Meniti Jalan Menuju Jannah Firdaus-Nya

Selasa, 31 Januari 2017

ADA HIKMAH DIBALIK KEJENUHAN ORANG-ORANG BERIMAN


Dikisahkan, dahulu ketika zaman Rosulullah   ada seorang pemuda yang hendak berangkat ke masjid untuk melaksanakan sholat subuh berjama’ah, ketika sampai dipertengahan jalan tiba-tiba ia terjatuh dan akhirnya baju yang ia gunakan kotor sehingga ia kembali lagi kerumahnya untuk mengganti pakaiannya kemudian ia berangkat lagi kemasjid. Ketika ditengan perjalanan tiba-tiba ia terjatuh lagi tepat dimana ia jatuh tadi, sehingga baju yang ia yang baru ia ganti kotor lagi, dan untuk yang kedua kalinya ia kembali pulang kerumah untuk mengganti pakaiannya yang kotor, kemudiaan ia berangkat kemasjid lagi, dan untuk yang ketiga kalinya ia berangkat ke masjid tepat di mana ia jatuh tadi, ada seseorang laki-laki tua yang meneranginya sampai ke masjid dan kali itu ia tidak terjatuh sama sekali. Sesampainya ia dan laki-laki tua itu di masjid, ia pun mengajak laki-laki tua itu untuk ikut sholat bersamanya di masjid, akan tetapi laki-laki tua itu menolak, dan ia pun terus mengajak laki-laki tua itu untuk mau ikut bersamanya malaksanakan sholat subuh berjama’ah akan tetapi laki-laki tua itu benar benar menolaknyanya dan ia berkata, “ aku tidak sholat”. Maka si pemuda itu heran dan bertanya-tanya, mengapa ia menolak ajakan ku untuk melaksanakan sholat, dan akhirnya si pemuda terus bertanya kepada laki-laki tua itu. Dan akhirnya laki-laki tua itu menjawab pertanyaan si pemuda itu, “aku tidak sholat karena aku adalah syaiton, aku lah yang menjatuhkan katika angkau hendak berangkat ke masjid untuk melaksanakan sholat subuh berjama’ah, dan tahukah kamu wahai pemuda, sesungguhnya ketika jatuhmu yang pertama, maka sesungguhnya Allah telah menghapus seluruh dosa-dosa mu, dan ketika jatuhmu yang kedua, maka Allah telah menghapus dosa-dosa seluruh keluargamu, dan engkau tahu mengapa aku menerangi mu dan tidak membuatmu terjatuh untuk yang ketiga kalinya?,,, karena aku tidak mau Allah mengampuni dosa-dosa seluruh umat islam.

1

Selasa, 17 Januari 2017

MACAM-MACAM WALI MENURUT 4 MADZHAB

        A.    Latar Belakang
Wali merupakan hal yang sangat urgen ketika hendak mengadakan sebuah pernikahan, tanpa wali maka pernikahan itu akan berstatus pernikahan rusak bahkan pernikahan itu tidak sah, begitulah gambaran akan uegennya seorang wali dalam pernikahan.
Bahkan menurut para jumhur ulama, selain Hanafiyah.[1] Mengtakan bahwa akad nikah seseorang tidak sah kecuali dengan kehadiran seorang wali.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
(٢٣٢).... فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ....
“...maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya...” (QS. Al-Baqoroh: 232)
Imam syafi’i berkata: “Ayat ini merupakan ayat yang paling jelas menerangkan akan pentingnya perwalian dalam nikah. Juga karena sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
لا نكاح إلا بولي
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan seorang wali” (HR. Ahmad)[2]
Hadits tersebut mengandung pengertian bahwa pernikahan tanpa wali, tidak di anggap sah oleh syariat.[3] Begitulah sekilas gambaran akan pentingnya wali dalam nikah.
Setelah kita mengetahui betapa pentingnya wali dalam nikah, kita juga harus mengetahui macam-macam pembagian wali. Diantara macam-macam wali, terdapat yang namanya wali nasab, wali hakim, dan ada urutan wali yang paling tinggi dan juga yang paling rendah, dan imam malik tidak mengkategorikan seorang wali harus islam. Kemudian ulama berbeda pendapat mengenai al-washi (orang yang ditinggalkan wasiat), menurut imam Malik al-washi dapat menjadi wali dalam nikah, akan tetapi menurut imam Syafi’i al-washi tidak dapat men jadi wali dalam nikah.[4] Sekilas mengenai macam-macam wali dalam nikah, dan selebihnya akan di bahas dalam makalah ini.

