A. Pendahuluan
Sholat
merupakan rukun islam yang ke dua, dan melaksanakan rukun islam itu wajib bagi
setiap muslim. Maka wajib bagi kita untuk melaksanakan sholat karena sholat
merupakan bagian dari salah satu rukun islam. Dan di dalam sholat terdapat
rukun-rukun sholat. Dan rukun sholat
(أركان الصلاة) adalah setiap perkataan atau perbuatan yang
akan membentuk hakikat salat. Jika salah
satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak dianggap secara syar’i
dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi. Rukun dalam sholat tidak boleh di tinggalkan baik
karena sengaja, lupa, maupun memang tidak tahu. Karena, rukun itu seperti
pondasi dalam rumah. Artinya, rumah tidak akan berdiri tanpa pondasinya, begitu
juga sholat tanpa rukun. Karena itu, rukun harus di kerjakan karena termasuk dari
bagian yang esensial (inti).
B. Devinisi
Rukun Shalat
Rukun secara
bahasa adalah sesuatu yang berdampingan seseatu yang paling kuat. Rukun ibadah
adalah sesuatu yang membangun ibadah tersebut dan membatalkannya jika di
tinggalkan.[1]Rukun
secara istilah Tidak ada esensi untuk suatu hal tanpanya. [2]
Shalat secara
bahasa yaitu do’a .[3] Sholat
secara istilah adalah segala perbuatan yang diawali dengan takbir dan di akhiri
dengan salam di sertai dengan niat dan syarat-syarat tertentu ini pendapat jumhur[4].Menurut
Hanafi, sholat adalah bentuk perbuatan yang terangkai dari berbagai gerakan tertentu,
dzikir tertentu yang telah ma’lum dari Rasul ﷺ
dengan syarat yang telah tercakup dan pada waktu yang telah ditentukan.[5]
C. Perbedaan rukun dengan wajib
Rukun merupakan pondasi utama pada suatu bangunan, bila salah satu
rukunnya itu rusak atau tidak ada, maka bangunan itu akan roboh. Bila salah
satu rukun sholat tidak di lakukan atau tidak sah di lakukan, maka keseluruhan
rangkaian ibadah sholat itu pun menjadi tidak sah juga. Sabagian ulama ada yang
berpendapat bahwa rukun adalah perbuatan yang hukumnya wajib dilakukan dan
menjadi bagian utuh dari rangkaian ibadah dan rukun (fardhu) termasuk dalil
qoth’i. [6]
D.
Jumlah
rukun sholat menurut 4 imam madzhab
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah rukun sholat, pada
makalah ini akan di jelaskan mengenai pendapat empat imam madzhab, berikut
penjelasannya:
a.
Jumlah
rukun shalat dalam Madzhab Hanafi ada 6,
diantaranya: takbirotul ihrom dalam keadaan berdiri, berdiri, membaca surat,
ruku', sujud dan duduk akhir dengan membaca tasyahud. [7]
b.
Jumlah
rukun Shalat dalam Madzhab Maliki ada 14,
diantaranya: niat,
takbirotul ihrom, berdiri bagi yang mampu pada sholat wajib, memnaca al-fatihah
bagi imam dan makmum, berdiri ketika membaca al-fatihah, ruku', bangkit dari
ruku', sujud, duduk diantara dua sujud, salam, dan
duduk untuk salam, tuma’ninah pada setiap rukun, i'tidal pada ruku' dan sujud dan tertib.[8]
c.
Jumlah
rukun Shalat dalam Madzhab Syafi’i ada 13, diantaranya: Niat, takbirotul ihrom, berdiri pada sholat
wajib bagi yang mampu, membaca al-fatihah pada setiap sholat kecuali bagi yang
udzur karena masbuk, ruku', i'tidal, sujud dua kali, duduk diantara dua sujud,
tasyahud akhir, duduk pada tasyahud akhir, sholawat kepada Nabi ﷺ setelah tasyahud akhir, salam dan tertib.
fardhu
tidak dapat digantikan dengan sujud sahwi, akan tetapi bila salah seorang lupa
tidak mengerjakanya dan kemudian ia teringat ketika masih dalam keadaan sholat
atau setelah salam dan belum terjeda waktu yang lama maka ia harus sujud sahwi.[9]
d.
Jumlah
rukun Shalat dalam Madzhab Hanbali ada 14, diantaranya: takbirotul ihrom, berdiri pada sholat wajib
bagi yang mampu, mambaca al-fatihah pada setiap rakaat bagi imam dan makmum,
ruku', i'tidal, sujud, i'tidal pada sujud, duduk diantara dua sujud, tuma'ninah
pada ruku' dan gerakan-gerakan setelah ruku', tasyahud akhir, berselawat kepada
Nabi ﷺ setelah tasyahud akhir, duduk untuk dua kali
salam, salam dua kali dan tertib.[10]
E.
