketika menerimanya. Jika sudah dikeluarkan zakatnya pada saat menerimanya, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat lagi pada akhir tahun. Dengan demikian ada kesamaan antara pegawai yang menerima gaji secara rutin dengan petani yang wajib menegeluarkan zakat pada saat panen, tanpa ada perhitunga haul.
            Menurut al-Qardhawi nisab zakat profesi senilai 85 gram emas dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 persen. Landasan fiqih (at-takyif al-fiqih) zakat profesi ini menurut Qardhawi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untuk al-maal al-mustafad (harta perolehan). Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerja, dan yang semisalnya. Al-Qardhawi mengambil pendapat sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud dan sebagian tabi’in seperti az-Zuhri, Hasan Basri, dan Makhul yang mengeluarkan zakat dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya tanpa mensyaratkan haul. Bahkan al-Qardhawi melemahkan hadits yang mewajibkan haul bagi harta zakat, yaitu hadits Ali bin Abi Thalib,  yang merupakan sabda nabi:
مَنِ اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Barangsiapa menghasilkan harta maka tidak ada kewajiban zakat pada harta itu hingga berlalu atasnya waktu satu tahun” (HR. Abu Daud)
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi wajib atau tidaknya zakat profesi. Adapun ulama empat madzhab tidak mewajibkan untuk mengeluarkan zakat profesi kecuali telah mencapai nisab dan haul. Sedangkan menurut Adapun pendapat ulama mutakahirin seperti Yusuf al-Qardawi dan Wahbah az-Zuhail, menegaskan bahwa zakat profesi itu hukumnya wajib pada saat memperolehnya, meskipun belum mencapai nisab. Maka pendapat yang rajih adalah pendapat ulama mutakahirin seperti Yusuf al-Qardawi dan Wahbah az-Zuhail, karena zakat profesi diakui oleh syariat dan mempunyai landasan dari al-qur’an dan sunnah. Adapun kadar yang dikeluarkan pada zakat profesi adalah 2,5 persen. Wallahua’lam bis showab

Referensi:
·    Wahbah az-Zuhaili, Fiqih islam wa adillatuhu, jilid 3, hlm.279-280
·    Yusuf al-Qardawi, Fiqhu az-zakah, jilid 1, hlm.489
·    Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarak Furi, Tuhfatul ahwadzy, jilid 3, hlm. 219