B.   Definisi Wali
         Makna wali secara bahasa[5] adalah المحبة yang berarti rasa cinta dan النصرة yang berarti pertolongan, seperti firman Allah Ta’ala:
وَمَن يَتَوَلَّ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ فَإِنَّ حِزْبَ اللّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ (٥٦)
        “Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.(QS. Al-Ma’idah: 56)
            Sedangkan secara istilah[6], fuqoha memiliki makna kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin seseorang. Orang yang melaksanakan hal ini disebut dengan wali. Termasuk diantaranya adalah firman-Nya,
(٢٨٢)... فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ  ...
            “...Hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur...” (QS. Al-Baqarah: 282)
            Sebab disyariatkannya perwalian dalam menikahkan anak-anak kecil dan orang gila adalah perwalian yang bersifat harus. Yang berupa sebuah perlindungan terhadap kepentingan mereka serta menjaga hak-hak mereka akibat ketidak mampuan dan kelemahan mereka agar jangan sampai hak mereka ini hilang dan tersia-siakan.[7]
            Sayyid Sabiq mengtakan dalam kitabnya fiqhu sunnah, bahwasanya wali adalah hak syar’i yang memerintahkan pihak lain dengan sifat memaaksa. Wali ada dua macam: wali umum dan wali khusus. Wali khusus adalah wali yang berkenaan dengan manusia dan harta. Dan yang kita bahas disini adalah wali yang berkenaan dengan manusia, yaitu perwalian dalam nikah.[8]

C.     Syarat-syarat Wali
Mengenai akan urgennya kehadiran wali, tentunya ada beberapa syarat yang melazimi kehadiran wali. Menukil dari kitab al-Mufashol karangan Dr. Abdul Karim Zaidan, disini penulis akan menyebutkan beberapa syarat-syarat wali, diantaranya[9]:
1.      Berakal
2.      Baligh
3.      Merdeka
4.      Tidak berbeda agama
5.      Adil
6.      Laki-laki
7.      Ar-Rusydu (orang yang mengetahui kemaslahatan dalam pernikahan)