Rukun
sholat yang di sepakati
Ada enam rukun sholat yang
disepakati para ulama, diantaranya: takbirotul ihrom, berdiri, membaca surat, ruku’,
sujud dan duduk akhir dengan membaca tasyahud.
1.
Takbirotul
ihrom
Takbirotul ihrom merupakan salah satu rukun
dari rukun-rukun sholat yang telah di sepakati oleh para ulama, tanpa takbirotul
ihrom maka sholatnya tidak sah, seperti yang di katakan Rosululloh ﷺ:
مفتاح
الصلاة الوضوء و تحريمها التكبير و تحليلها التسليم
“
kunci sholat adalah wudhu, pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah
salam” (muttafaqun ‘alaihi)
Dan
juga sabda Nabi ﷺ kepada orang yang
masih salah dalam sholatnya:
اذا
قمت الى الصلاة فأسبغ الوضوء ثم استقبل
القبلة وكبر
“
apabila kamu berdiri untuk melaksanakan sholat, maka sempurnakanlah wudhu mu kemudian
menghadaplah qiblat setelah itu bertakbirlah” (H.R Bukhori)
Imam Nawawi (ulama Syafi’iyah) berkata, “ hadits
diatas termasuk hadis terbaik, karena Rosululloh ﷺ
belum menyebutkan nya (takbirotul ihrom) di dalam hadits kecuali ia adalah
amalan yang fardhu. Dan ketahuilah bahwasanya syarat shigot (ucapan) takbirotul
ihrom itu banyak, dan apabila sakah satu dari syarat shigotnya itu hilang, maka
sholatnya tidak sah. Dan salah satu shigotnya adalah, " الله
اكبر " dengan bahasa arab dan
adapun membacanya bagi orang yang mampu berdiri, seperti yang di riwayatkan
oleh Abu Hamid asy-sya’di ia berkata:
كان
رسول الله ﷺ اذا استفتح الصلاة استقبل القبلة ورفع يديه و قال: الله اكبر
“
adapun Rosulullohﷺ , apabila
beliau hendak melaksanakan sholat, maka
beliau menghadap kearah qiblat kemudian mengangkat tangannya lalu mengucapkan "الله اكبر".”
[11]
Para
ulama dari kalangan syafi’i, Maliki, Hambali
dan Muhammad ulama dari kalangan Hanafiyah bersepakat, bahwasanya takbirotul
ihrom merupakan rukun sholat dan bukan termasuk dari syarat sholat. Dan terdapat
pengecualian dari kalangan ulama Syafi’iyah mereka berkata, tidak boleh
menambahkan shigot takbirotul ihrom "الله اكبر"karena lafadz ini
merupakan lafadz takbir (pembesaran), dan adapun penambahan kata balagoh berupa
al-‘adzhim (pengagungan), seperti " الله الجليل
أكبر" atau semua sifat dari sifat-sifat Allah ﷻ maka hal ini tidak di bolehkan, sama halnya dengan larangan
membaca panjang (mad) pada lafadz
‘Allah’ dan ‘akbar’, seperti " آلله" dan " آكبر "
karena dapat merubah maknanya, ini adalah pendapatnya ulama dari kalangan Syafi’iyah
dan Hanabilah. Dan apabila dari kalangan orang yang sulit mengucapkan lafadz "الله
اكبر" tanpa mad, di karenakan ada kekurangan atau kecacatan pada lidahnya, maka ia cukup
berniat mengucapkan "الله اكبر"
dalam hatinya saja, ini merupakan pendapat ulama dari kalangan Syafi’iyah.[12]
Ulama dari
kalangan syafi’iyah berkata, orang yang sholat harus mengucapkan shigot takbir "
الله اكبر " sampai suaranya tardengar oleh dirinya sendiri, kecuali ia
adalah orang yang lemah untuk berdiri, lemah dalam pengucapan bahasa arab, maka
dalam hal ini boleh sesuai dengan kemampuannya saja, dan bahasa yang di gunakan
harus dengan bahasa arab tidak boleh bahasa selainnya. Dan tidak boleh
memisahkan antara isim mubtada’ dengan khobar, dan ini pendapat dari kalangan
ulama Malikiyah dan Hanabilah.[13]
2.
Berdiri
Berdiri yang di maksud di sini adalah berdiri tegak, seperti yang
telah di sepakati oleh para ulama bahwa berdiri tegak merupakan rukun sholat.
