Meniti Jalan Menuju Jannah Firdaus-Nya

Selasa, 20 Maret 2018

Hukum Memegang dan Membaca Alqur’an Serta Hukum Memasuki Masjid bagi Wanita Haid





I.          PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
Haid merupakan suatu keadaan yang menjadikan seorang wanita memiliki ketentuan-ketentuan tertentu dalam melakukan sebuah amal ibadah. Seperti memegang,membaca Alqur’an dan memasuki masjid. Padahal membaca Alqur’an merupakan salah satu amal yaumiyah umat islam yang bernilai ibadah, baik dengan tujuan menghafalnya, mentadaburinya, ataupun mempelajarinya.
Allah memerintahkan hamba-Nya untuk selalu berinteraksi dengan Alqur’an, yang tertulis dalam firman-Nya yang berbunyi,
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ
"Bacalah sesuatu yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Alkitab (Alqur’an), dan dirikanlah shalat." (QS. Al-Ankabut: 45)
Lalu, bagaimana dengan seorang wanita yang dalam keadaan haid namun dia ingin mendapatkan pahala dan keutamaan dari amalan tersebut?. Seperti membaca Alqur’an dan menghadiri majlis ilmu yang diselenggarakan di masjid. Bolehkah dalam keadaan - keadaan tersebut seorang wanita yang haid memegang atau membaca Alqur’an,dan memasuki masjid.?
Dalam hal ini terjadi banyak perbedaan pendapat diantara para ulama tentang hukum membaca ataupun memegang Alqur’an dan hukum memasuki masjid bagi wanita yang sedang haid. Maka dalam makalah sederhana ini penulis akan sedikit memaparkan hukum membaca, memegang Alqur’an dan hukum memasuki masjid bagi wanita haid .
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hukum membaca dan memegang Alqur’an bagi wanita haid?
2.      Bagaimana hukum memasuki masjid bagi wanita haid?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui hukum membaca dan memegang Alqur’an bagi wanita haid
2.      Memahami hukum memasuki masjid bagi wanita haid
D.    Manfaat Penulisan
1.      Secara teoritis
a.       Menjelaskan hukum memegang, membaca Alqur’an , dan memasuki masjid bagi wanit haid.
b.      Sebagai pedoman dan menjadi jawaban untuk menghilangkan kebingungan  bagi para  muslimah dalam mengetahui hukum memegang, membaca Alqur’an dan memasuki masjid bagi wanita haid.
2.      Secara praktis
a.       Untuk kepentingan dakwah masyarakat sehingga dapat mengetahui hukum memegang, membaca Alqur’an dan memasuki masjid bagi wanita haid

II.       PEMBAHASAN
A.    Definisi
1.      Alqur’an
Alqur’an secara bahasa merupakan mashdar dari قرأ- يقرأ- قرآن yang berarti jama’atau kumpulan.[1] Adapun secara istilah yaitu kitab yang diturunkan kepada Rasulullah, yang tertulis di dalam Alqur’an, yang diturunkan kepada Nabi secara mutawatir tanpa ada keraguan di dalamnya,[2] dan membacanya bernilai ibadah.[3]
2.      Masjid
Masjid secara bahasa yaitu bentuk mufrod dari مساجد yang berarti  tempat shalat, atau tempat sujud jasad manusia. Adapun masjid menurut istilah yaitu tempat yang sudah ditetapkan murni untuk beribadah kepada Allah.[4]

B.     Hukum memegang Alqur’an bagi wanita haid
1.      Definisi memegang
Memegang menurut bahasa berasal dari kataمس-يمس  yang berarti memegang sesuatu dengan tangan. Adapun menurut istilah, memegang adalah bertemunya anggota badan dengan anggota badan yang lain sampai dapat merasakan panas, dingin, keras, lembut.[5]
2.      Dasar hukum
Allah berfirman,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَ
"Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci." (QS. Al-Waqi’ah: 79)
3.      Hukum memegang Alqur’an bagi wanita haid
Yang dimaksud dengan Alquran disini adalah Alqur’an murni, dimana tidak tercampur oleh perkataan manusia, baik tafsir atau terjemah. Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian,