D.     Macam-macam Wali
a)      Hanafiyah
Dinukil dari tesis seorang mahasiswa Gaza, bahwasanya ia membagi wali menjadi dua macam:
1.      Wali Nadb (sunnah) dan wali Istihbab (boleh)
Wali Nadb dan wali Istihbab adalah wali yang berlaku pada orang yang berakal, seorang baligh, baik gadis maupun janda. Maka yang berkuasa atas seorang wanita adalah walinya, agar tidak terjadi pernikahan bebas sehingga terjadi pencampuran nasab.
2.      Wali Hatm (pengharusan) dan Wali Mujbir (paksaan)
Wali Hatm dan wali Mujbir adalah wali yang berlaku pada anak kecil baik ia seorang gadis maupun janda, orang gila dewasa, baik laki-laki maupum wanita. Dan wali disini tidak berlaku atas orang baligh yang berakal, ataupun orang berakal yang baligh.
Dan wali Mujbir menurut Hanafiyah, yang berkaitan dengan seorang gadis dan janda, maka izin seorang wali tergantung kepada seorang gadis, maka ia boleh menikah tanpa izin walaupun ia seorang gadis yang baligh. Dan izin wali tidak berlaku sama sekali atas janda, karena seorang janda tidak akan menikah kecuali atas ridhonya.[10]
Jika dinukil dari kitab Fiqh ‘Alaa Madzahib al-Arba’ah, maka menurut ulama Hanafiyah tidak ada macam perwalian kecuali wali mujbir, maka makna wilayah (perwalian) adalah dianggapnya suatu perkataan wali atas seseorang yang di walikan, baik yang diwalikan tersebut ridho atau tidak. Menurut Hanafiyah tidak ada wali ghairu mujbir di dalam suatu akad pernikahan. wali mujbir hanya dikhususkan untuk pemaksaan atas anak kecil laki-laki, anak kecil perempuan orang tua gila laki-laki orang tua gila perempuan.[11]
b)      Malikiyah[12]
Dinukil dari tesis seorang mahasiswa Gaza, bahwasanya ia membagi wali menjadi dua macam:
1.      Wali Mujbir
Wali mujbir adalah wali yang memiliki hak sepenuhnya untuk menikahkan seseorang yang diwalikan tanpa meminta izin ataupun ridha dari yang diwalikan.
Seandainya wali menikahkan secara paksa putrinya dengan laki-laki yang kesulitan membayar maskawin, lalu ayahnya membayar maskawin tersebut, akad nikahnya tidak sah. Kecuali jika sebelum akad si ayah sudah menghibahkan hartanya untuk maskawin.[13]
            Yang termasuk wali mujbir adalah ayah, yang memiliki hak atas anak perempuannya, baik dengan ridhonya maupun tidak, baik masih kecil maupun gadis, atau seorang janda yang belum baligh. Dan begitu juga ketika ayah hendak menikahkan anak gadisnya yang baligh maupun yang masih kecil.
            Bagi seorang ayah memiliki hak penuh terhadap anak perempuannya selama masih gadis, sekalipu gadis yang telah berumur 60 tahun atau lebih dari itu. Dikatakan seorang perawan yang telah lanjut usia dan ia mengetahui kemaslahatan umurnya, maka ia seperti seorang janda yang tidak akan melangsungkan akad kecuali dengan izinnya.
Seperti sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam:
 عَنْ أَبِي هريرة رضي الله عنه أنّ رسول الله قال: ((لا تنكح الأيّم حتّى تستأمر, و لا تنكح البكر حتّى تستأذن)). قالوا: يا رسول الله! و كيف إذنها؟ قال: ((أن تسكت)). {البخاري: (5136), (1419)}
            Dari Abu Hurairah Radhiallau ‘Anhu, bahwasanya Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ((Janganlah kalian menikahi janda sampai ada perintah darinya, dan janganlah kalian menikahi gadis sampai mendapatkan izin darinya)). Kemudian para sahabat berkata: “ wahai Rosulullah bagaimanakah izinnya?”, Rosulullah bersabda: ((diamnya)). [HR. Bukhari (5136), Muslim (1419)][14]
          Hadits diatas menerangkan bahwa hukum yang diberlakukan bagi gadis berbeda dengan janda, adapun janda harus melalui izinnya, karena ia lebih berhak atas itu, berbeda dengan seorang gadis, maka seorang ayah berhak memberikan pilihan terhadapnya, dan pilihannya adalah diamnya. Dan lebih baik bagi seorang gadis yang baligh untuk meminta izin terlebih dahulu kepada ayahnya sebelum berlangsungnya akad nikah, dan ini merupakan perkara yang sunnah bukan wajib, untuk hadits diatas.[15]
2.      Wali Ghoiru Mujbir
Maka adapun janda yang telah baligh tidak akan terjadi akad nikah atasnya kecuali dengan izinnya, dan seorang yang wanita terdidik, yang telah di didik oleh ayahnya, atau telah terbebas kehidupannya dari ayahnya, maka itulah tindakan yang terbaik, maka sesungguhnya ayahnya tidak menjadi mujbir (pemaksa) terhadapnya, dan harus melalui izinnya, dan begitu pula bagi seorang istri yang tinggal bersama suaminya selama satu tahun atau lebih, kemudian si suami menceraikannya dan ia masih dalam keadaan perawan dalam artian belum pernah di sentuh sama sekali oleh suaminya kemudian ia kembali kepada orang ayahnya, maka ayahnya tidak boleh menikahkannya kecuali dengan keridhoannya.
c)      Syafi’iyah
Dalam madzhab Syafi’i, macam-macam wali terbagi menjadi dua[16] yaitu:
1.    Wali Ijbar
Bagi seorang ayah maka wajib baginya untuk menjadi wali ijbar dalam pernikahan gadis kecilnya, atau seorang gadis dewasa, sekalipun tanpa keridhoannya, akan tetapi lebih dicintai jika meminta izinnya terlebih dahulu, dan izinnya adalah diamnya.[17] Seperti sabda Rosululullah Shalallau ‘Alaihi Wasallam:
عَنْ أَبِي هريرة رضي الله عنه أنّ رسول الله قال: ((لا تنكح الأيّم حتّى تستأمر, و لا تنكح البكر حتّى تستأذن)). قالوا: يا رسول الله! و كيف إذنها؟ قال: ((أن تسكت)). {البخاري: (5136), (1419)}
            Dari Abu Hurairah Radhiallau ‘Anhu, bahwasanya Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ((Janganlah kalian menikahi janda sampai ada perintah darinya, dan janganlah kalian menikahi gadis sampai mendapatkan izin darinya)). Kemudian para sahabat berkata: “ wahai Rosulullah bagaimanakah izinnya?”, Rosulullah bersabda: ((diamnya)). [HR. Bukhari (5136), Muslim (1419)][18]
Dan diharuskan bagi ayah dan kakek untuk untuk menikahkan orang yang gila baik laki-laki maupun perempan jika tampak pada diri mereka hasrat untuk menikah, maka bagi ayah dan juga kakek menjadi wali ijbar bagi orang gila tersebut.[19]
2.    Wali Ikhtiyar
Wali ikhtiyar menurut imam syafi’i belaku pada seorang janda, maka walinya tidak boleh memaksanya untuk menikah kecuali dengan ridhonya.[20]
d)     Hanabilah
Dalam madzhab maliki macam-macam wali terbagi menjadi dua,[21] yaitu:
1.      Wali Mujbir
Wali mujbir menurut ulama Hanabilah adalah ayah bukan kakek.[22] Dan menurut madzhab maliki, al-washi (orang yang ditinggalkan wasiat) dapat menjadi wali, jika sebelum kematiannya (ayah) ia berkata kepada seseorang: “ kamu saya wasiatkan untuk menjadi wali bagi anak perempuanku.” Maka ketika sang ayah wafat ia dapat menjadi wali bagi anak perempuannya sekalipun berasal dari kerabat jauh.[23]
Dan seorang majikan, menjadi wali mujbir bagi budak perempuannya yang gadis, dan wali bagi seorang budak yang janda adalah seorang mukatab (orang yang memerdekakan diri). Dan seorang majikan, juga menjadi wali mujbir bagi budak-budak kecil yang ia miliki, sekalipum mereka dalam keadaan gila.[24]
2.      Wali Ghoiru Mujbir
Tidaklah bagi para ayah untuk menikahkan anak perempuannya yang telah baligh lagi berakal kecuali dengan izinnya, begitu juga kepada seorang janda harus dengan keridhoannya. Dan tidaklah bagi para majikan menjadi wali bagi para budaknya yang baligh lagi berakal, dan tidaklah bagi para pemimpin untuk menjadi wali mujbir bagi orang yang merdeka kecuali dengan izin dari keduanya, apabila janda maka izinnya dengan penjelasan darinya, dan jika ia seorang gadis maka cukup dengan diamnya.[25]