0

Takdir yang Indah, Akibat Sabar dalam Taat


Di tengah guguran salju, disebuah universitas yang terletak di Eropa. Ketika itu, ada seorang mahasiswi eropa berhijab lagi berparas cantik yang sedang menunggu taxi dipinggir jalan, lama ia menunggu, akan tetapi tidak ada satu pun taxi yang menghampirinya. Berlalu sepuluh menit, dua puluh menit, setengah jam, satu jam hingga larut malam ia menunggu, tapi tidak ada satupun taxi yang datang menghampirinya.
Hingga akhirnya ia melihat sebuah rumah yang tidak jauh dari tempat ia menunggu taxi, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak  di rumah itu.  Kemudian ia bergegas menuju rumah itu, lalu ia pun mengetuk pintunya. Setelah ia mengetuk pintu rumah itu, akhirnya terbukalah pintu dan terlihat di dalamnya seorang lelaki tampan yang menghuni rumah tersebut. Kebetulan lelaki itu juga mahasiswa yang bersal dari universitas yang sama dengannya. Kemudian ia meminta izin untuk beristirahat sejenak di rumah lelaki tampan itu. Karena lelaki itu kasihan melihatnya, akhirnya lelaki itu pun mengizinkannya. Sanking lelahnya ia menunggu taxi dan akhirnya mendapat tempat untuk beristirahat, akhiranya ia pun tertidur pulas di rumah lelaki itu.
Tak lama kemudian, ia terbangun dari tidurnya, sembari melihat ke samping, betapa terkejutnya ia bahwa lelaki itu tidur tepat di sampingnya. Kemudian ia lari sekencang-kencangnya sembari menagis dan khawatir,  akan apa yang terjadi padanya selama ia tertidur.
Sampailah ia di rumah, kemudian ia mengadukan semua yang terjadi padanya tadi malam kepada ayahnya. Mendengar cerita dari anak gadisnya sang ayah sangat marah kepada lelaki itu. Kemudian sang ayah bergegas pergi untuk mendatangi rumah lelaki tersebut, kebetulan sang ayah mengetahui alamat rumah lelaki itu karena sang ayah termasuk salah satu dosen yang ada di universitas tersebut.
Sampailah sang ayah di rumah lelaki itu. Berkali-kali sang ayah mengetuk pintu rumah itu, akan tapi tidak ada sama sekali jawaban dari penghuninya. Hingga akhirnya ada seorang laki-laki yang memberitahu sang ayah, bahwa penghuni rumah tersebut sedang berada di rumah sakit. Kemudian sang ayah menanyakan alamat rumah sakit tersebut kepada laki-laki itu.
Sampailah sang ayah di rumah sakit, sang ayah bergegas mencari tempat dimana lelaki itu di rawat. Tak lama kemudian sang ayah menemukan kamar dimana lelaki itu dirawat. Kemudian sang ayah terkejut melihat tangan lelaki itu diperban sembari mendekati lelaki itu. Kemudian sang ayah bertanya kepada lelaki itu,
“ Apa yang terjadi dengan tangan mu?,,,”
kemudian lelaki itu menjawab,,,,
“ Tadi malam ada seorang wanita yang meminta izin untuk beristirahat sejenak di rumahku, karena aku melihat rasa letih yang sangat di wajahnya, akhirnya aku megizinkannya untuk beristirahat sejenak di rumahku. Setelah aku persilahkan ia duduk aku pun beranjak untuk membuatkan segelas teh hangat untuknya, karena aku tahu pasti ia membutuhkannya. Tak lama kemudian aku kembali menghampirinya dengan segelas teh hangat yang telah aku buat. Dan setelah itu aku melihatnya tertidur pulas, ku tatap wajahnya yang begitu cantik, hingga pada kondisi yang memuncak libidoku naik. Ketika libidoku naik karena melihatnya, aku segera bergegas ke dapur dan mencari sumber api, kemudian aku membakar tangan ku, ketika aku membakar tangan ku libidoku menurun, akan tetapi ketika aku kembali menatap wajahnya libidoku naik kembali dan sesegera mungkin aku membakar tangan ku kembali hingga libidoku turun, dan begitu seterusnya, hingga pada puncaknya aku pingsan tepat di sampinggya, hingga sampailah aku di rumah sakit ini.”
Kemudian dengan spontan sang ayah berkata kepada lelaki tersebut,’’AKU NIKAHKAN PUTRIKU UNTUKMU, WAHAI LELAKI SHOLEH”

0

Minggu, 29 Oktober 2017

Pandangan Islam Terhadap Sistem Perpajakan di Indonesia


A.      DEFINISI

Secara etimologi pajak dikenal dengan istilah Dharibah. Dharibah adalah isim mufrad (kata tunggal) dari dharib yang artinya sesuatu yang diwajibkan pemerintah kepada masyarakat dari hartanya.[1]
Dalam kitab Mu’jamul al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’ashirah, Dharibah adalah pemerintah yang mewajibkan pajak kepada setiap orang dari kepemilikan, pekerjaan, dan penghasilan untuk kemaslahatan pemerintah yang bersifat jabariyyah (sifat yang tidak ada ikhtiyar manusia), hal ini dibebankan kepada semuan masyarakat.[2] Dalam kitab Syamsy al-‘Ulum wa Dawau Kalam al-A’rabi min al-Kulum definisi Dharibah adalah sesuatu yang dibebankan kepada manusia dari jizyah, kharaj, dan usyur.[3]
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa istilah jizyah, kharaj dan usyur temasuk istilah lain dari pajak, seperti yang terdapat dalam kamus Munawir. Dalam kamus al-Munawwir ketiga istilah tersebut diartikan pajak.[4]
Adapun definisi pajak secra terninologi adalah, Yusuf al-Qardawi mendefinisikan pajak berlandaskan pendapat para ahli keuangan yakni kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat timbal balik dari negara. Pajak juga difungsikan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisir sebagai tujuan ekonomi, sosial, politik, dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara.[5]