a.       Memegang langsung tanpa penghalang
Jumhur ulama’ (ulama’ empat madzhab) sepakat bahwa memegang Alqur’an tanpa penghalang bagi wanita haid adalah haram. Dalilnya adalah,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَ                                               
"Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci." (QS. Al-Waqi’ah: 79)
Para ulama’ berikhtilaf dalam menafsirkan ayat ini. Ibnu Jarir menceritakan dari Ibnu Abbas bahwa dhomir ىهُ yang dimaksud di sini adalah kitab yang berada di langit. Ini juga pendapat Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, dan Anas.[6] Adapun الْمُطَهَّرُوْنَ berarti suci dari syirik (menurut Ibnu Saib), suci dari dosa dan kesalahan (menurut Ar-Rabi’ bin Anas).[7]
Namun, yang paling rojih menurut mufassirin dan fuqoha’ adalah, dhomir ىهُ yang dimaksud adalah Alqur’an yang  berarti mushaf Alqur’an yang ada di tangan kita sekarang. Adapun الْمُطَهَّرُوْنَ yakni suci dari hadats.[8]
Hal ini didukung dengan ayat setelahnya, QS. Al-Waqi’ah ayat delapan puluh, “yang diturunkan dari Rabb semesta alam.” yang menunjukkan secara zdhohir bahwa yang dimaksud adalah Alqur’an yang saat ini berada di tangan manusia. Juga berdasarkan hadits,
لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلِاَّطَاهِرُ           
“Tidak boleh menyentuh Alqur’an kecuali orang yang suci.”(HR. Atsram dan Daruquthni)[9].
Ibnu Abdil Barr mengatakan, "Tidak boleh bagi seseorang menyentuh Alqur’an, baik secara langsung ataupun menggunakan penghalang kecuali dalam keadaan suci."[10] Al-Khathib As-Syarbini juga mengatakan, "Diharamkan bagi wanita haid dan membawanya."[11]
Adapun Zhohiriyah membolehkannya secara mutlak. Ibnu Hazm berkata, "Membaca Alqur’an, sujud tilawah, menyentuh Alqur’an dan berdzikir diperbolehkan. Baik dilakukan oleh orang yang berwudhu ataupun tidak , orang yang junub, ataupun haid."[12] Menurut Zhohiriyah, firman Allah dalam QS. Al-Waqi'ah ayat sembilan puluh tujuh tidak bisa dijadikan hujjah, karena 'tidak menyentuhnya' bukanlah kalimat larangan melainkan khabar.
b.      Memegang dengan penghalang
Pendapat ulama tentang hal ini terbagi menjadi tiga, yakni membolehkan jika penghalang terpisah dari Alqur’an, melarang secara mutlak, dan membolehkan secara mutlak.
Hanafiyah,[13] Malikiyah[14], dan mayoritas Hanabilah[15] membolehkan memegang Alqur’an dengan penghalang, dengan syarat penghalang tersebut terpisah dari Alqur’an (bukan sampulnya). Karena, sampul Alqur’an termasuk bagian dari Alqur’an dan tidak dijual terpisah,[16] berbeda dengan kain, sarung tangan, dan sejenisnya.
Yang mengharamkannya secara mutlak adalah Syafi’iyah.[17] Sedangkan yang membolehkannya secara mutlak, baik penghalang terpisah dari Alqur’an atau tidak adalah sebagian Syafi’iyah[18] dan sebagian Hanabilah.[19] Karena, yang dilarang secara jelas adalah memegang Alqur’an secara langsung.[20] Sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa bahwa,  diperbolehkan bagi wanita haid memegang Alqur’an dengan lengan bajunya, asalkan tidak bersentuhan dengan tangan secara langsung.[21]
4.      Hukum memegang Alqur’an terjemah
Malikiyah,[22] Syafi’iyah,[23] dan Hanabilah[24] membolehkan wanita haid memegang Alqur’an terjemah. Alasannya, mereka mengqiyaskan Alqur’an terjemah dengan tafsir yang mana keduanya bukan bagian dari Alqur’an, sehingga tidak dilarang memegangnya. Hujjah yang digunakan adalah firman Allah,
إِنَّا أَنْزَلْنَهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا
“Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Qur’an berbahasa arab agar kamu mengerti” (QS.Yusuf: 2 ).