Setelah kita mengetahui pembagian macam-macam wali menurut 4 imam madzhab, maka dari beberapa wali diatas, wali yang telah di sepakati oleh para ulama ada dua macam[26], yaitu:
1.      Wali Mujbir
Wali mujbir adalah wali yang memiliki hak sepenuhnya untuk menikahkan seseorang yang diwalikan tanpa meminta izin ataupun ridho dari yang diwalikan. Seandainya wali menikahkan secara paksa putrinya dengan laki-laki yang kesulitan membayar maskawin, lalu ayahnya membayar maskawin tersebut, akad nikahnya tidak sah. Kecuali jika sebelum akad si ayah sudah menghibahkan hartanya untuk maskawin. [27]
Menurut kesepakatan para fuqoha, wali mujbir di tetapkan atas anak kecil, gadis kecil, dan orang gila, yang apabila dengan nikah tersebut akan mendatangkan kemaslahatan baginya.
Adapun bagi seorang janda yang masih kecil dan seorang gadis yang baligh lagi berakal[28]:
a.       Maka menurut ulama Hanafiyah wali mujbir hanya ditetapkan bagi seorang janda yang masih kecil dan tidak berlaku bagi seorang gadis yang telah baligh, karena ‘illah (sebab) adanya wali mujbir karena belianya umur seseorang.
b.      Adapun menurut ulama Malikiyah wali mujbir ditetapkan untuk mereka (janda kecil dan gadis yang telah baligh), karena ‘illah (sebab) wali mujbir hanya diperuntukkan untuk mereka baik masih kecil maupun seorang gadis, maka seorang gadis yang telah baligh ditetapkan atasnya wali mujbir, sekalipun umurnya telah mencapai enam puluh tahun keatas.
c.       Dan ulama Syafi’iyah mengatakan, wali mujbir ditetapkan untuk seorang gadis kecil maupun yang telah dewasa, karena ‘illah (sebab) diantara mereka adalah gadis.
d.      Dan ulama Hanabilah mengatakan, wali mujbir ditetapkan bagi anak kecil, karena ‘illah (sebab) diantara mereka adalah kecilnya.
2.      Wali Ikhtiyar
Wali ikhtiyar merupakan wali yang disunnahkan, istihbab (dicintai), pilihan, dan berserikat. Dan perwalian ini bukan termasuk wilayah ijbar. Menurut kasepakatan ulama wali ikhtiyar ditetapkan atas seorang wanita yang baligh, berakal lagi dewasa. Ulama Hanafiyah mengatakan, sama kedudukan wali ikhtiyar bagi seorang janda maupun seorang gadis adalah istihbab (dicintai) dan nadb (sunnah). Adapun menurut jumhur, wali ikhtiyar hanya dikhususkan bagi janda saja.
Wallahua’lam Bisshowab