B.       MACAM-MACAM PAJAK

1.        Pajak dalam Islam

Terdapat beberapa istilah pajak dalam islam yakni kharâj, jizyah, dan usyur. Berikut penjelasan istilah-istilah tersebut,
1.      Kharaj.
Kharaj adalah pajak atas tanah atau bumi yang pada awalnya dikenakan terhadap wilayah yang ditaklukkan melalui perang ataupun karena pemilik mengadakan perjanjian damai dengan pasukan muslim.[6]
Dalam kitab Ahkâmul Kharâj fi al-Fiqh al-Islami, definisi kharâj dibagi menjadi dua, secara umum dan khusus. Definisi kharâj secara umum adalah harta-harta yang pemerintah menjadi pengurus dalam penarikan pajak dan penyalurannya sesuai pada haknya, harta-harta tersebut adalah zakat, jizyah, kharâj (definisi secara khusus), usyur dan lain sebagainya dari penghasilan Daulah Islamiyah. Sedangkan definisi kharâj secara khusus adalah beban atau pajak yang dibebankan imam kepada tanah kharâj yang dikelola (tanah yang tumbuh).[7]
2.    Jizyah.
Jizyah artinya pajak tanah. Bentuk pluralnya adalah jizan aw jizâan. Dalam kitab Lisanul Arabjizyah artinya sesuatu yang diambil dari ahlu dzimmah[8].[9] Menurut Wahbah az-Zuhaili, Jizyah adalah harta yang diambil dari ahlu dzimmah karena harta tersebut melindungi mereka dari diperangi.[10]
Menurut al-Mawardi jizyah adalah pungutan harta yang dikenakan atas setiap kepala. Kata jizyah itu diambil dari kata al-jaza (balasan). Makna ini memiliki dua pengertian, pertama balasan atas kekafiran mereka dengan mewajibkan jizyah itu bagi mereka sebagai penghinaan atas kekafiran mereka. Kedua, sebagai balasan atas keamanan yang kita berikan kepada mereka dengan mengambil jizyah tersebut dari mereka dengan tidak terpaksa.[11]
        3.  Usyur.
Istilah Usyur memiliki dua makna yaitu Usyur Shadaqah dan Usyur Tijarah.[12] Usyur shadaqah adalah sepersepuluh persen dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan. Ini termasuk zakat yang diambil dari seorang muslim dan didistribusikan sebagaimana distribusi zakat. Sehingga Usyur ini termasuk dalam pembagian zakat dan lebih menggunakan istilah zakat.[13] Usyur tijârah adalah sepersepuluh persen diambil dari pedagang-pedagang kafir yang memasuki wilayah Islam karena membawa barang dagangan.
Dalam kitab Fikih Ekonomi Umar bin al-Khattab mendefinisikan usyur tijârah dengan harta yang diambil petugas negara yang dipersiapkan untuk dagang ketika melintasi daerah Islam.[14]

2.         Pajak di Indonesia[15]

Di saat ini terdapat beberapa macam pajak yang sering kita jumpai di Indonesia, diantaranya:
a.       Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhadap tanah, lahan, dan bangunan yang dimiliki seseorang.
b.      Pajak Penghasilan (PPH), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
c.       Pajak Pertambangan Nilai (PPN)
d.      Pajak Barang dan Jasa
e.       Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
f.       Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap sistem perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
g.      Pajak Transit/Person dan lain sebagainya.