Dan juga firman Allah,
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِيْنٍ
“Dengan bahasa arab yang jelas” (QS.Asy-Syuara': 195).
Ayat diatas menjelaskan bahwa Alqur’an turun dengan bahasa arab. Yang berarti bahwa terjemahan tidak bisa disebut sebagai Alqur’an sehingga tidak diharamkan bagi orang yang berhadats untuk menyentuhnya.
Sedangkan Hanafiyah[25] melarangnya, karena mereka berpendapat bahwa makna Alqur’an terkandung dalam terjemahan tersebut.[26]
5.      Hukum memegang tafsir Alqur’an
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang membolehkan secara mutlak, memakruhkan, dan mengharamkan. Adapun rinciannya adalah berikut,
a.       Boleh
Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyah,[27] Malikiyah,[28] dan Ahmad[29]. Hujjahnya, bahwasanya Rasulullah pernah mengirim surat ke Kisra yang di dalamnya mengandung ayat Alqur’an. Itu berarti, beliau tidak keberatan jika ayat Alqur’an dipegang oleh seorang yang kafir lagi najis (karena kesyirikan mereka). Sedangkan wanita haid lebih suci dibanding mereka.
Hujjah lain, bahwasanya tafsir tidak sama dengan Alqur’an, dan tidak ada dalil yang mengharamkannya. Dan bahwa membaca tafsir tidak sama dengan tilawah, sehingga tidak diharuskan dalam kondisi suci.[30]
b.      Makruh
Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyah.[31] Alasannya, karena kitab tafsir tidak mungkin terlepas dari ayat Alqur’an, maka makruh memegangnya saat haid.[32]
c.       Haram
Ini adalah pendapat Syafi’yah[33] dan sebagian Hanafiyah.[34] Hujjahnya, karena kitab tafsir mencakup di dalamnya ayat-ayat Alqur’an, bahkan bisa jadi ayatnya lebih banyak dari pada tafsirnya. Maka, berlaku baginya sama seperti hukum Alqur’an.[35]
Dari pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan, jika ayatnya lebih banyak maka haram memegangnya.
6.       Memegang Alqur’an untuk belajar-mengajar
Menurut Malikiyah, diperbolehkan memegang Alqur’an dengan niat untuk mengajar atau belajar, baik menyentuh seluruh Alqur’an sebagian ataupun selembaran yang bertuliskan ayat Alqur’an. karena wanita haid tidak bisa dengan mudah menghilangkan hadastnya dan juga karena masa haid itu panjang. Dan diperbolehkan menelaah dan menghafal Alqur’an ketika itu.[36] Maka membaca Alqur’an  menggunakan hafalan juga diperbolehkan karena membaca alquran tanpa memegang Alqur’an sama seperti dzikir. [37]

C.    Hukum membaca Alqur’an bagi wanita haid
1.      Definisi membaca
Yang dimaksud dengan membaca adalah membaca setiap huruf menggunakan lisannya dengan benar baik  terdengar oleh dirinya sendiri ataupun tidak terdengar oleh dirinya sendiri. [38]
2.      Hukum membaca Alqur’an bagi wanita haid
Ulama berikhtilaf mengenai hukum wanita haid membaca Alqur’an. Sebagian ulama membolehkan dan sebagiannya melarang. Berikut ini adalah hujjah yang dikemukakan oleh masing-masing pihak,
a.       Dasar hukum yang membolehkan
Hujjah kelompok ini adalah hadits Aisyah, "aku datang ke Mekah dalam keadaan haid, dan aku tidak berthawaf di Baitulharam dan juga tidak antara Shafa dan Marwah. Lalu aku mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda:
افْعَلِيْ كَمَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوْفِيْ بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِيْ
"Lakukanlah seperti yang dilakukan orang yang berhaji kecuali thawaf di Baitulharam sampai engkau suci."[39]
Hadits tersebut menerangkan secara jelas bahwa perempuan yang sedang haid disyariatkan untuk tetap berdzikir. Dan membaca Alqur’an merupakan salah satu bentuk dzikir, sebagaimana firman Allah,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alqur’an, dan sesungguhnya kami yang benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr: 9)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Dan yang paling baik adalah yang dikatakan oleh Ibnu Rasyid mengikuti Ibnu Bathal dan ulama yang lainnya, bahwa sesungguhnya yang dimaksud oleh dalil tersebut adalah bolehnya membaca Alqur’an bagi perempuan haid dan orang junub berdasarkan hadits Aisyah. Karena Nabi tidak mengecualikan dari semua manasik haji kecuali thawaf."[40]