[1] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid. 7, cet. 34, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1436 H/ 2014 M), hlm. 92
        [2] Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, jilid. 32, (t.tp: yayasan ar-risalah, 1420 H/1999 M) ,hlm: 280
[3] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid. 7, cet. 34, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1436 H/ 2014 M), hlm. 92
[4] Abi Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusydi Al-Qurthubi Al-Andalusy, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, jilid. 1, cet. 1, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 1433 H/ 2012 M), hlm. 15
[5] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid. 7, cet. 34, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1436 H/ 2014 M), hlm.190
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Sayyid Sabiq, Fqhu Sunnah, jilid. 2, cet. 1, (Kairo: Dar Al-Fathi lil I’lami Al-‘Arobi, 1421 H/ 2000 M), hlm. 82
[9] Abdul Karim Zaidan, al-Mufashol Fi Ahkam al-Mar’ah Wa Baitil Muslim Fi Syari’ah al-Islamiyah, Cet. Ke-3, Jld. Ke-6, (Beirut Libanon: Muassasah ar-Risalah, 1420 H/2000 M), hlm. 348-352
[10]  Basmah Abddur Rahim Rajak Mathor, Az-Zawaj bi Dunil Wali wa Al-Atsar Al-Mutarattabah ‘Alihi wa Tathbiqotihi fi Al-Mahakim Asy-Syar’iyah bi Qithoi’i Gaza, (Gaza: Kuliyah Asy-Syar’iyah wa Qonun fi Jami’ah Al-Islamiyah, 1427 H/ 2006 M), hlm. 44