C.      HUKUM

1.        Pajak dalam Islam

Berdasarkan istilah-istilah di atas (al-Jizyah, al-Kharaj, dan al-‘Usyur), kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama dari zaman sahabat, tabi’in hingga sekarang berbeda pendapat di dalam menyikapinya.
Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
Firman Allah Ta’ala:
يا أيها الذين أمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”. (QS. An-Nisa’: 29).
Hadits yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. ”[17] (HR Ibnu Majah I/570 no.1789. Hadits ini dinilai dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani karena di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Hamzah (Maimun), menurut imam Ahmad bin Hanbal dia adalah dha’if hadistnya, dan menurut Imam Bukhari, ‘dia tidak cerdas’).
Mereka mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i yang menetapkan adanya hak wajib pada harta selain zakat hanyalah bersifat anjuran (bukan kewajiban yang harus dilaksanakan), seperti hak tamu atas tuan rumah. Mereka juga mengatakan bahwa hak-hak tersebut hukumnya wajib sebelum disyariatkan kewajiban zakat, namun setelah zakat diwajibkan, maka hak-hak wajib tersebut menjadi mansukh (dihapuskan/dirubah hukumnya dari wajib menjadi sunnah).
Pendapat kedua: Diantara ulama yang memperbolehkan pajak diantara lain adalah, Muhammad bin Muhammad al-Ghazali[18] termasuk ulama yang membolehkan pemimpin membebankan biaya kepada orang kaya untuk membantu biaya kepentingan negara seperti biaya perang. Berikut penuturan beliau dalam kitab al-Musthafa,
“Apabila kas negara kosong dan biaya tidak mencukupi untuk biaya militer, ditakutkan musuh akan masuk ke dalam negara Islam, atau muncul pemberontak dari pihak musuh yang bermaksud jahat. Maka diperbolehkan kepala negara memungut biaya dari orang kaya untuk mencukupi pembiayaan tentara. Karena telah kita ketahui apabila timbul dua bahaya maka hukum syara’ mengharuskan menolak bahaya yang lebih besar (bahaya yang mengancam jiwa dan harta) dengan bahaya yang lebih kecil (beban yang diberikan kepada orang kaya). Jika di negeri itu tidak terdapat kepala negara yang kuat yang dapat memelihara segala urusan negara dan menolak segala bahaya.”[19]
Dari penuturan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapat Muhammad bin Muhammad al-Ghazali memperbolehkan hal tersebut dengan syarat. Diantara syarat-syaratnya adalah, jika kas negara kosong, akan muncul bahaya yang lebih besar jika tidak memungut biaya dari orang kaya, dan tidak adanya kepala negara yang dapat memelihara segala urusan negara serta menolak segala bahaya.
Ibrahim bin Musa asy-Syathibi[20] (yang lebih terkenal dengan sebutan asy-Syathibi) senada dengan Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dalam hal pembolehan mengambil harta dari orang kaya. Yaitu jika Negara membutuhkan penambahan jumlah pasukan guna menjaga pos-pos perbatasan dan melindungi daerah kekuasaan yang semakin luas. Sementara baitul mal dalam keadaan kosong padahal kebutuhan pasukan juga meninggi dan sulit tercukupi. Maka menurut Asy-Syathibi seorang imam dalam keadaan tersebut dengan syarat imam yang adil, boleh menggunakan harta orang-orang kaya untuk menutupi keadaan atau kondisi yang sulit tersebut. Pungutan tersebut diambil sampai baitul mal terisi kembali.
Asy-Syathibi menjelaskan kebijakan pengambilan harta dari orang kaya sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, tidak terjadi pada era dulu. Dikarenakan harta di baitul mal telah mencukupi pembiayaan semua keperluan ummat. Asy-Syathibi berhujjah dengan meninjau dari sisi maslahat yang akan dicapai yakni terhindar dari bahaya yang akan diterima. Bahaya tersebut yakni jika imam tidak melakukan sistem ini maka kekuasaannya akan hancur, kemudian tempat tinggal seluruh masyarakat sangat dimungkinkan akan dikuasai musuh (orang-orang kafir).
Asy-Syathibi juga berpendapat jika dibandingkan antara bahaya ini (mengambil sebagian harta) dengan bahaya yang mungkin timbul (kalau kekuasaan jatuh ditangan musuh), maka para imam (pemimpin) berhak mengambil harta dari orang kaya.[21] Hal ini disebabkan jika kekuasaan jatuh ditangan musuh maka Syari’at Islam akan hancur dan Undang-Undang Islam tidak akan ditegakkan, bahkan kaum Muslimin akan dibantai dan dibinasakan.  