Adapun Ibnu Hazm dari madzhab Zhohiriyah menyatakan bahwa, wanita haid boleh membaca Alqur’an secara mutlak.  Karena membaca Alqur’an merupakan amalan yang baik dan berpahala. Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa membacanya ketika tidak suci tidak diperbolehkan, maka hal tersebut harus berdasarkan dalil. Adapun dalil larangan menyentuh Alqur’an dalam QS. Al-Waqi'ah ayat tujuh puluh sembilan bukan merupakan larangan melainkan khabar.[41]
b.      Dasar hukum yang melarang
Ini merupakan pendapat yang diambil oleh jumhur fuqoha'. Membaca Alqur’an dalam keadaan suci merupakan salah satu bentuk penjagaan adab terhadap Alqur’an. Itu berarti, tidak boleh bagi wanita haid membaca Alqur’an, karena ia dalam keadaan tidak suci. Hanafiyah dan Hanabilah berhujjah dengan hadits Rasulullah,
لَا تَقْرَأُ الْحَائِضَ وَلَا الْجُنُبَ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
"Tidaklah diperbolehkan bagi wanita haid dan orang junub membaca Alqur’an." (HR. At-Tirmidzi).[42]
Imam An-Nawawi meriwayatkan bahwa para ulama’ sepakat tentang haramnya wanita haid membaca Alqur’an. Alasannya, masa haid hanya berlangsung beberapa hari dan tidak sampai membuat seseorang lupa dengan hafalannya. Adapun jika khawatir terhadap hafalannya, maka cukup dengan muraja’ah atau menghafal di dalam hatinya.
Jika seorang wanita telah suci, namun ia tidak mendapat air untuk mandi, maka ia tetap dilarang membaca Alqur’an kecuali saat melakukan sholat. [43]
3.      Membaca Alqur’an bagi wanita haid untuk belajar atau  mengulang hafalan
Menurut Ibnu Taimiyah  beliau berpendapat, jika wanita yang haid tersebut tidak  takut hafalannya hilang maka dia tidak boleh membacanya. Adapun jika wanita tersebut takut hafalannya hilang maka tidak mengapa membacanya.[44] Syaikh Abdullah Shalih Al- Utsaimin mengatakan bahwa boleh bagi wanita haid untuk membaca Alqur’an jika ada keperluan seperti, seorang guru atau murid yang membaca al-qura’an dalam rangka untuk belajar atau mengajar.[45]
D.    Hukum memasuki masjid bagi wanita haid
1.      Definisi masjid
Yang dimaksud dengan masjid menurut Syafi’iyah[46] dan Hanafiyah[47] yaitu suatu tempat yang digunakan untuk shalat. Sedangkan menurut Malikiyah dan Hanabilah, masjid adalah tempat yang sengaja dibangun untuk masjid yang biasa digunakan untuk shalat fardhu.[48]
2.      Dasar hukum
Allah berfirman,
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْا لَا تَقْرَبُوْا الصَّلَاةَ وَ أَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّي تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ
"Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat (masjid) dalam keadaan mabuk sampai kalian sadar apa yang kalian katakan, dan tidak pula dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati saja." (QS. An-Nisa': 43)
Ibnu Abbas mengomentari ayat ولا جنبا إلاّ عابري سبيل حتى تغتسلوا, beliau berkata, “Engkau  (boleh) lewat selintas dan jangan duduk.” Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Anas, Abu Ubaidah, Ad-Dhahhak, Atha’, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, dan Hasan Al-Bashri.  Adapun yang dimaksud dengan shalat pada ayat di atas adalah masjid.[49]
Rasulullah bersabda,
فَإِنِّي لَا أَحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ
"Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang sedang haid dan junub." (HR. Abu Daud).[50]
3.      Hukum memasuki masjid bagi wanita haid
Kategori memasuki masjid dalam pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian,
a.       Memasuki masjid dan berdiam diri di dalamnya.