[11] Abdurrahman al-Jazairiy, Kitaabul Fiqh ‘Alaa Madzahib al-Arba’ah, cet. 2, jilid. 4, (Beirut, Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 M/ 1423 H), hlm. 31
[12]  Basmah Abddur Rahim Rajak Mathor, Az-Zawaj bi Dunil Wali wa Al-Atsar Al-Mutarattabah ‘Alihi wa Tathbiqotihi fi Al-Mahakim Asy-Syar’iyah bi Qithoi’i Gaza, (Gaza: Kuliyah Asy-Syar’iyah wa Qonun fi Jami’ah Al-Islamiyah, 1427 H/ 2006 M), hlm. 44-45
[13] Abdurrahman al-Jazairiy, Kitaabul Fiqh ‘Alaa Madzahib al-Arba’ah, cet. 2, jilid. 4, (Beirut, Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 M/ 1423 H), hlm. 31
[14]  Abdullah bin Abdurrahman bin Sholih Al-Bassam, Taisirul ‘Allaam Syarh ‘Umdatul Ahkam,  cet. 2, (Arab Saudi: Daar Al-Mughni Linsyaru wa Tauzi’), hlm. 822
[15]  Basmah Abddur Rahim Rajak Mathor, Az-Zawaj bi Dunil Wali wa Al-Atsar Al-Mutarattabah ‘Alihi wa Tathbiqotihi fi Al-Mahakim Asy-Syar’iyah bi Qithoi’i Gaza, (Gaza: Kuliyah Asy-Syar’iyah wa Qonun fi Jami’ah Al-Islamiyah, 1427 H/ 2006 M), hlm. 45-46
[16]  Ibid
[17]  Syamsuddin Muhammad BIN Khotib As-Syarbini, Mughni Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’aani Al-fadzi Al-Manhaji, cet. 1,  jilid. 3, (Bairut Lebanon: Daar El-Marefah, 1418 H/ 1997 M) hlm. 198
[18]  Abdullah bin Abdurrahman bin Sholih Al-Bassam, Taisirul ‘Allaam Syarh ‘Umdatul Ahkam,  cet. 2, (Arab Saudi: Daar Al-Mughni Linsyaru wa Tauzi’), hlm. 822
[19]  Basmah Abddur Rahim Rajak Mathor, Az-Zawaj bi Dunil Wali wa Al-Atsar Al-Mutarattabah ‘Alihi wa Tathbiqotihi fi Al-Mahakim Asy-Syar’iyah bi Qithoi’i Gaza, (Gaza: Kuliyah Asy-Syar’iyah wa Qonun fi Jami’ah Al-Islamiyah, 1427 H/ 2006 M), hlm. 46
[20] Abi Zakariyya Yahya bin Syirof An-Nawawi Ad-Dimasyki, Roudhoh Ath-Tholibin, cet. 5, jilid. 5, (Bairut Lebanon: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1423 H/ 2003 M), hlm. 377
[21]  Basmah Abddur Rahim Rajak Mathor, Az-Zawaj bi Dunil Wali wa Al-Atsar Al-Mutarattabah ‘Alihi wa Tathbiqotihi fi Al-Mahakim Asy-Syar’iyah bi Qithoi’i Gaza, (Gaza: Kuliyah Asy-Syar’iyah wa Qonun fi Jami’ah Al-Islamiyah, 1427 H/ 2006 M), hlm. 46
[22] Abdurrahman al-Jazairiy, Kitaabul Fiqh ‘Alaa Madzahib al-Arba’ah, cet. 2, jilid. 4, (Beirut, Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 M/ 1423 H), hlm. 31
[23] Ibid
[24]  Basmah Abddur Rahim Rajak Mathor, Az-Zawaj bi Dunil Wali wa Al-Atsar Al-Mutarattabah ‘Alihi wa Tathbiqotihi fi Al-Mahakim Asy-Syar’iyah bi Qithoi’i Gaza, (Gaza: Kuliyah Asy-Syar’iyah wa Qonun fi Jami’ah Al-Islamiyah, 1427 H/ 2006 M), hlm. 46
[25] Ibid
[26] Ibid, hlm. 46-47
[27]  Abdurrahman al-Jazairiy, Kitaabul Fiqh ‘Alaa Madzahib al-Arba’ah, cet. 2, jilid. 4, (Beirut, Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 M/ 1423 H), hlm. 31

[28]  Basmah Abddur Rahim Rajak Mathor, Az-Zawaj bi Dunil Wali wa Al-Atsar Al-Mutarattabah ‘Alihi wa Tathbiqotihi fi Al-Mahakim Asy-Syar’iyah bi Qithoi’i Gaza, (Gaza: Kuliyah Asy-Syar’iyah wa Qonun fi Jami’ah Al-Islamiyah, 1427 H/ 2006 M), hlm. 46
1