2.        Pajak di Indonesia[22]

Apakah pajak hari ini sudah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan para ulama di atas? maka jawabannya adalah tidak sesuai, hal itu dikarenakan beberapa sebab:
1.      Negara belum komitmen untuk menerapkan syariat Islam.
2.      Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil.
3.      Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya, bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah, pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.
4.      Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.
5.      Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
6.      Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.
7.      Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan baik, malah diberikan kepada perusahaan asing, yang sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.[23]






[1] Muhammad Rawasi Qal’ahji dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughahal-Fuqahâ, cet. ke-2, (Libanon: Darul Nafais, 1988), hlm. 213.
[2] Ahmad Mukhtar Abdul Hamid Umar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’âshirah, cet. ke-1, jilid 2, (ttp.: ‘Alimul Kutub, 2008), hlm. 1355.
[3] Niswan bin Sa’id al-Humari, Syamsy al-U’lum wa Dawâu Kalam al-A’rabi min al-Kulumi, jilid.6, cet. ke-1, (Damaskus: Darul Fikri, 1999), hlm. 3952.
[4] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997).
[5] Yusuf al-Qardawi, Fiqhu az-zakat, cet. ke-2, jilid 1, (Beirut, Muasasatur Risalah, 1973), hlm. 997.
[6]Abdurrahman, “An-Nadmu ad-Dharibah (2004)”, tesis (Palestina: Universitas Najahul Wathiniyah, 2004), hlm. 73.
[7] Muhammad Utsman, Ahkamu Kharâj fial-Fiqih Islami, cet. ke-1, (Kuwait: Darul Arqam,  1986), hlm. 13.
[8]Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuhu,Jakarta: Gema Insani,2017, jilid 8, hlm.
[9]Ibnu Mandzur, Lisânul Arab, (Qohiroh: Dar Tauqifiyah Li At-Turots, 2009), hlm. 621. Rajab Abdul Jawad Ibrahim, Mu’jamal-Musthalahât al-Islâmiyah fial-Misbahal-Munir, cet. ke-1, (Qahirah: Darul Afaqil Arabiyah, 2002),hlm. 48.
[10]Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuhu..., hlm. 58.
[11] Al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, ttp.: t.p, t.t. hlm. 113-114.
[12] Abu Sulaiman Hamdan bin Muhammad al-Khatabi, Ma’alimas-Sunan lial-Khatabi , cet. ke-1, Jilid 3, (ttp.: Muhammad Raghib at-Tabakh, 1932), hlm. 39.
[13]Wazarotul Auqhaf wa Syu’unil Islamiyah, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah,(Kuwait: Wazarotul Auqhaf wa Syu’unil Islamiyah. t.t.),  jilid. 30, hlm. 101.
[14]Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab, terj. Asmuni Solihan Zamarkhasyi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2006),hlm. 570.
[16] Muhammad Taki Utsman, Abhats Fiqhiyyah Fi Qadhaya Az-Zakat Al-Mu’ashirah, (Damaskus: Dar Al- Qolamt.t.), jild. 2, hlm.621-623

[17] Al-Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, cet. ke-4, (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2013),  hlm. 286,  no. 1789
[18] Khairuddin bin Mahmud ad-Dimasyqi, al-‘Alâm, (ttp.: Darul ‘Ilmi lil Malayyin. 2002), jilid. 7, hlm. 22
[19] Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Musthafa fi ‘Ilmi al-Ushul, cet. ke-1,(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1413 H),hlm. 177.
[20]Abi Ishaq asy-Syatibi, al-‘Itshâm, (Kairo: Darul Hadits, 2003), hlm.7
[21]Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi, al-I’tisham, jilid 3, (ttp.,: Maktabah at-Tauhid, t.t.),  hlm. 25-27.
0