-          Tidak diperbolehkan
Ini adalah pendapat jumhur.[51] Hujjah mereka adalah firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati shalat dalam keadaan mabuk sampai kalian sadar apa yang kalian katakan, dan jangan pula dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati saja." (QS. An-Nisa': 43).
Yakni, bahwa Allah melarang orang junub dan haid  untuk mendekati shalat.[52] Shalat yang dimaksud dalam ayat di atas adalah masjid. Alasannya, karena ditakutkan akan mengotori masjid.
-          Dibolehkan
Yang membolehkan adalah Ibnu Hazm, Daud, dan Al-Muzni.[53] Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah,
افْعَلِيْ كَمَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوْفِيْ بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِيْ
"Lakukanlah seperti yang dilakukan orang yang berhaji kecuali thawaf di Baitulharam sampai engkau suci."[54]
Adapun pendapat yang rajih dari kedua pendapat di atas bahwasanya, diperbolehkan  bagi wanita haid berdiam diri di masjid jika tidak dikhawatirkan darahnya mengotori masjid.[55]
b.      Melewati masjid
Ulama berikhtilaf  mengenai boleh tidaknya wanita haid melewati masjid, berdiam diri sebentar, atau memasukinya karena suatu keperluan. Pendapat ulama terbagi menjadi dua,
-          Boleh  
Ulama Hanabilah,[56] Syafi’iyah,[57] dan sebagian ulama Malikiyah[58] memperbolehkan wanita haid memasuki masjid jika hanya sekedar lewat saja. Pendapat mereka berlandaskan dengan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat tiga puluh empat, sebagaimana yang tertulis di atas.
Kelompok ini berpendapat bahwa makna lafazh عابري سبيل berarti musafir. Artinya, larangan mendekati sholat ditujukan kepada orang junub (sampai bersuci) dan musafir (karena rukhshoh).[59] Itu berarti, orang haid tidak dilarang memasuki atau melewati masjid.
-          Tidak diperbolehkan
Ulama Hanafiyah,[60] Malikiyah[61],dan Syafi’iyah[62] dalam pendapatnya yang shahih, melarang wanita haid memasuki masjid secara mutlak meski sekedar lewat saja. Hujjah mereka adalah sabda Rasulullah, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang sedang haid dan junub.”

III.    PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan :
1.      Ulama sepakat mengharamkan membaca Alqur’an bagi wanita haid. Kecuali madzhab Dzhohiriyah yang membolehkan. Syaikh Ibnu Taimiyah memperbolehkan membaca wanita haid membaca Alqur’an untuk belajar mengajar atau mengulang hafalan.
2.      Mayoritas ulama memperbolehkan memegang Alqur’an menggunakan pembatas. wanita haid boleh memegang Alqur’an terjemah, dan kitab tafsir karena keduanya tidak bisa dinamakan Alqur’an. kemudian ulama madzhab Maliki memperbolehkan memegang Alqur’an bagi wanita haid dalam rangka belajar mengajar dan mengulang hafalan.
3.      Ulama Malikiyah dan Hanafiyah mengharamkan wanita haid masuk berdiam diri di masjid walaupun hanya sekedar lewat.
4.      Ulama syafi’I dan hanabilah memperbolehkan wanita haid melewati masjid tanpa berdiam diri jika ada keperluan. Adapun untuk kehati-hatian maka wanita haid dilarang memasuki masjid.  Wallahu A’lam.
B.     Saran
            Penulis menyarankan hendaknya para wanita memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan haid. Termasuk larangan-larangan ketika haid sehingga para muslimah dapat menjaga amal ibadahnya. Sehingga segala amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT.

Created by: Devie Yuliana







[1] Wizaratul Auqof wa Syu'unil Islamiyah, Mausu'ah Fiqhiyah Kuwaitiyah (Kuwait, Darus Shofwah: 1998),  jild. 33, hlm. 30
[2] Ibid
[3] Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Alqur'an, (Pustaka Al-Kausar,jakarta.2005) hlm. 18
[4] Wizaratul Auqof wa Syu'unil Islamiyah, Mausu'ah…, jild. 37, hlm. 194
[5] Wizaratul Auqof wa Syu'unil Islamiyah, Mausu'ah…, jild. 37, hlm. 276.