Sholat fardhu wajib di lakukan dengan berdiri, bila tidak ada ayat udzur syar’i.
salah satu dalil yang mewajibkan berdiri ketika sholat terdapat dalam qur’an
surat Al-Baqoroh ayat 238,
وَقُومُواْ
لِلّهِ قَانِتِينَ
“….Berdirilah
untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.”[14]
Dan
Rosululloh ﷺ bersabda kepada Imron bin Husain:
صلّي
قائيما, فإنْ لم تستطع فقاعداو, فإنْ لم تستطع فعلى جنبٍ
“sholatlah kamu dengan berdiri,jika kamu
tidak mampu maka dengan duduk, jika
tidak mampu (duduk) maka dengan berbaring.”
(H.R Bukhori) [15]
Hadist ini juga sekaligus menjelaskan bahwa berdiri hanya
diwajibkan untuk mereka yang mampu berdiri. Misalnya orang yang sedang sakit
yang sudah tidak mampu lagi untuk berdiri tegak. Orang yang sedang sakit bila
tidak mampu berdiri tegak, dibolehkan berdiri dengan bersandar pada dinding
atau tongkat demi untuk menopang tubuhnya. Dan apabila hak tersebut belum
cukup, ia dibolehkan sholat sambil duduk. Namun bila kemudian dia merasa mampu
untuk berdiri, mzkz sholatny kembali dilakukan sambil berdiri.[16]
Dan bila dirasa duduk pun tidak memungkinkan, maka orang yang
sedang sakit itu boleh sholat sambil berbaring. Bahkan apabila ia tidak sanggup
bergerak sama sekali, cukuplah baginya menganggukkan kepala saja menuru
Hanafiyah, atau dengan mengedipkan mata atau sekedar niat saja seperti pendapat
Malikiyah. Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa bisa dengan menggerakkan
anggota tubuh itu dalam hati.[17]
3.
Membaca
surat Al-Fatihah
Jumhur
ulama seperti madzhab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat menyebutkan bahwa
membaca surat Al-Fatihah adalah rukun sholat, dimana sholat seseorang tidak sah
tanpa membacanya. Dalil yang mereka adalah hadits Rosululloh ﷺ yang secara tegas menyebutkan tidak
sahnya sholat tanpa membaca surat Al-Fatihah:
لا
صلاة لمن لم يقرأ بأمّ القرأّن
Dari Ubadah bin
Shomit berkata, bahwa Rosululloh ﷺ
bersabda, “tidak sah sholat seseorang kecuali ia telah membaca ummil qur’an
(surat Al-Fatihah).” (HR. Bukhori)
Namun madzhab
Hanafiyah agak sedikit berbeda. Mereka menyebutkan bahwa surat Al-Fatihah ini
tetap harus di baca, namun kedudukan surat Al-Fatihah bukan termasuk rukun di
dalam sholat. Menurut mereka, kedudukan hanya sebatas wajib saja. Dasar
pendapat Hanafiyah ini merujuk kepada ayat al-qur’an tentang apa yang harus
dibaca di dalam sholat:
فَاقْرَؤُوا
مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآن
“…Maka bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an…” (QS. Al-Muzammil: 20)[18]
4.
Ruku’
Menurut
ijma’ dan para ulama, ruku’ merupakan salah satu daru rukun sholat pada setiap rakaat, dalilnya ialah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
“Hai
orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,…” (QS. Al-Hajj: 77)
Rosululloh
ﷺ bersabda:
صلّوا
كما رايتمونى أصلّى
“ sholatlah sebagaimana
kalian kalian melihatku sholat.” (HR.
Bukhori) [19]
Ruku’ diwajibkan hanya di dalam sholat saja, bukan untuk
yang lain, seperti, membungkuk turun untuk tilawah, apabila digunakan untuk
selainnya maka itu tidak diperbolehkan, ini merupakan pendapat madzhab syafi’I
dan hambali.[20]
5.
Sujud
Sujud
termasuk fardhu dalam sholat dengan ijma’ ulama, karena Allah ﷻ berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
“wahai
oarng-orang yang beriman! Ruku’lah, sujudlah…” (QS. Al-Hajj: 77)
Dan juga karena sunnah Rosululloh ﷺ dan perintah beliau pada orang yang sholatnya jelek , “kemudian
sujudlah hingga tuma’ninah dalam sujud. Kamudian bangkitlah dari sujud, lalu
duduk hingga tuma’ninah dalam duduk. Kemudian sujud lagi hingga tuma’ninah
dalam sujud”
Mengenai masalah
anggota-anggota sujud yang harus bersentuhan dengan tanah, menurut Malikiyah
sujud adalah dengan meletakkan bagian dahi sekitar dua alis mata. Disunnahkan untuk
menempelkan seluruh dahi ke tanah, dan sunnah juga untuk menempelkan hidung.