[6] Dr. Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh,Tafsir Ibnu Katsir,(Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008),cet.1,jild.9,hlm.347.
[7] Jamaluddin Abul Faraj Abdurrahman, Zaadul Masir fi Ilmi Tafsir (Beirut: Darul Kutub Al-Arabi, 1422), cet. 1, jil. 4, hal. 228.
[8] Al-Mughni 1/203, Ahkamul Qur’an Ibnul ‘Araby
[9] Malik, Muwatha’  (tt: Maktabah ‘Ilmiyah, tt), cet. 2, hal. 106. Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi  (tt: Darul Mughni linnasyri wat Tawzi’, 2000 M), cet. 1, jil. 3, hal. 1455.
[10] Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Ibnu Abdil Barr, Al Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah,(Beirut Darul Kutub Al- Ilmiyah:1992), jild. 1, hlm. 172
[11] Syamsuddin Al-Khotib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1994), jild. 1, hlm. 290
[12] Abi Muhammad Ali bin Said bin Hazm Al-Andalusi, Al-Muhalla bil Atsar,(Beirut Darul Kutub Al-Ilmiyah:2003), jild. 1, hlm. 94
[13] Abu Bakar bin Mas'ud Al-Kasaniy, Badai' Shanai'(Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah:1986) Badai’ Shanai’ jild.1/hal.33.
[14] Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuki Al-Maliki ,Hasyiyah Ad-Dasuqiy,jild. 1/,hlm.155.
[15] Muhammad Amin Addinawi,Kassyaful Qina, (Beirut,Alahul Kutub,1997),jild.1,hlm.134.
[16] Sholih bin Abdullah Al-Lahim, Al-Ahkam Al-Mutarattibah 'alal Haidh wan Nifas wal Istihadhah (t.t., Dar Ibnul Jauzi: 1429 H), hlm. 45
[17] Syamsuddin Al-Khotib As-Syarbini, Mughni Muhtaj,jild. 1,hlm.37.
[18] Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul…, jild’2,hlm.68.
[19] Ilauddin bin Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi,(1955), Al-Insof,jild. 1,hlm.223.
[20] Muhammad Amin Addinawi,Kassyaful Qina,jild. 1,hlm.134.
[21] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa,(Darul Hadits, Mesir: ), jild. 21, hlm. 267.
[22] Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuki Al-Maliki, Hasyisyatud Dasuki ‘ala Syarhul Kabir (tt Darul Fikr ),jild.1,hlm.155.
[23] Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul…, jild. 2,hlm.380.
[24] Abi Ishaq Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad,Al-Mabdu’(Darul Kutub al- Ilmiyah:1997),cet.8,jild.1,hlm.441.
[25] Humam Maulana Syaikh Nidzom,Al-Fatawa al-Hindia,(Beirut Darul Kutub al-Ilmiyah:2000),jild1,hlm.39.
[26] Sholih bin Abdullah Al-Lahim, Al-Ahkam Al-Mutarattibah 'alal Haidh wan Nifas wal Istihadhah (t.t., Dar Ibnul Jauzi: 1429 H), hlm. 52
[27] Zainuddin bin Ibrahim al-Ma’ruf bin nujim al-Khofi,Al-Asbahu Wa Nadzoir,(Damaskus Darul Fikr:1983),jild.1,hlm.112.
[28]Syamsuddin Syaikh Muhammad Arafah Addusuki, Syarhul Kabir,(Biddar Ihaya’ al-Kutub al-Arabiyah),jild.1,hlm.125.
[29]Ibnu Qudamah, Al-Mughni(Riyadh:Daar al-Kutub al-Ilmiyah:2008),jild.1,hlm.204.
[30] Sholih bin Abdullah Al-Lahim, Al-Ahkam Al-Mutarattibah…, hlm. 48.
[31] Asy-Syaukani,FathulQodir(Beirut:Darul Kutub al-Ilmiyah),jild.1,hlm,169.
[32] Ibid.
[33] Syamsuddin Al-Khotib As-Syarbini, Mughni Muhtaj (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1994),jild.1,hlm.37.
[34]Abu Bakar bin Mas'ud Al-Kasaniy, Badai' Shanai'(Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah:1986) ,jild.1,hlm.33.
[35] Ibid.
[36] Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuki Al-Maliki, Hasyisyatud Dasuki ‘ala Syarhul Kabir (tt Darul Fikr ), jild.1, hlm.126.
[37] http://asysyariah.com/problema-anda-hukum-wanita-haid-membaca-al-quran/
[38] Wizaratul Auqof wa Syu'unil Islamiyah, Mausu'ah…, jild. 33, hlm. 46.
[39] HR.Al-Bukhari dalam Shahih-nya Kitab Al-jami’,(Al-Matba’ah Assalafiyah,mesir:1400 H),jild.1,hlm.506, no: 1650.
[40]Imam Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari,(Darul Kutub Al-Ilmiyah:Beirut), jild. 1, hlm. 486
[41] Abi Muhammad Ali bin Said bin Hazm Al- Andalusi, Al- Muhalla bil Atsar, jild:1, hlm: 94
[42] HR.At-Tirmidzi,dalam kitab Sunannya,(Mustofa Al-bab Al-Halbi,),jild.1,hlm.236.
[43] Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul…, jild. 2, hlm. 356.
[44] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa,(Madinah Munawaroh Darul Hadits: 2004), jild. 21, hlm. 636.
[45] Muhammad Sholih Al-Utsaimin, Majmu’ Fatawa Wa- Rasail Al-Utsaimin,(Dar Ats-Tsaraya:1413),cet. Terakhir,hlm.220.
[46] Imam al-Mawardiy,Al-Haawiy al-Kabir,(Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah,1994),cet.1,jild.3,hlm.485.
[47] Syaikh Zainudin Ibnu Najim,Al-Bahrur Roo’iq,(Mathba’ah al- Ilmiyah),cet.1,jild.5,hlm.267-268.
[48] Dr.Wahbah Zuhaili,Al-Wajiz Fi-Fiqhi Islam,(Damaskus,Darul Fikr,2005),jild.2,hlm.347.
[49]Abi Thayyib Muhammad Syamsul Haq,Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud,(Madinah Munawaroh,Shohibul Maktabah Salafiyah:1968),jild.1, Hlm.390
[50] HR.Abu Daud,dalam kitabnya Sunan Abi Daud,(Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah:2015),jild.1,hlm.50.
[51] Abi Thayyib Muhammad Syamsul Haq,Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud,(Madinah Munawaroh,Shohibul Maktabah Salafiyah:1968),’, jild.1,hlm.260. no. 232
[52] Ibnu Qudamah al- Maqdisi,Al-Mughni, (Beirut Darul Kutub al- Ilmiyah,2008),jild.1,hlm.200.
[53]Abi Muhammad Ali bin Said bin Hazm Al-Andalusi, Al-Muhalla bil Atsar,(Beirut Darul Kutub al Ilmiyah:2003,jild.2,hlm.253.
[54] HR.Al-Bukhari dalam Shahih-nya Kitab Al-jami’,(Al-Matba’ah Assalafiyah,mesir:1400 H),jild.1,hlm.506, no: 1650.
[55] Sholih bin Abdullah Al-Lahim, Al-Ahkam Al-Mutarattibah…, hlm.62.
[56] Abu Bakar Ainaisaburi,Al-Ausath(Darul Thayyibah,1985),jild.2,hlm.110.
[57]Imam Muhyiddin An-Nawawi. t.t..  Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab,…….,jild.1,hlm.45.
[58] Abi Abdillah al-Maghribi,(Darul Alamil Kutub), [58] Abi Thayyib Muhammad Syamsul Haq,Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud,(Madinah Munawaroh,Shohibul Maktabah Salafiyah:1968),’, jild.1,hlm.260. no. 23.
[59] http://www.fiqihmuslimah.com/mbt/x.php?id=41.
[60] Abu Bakar bin Mas'ud Al-Kasaniy, Badai' Shanai'(Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah:1986), jild.1,hlm. 44.
[61] Syihabuddin Ahmad bin Idris Al-Qurafi, Adz- Dzakirah,(Darul Qurbi Al- Islami), jild. 1, hlm. 379
[62] Imam Muhyiddin An- Nawawi,Majmu’Syarhul Muhadzab,(jeddah,Maktabah al-Irsyad),jild.1,hlm.45.


0

0 komentar:

Posting Komentar