Sedangkan pendapat yang paling masyhur dalam madzhab Maliki mengatakan, sujud
itu cukup dilakukan dengan dahi tanpa hidung.
Syafi’iyah,
Hanafiyah, dan Hanabila menuturkan bahwa orang yang tidak dapat sujud karena
begitu banyaknya jumlah jama’ah sehingga tidak memungkinkan untuk sujud di atas
tanah bersama imam, maka ia boleh sujud di atas sesuatu , baik manusia, perhiasan,
hewan atau sejenisnya. Karena imam Al- keadaan penuh sesak maka boleh sujud dan
menempelkan dahinya pada punggung saudaranya .”
Adapun
menempelkan dua, telapak tangan dua lutut, dan ujung kaki dalam sujud, itu
termasuk sunnah. Dalilnya hadits dari Abbas bin Abdul Mutholib bahwa ia
mendengar Rosululloh ﷺ bersabda:
اذا
سجد العبد سجد معه سبعة آراب وجهه وكفاه وركبتاه وقدماه
“jika seseorang hamba bersujud, maka
bersujud pula tujuh anggota wajah, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua
telapak kaki.” (HR. Jama’ah kecuali Bukhori)
Para ulama
sepakat bahwaanggota sujud yang sempurna ada tujuh, yaitu wajah, dua tangan,
dua lutut, dan ujung dua kaki,karena hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “aku
di perintahkan untuk sujud dangan tujuh tulang, yaitu dahi, dua tangan , dua
lutut, dan dua kaki.” (HR. Muttafaqun’alaihi)[21]
6.
Duduk
akhir dengan ukuran bacaan tasyahud sampai pada ucapan" "عبده ورسوله
Duduk akhir atau lebih sering kita
kenal dengan duduk tahiyat akhir yaitu duduk yang dilaksanakan ketika kita berada
pada rekaat terakhir. Duduk terakhir shalat merupakan jenis duduk tawarruk.
Adapun
jika kita menilik hokum seputar duduk tahiyyat akhir atau duduk tasyahud akhir
maka kita akan mendapati bahwa tidak ada perbedaan pendapat dikalangan imam
madzhab. Imam Abu Hanifah yang biasanya berbeda pendapat juga mengamininya, sebagaimana
dikutip dalam kitab karya ulama madzhabnya disebutkan bahwa duduk tasyahud
akhir adalah rukun. Sedang mengenai bacaan tasyahud dan shalawat ulama berbeda
pendapat. Menurut Hanafi bacaanya dihukumi wajib, shalawat atas nabi dihukumi sunnah
begitu juga pendapat Malikiyyah.Adapun selainya mengatakan rukun.
Dalil yang di
gunakan hanafiyah adalah hadits ibnu mas'ud ketika ia sedang melihat Rosululloh ﷺ sedang bertasyahud, maka ketika itu nabi ﷺ bersabda, "apabila kamu mengatakan
ini (tasyahud), atau kamu lakukan ini (duduk), maka shalatmu telah dihitung
sempurna.”[22]
F.
Rukun-rukun
sholat yang di perselisihkan
1.
Niat
Adapun niat pada sholat wajib, ada
beberapa ulama yang berbeda pendapat, khususnya pada masalah kaifiyatu ( cara
pengucapan niat),
Adapun pendapat madzhab Hanafy
dalam masalah niat dalam sholat wajib adalah, wajib hukumnya bagi para mukallaf
untuk berniat setiap kali ia ingin melaksanakan sholat fardhu, adapun hokum
niat bagi orang yang jahil (tidak berilmu) maka tidak mengapa baginya apabila
ia tidak berniat setiap kali ia ingin melakukan sholat. Dan apabila seseoarang
sholat bersama imam maka ia telah mengikuti niat imam. Maka ketika ia sholat
kemudian ia lupa akan sholatnya, ia ragu apakah sholat yang ia lakukan adalah
sholat sunnah ataukah sholat fardhu, maka dalam keadaan seperti ini ia harus
meniatkan sholat nya sebagai sholat fardhu.[23]
Adapun pendapat madzhab Maliki dalam masalah niat dalam sholat
wajib adalah, wajib hukumnya berniat ketika hendak melaksanakan sholat fardhu,
akan tetapi pada madzhab maliki wajib hukumnya menjelaskan niatnya ketika ia
ingin melaksanakan sholat. Seperti ia meniatkan sholat yang ia akan laksanakan
termasuk sholat dzuhur atau ashar.[24]
Adapun pendapat madzhab Syafi’I dalam masalah niat dalam sholat
wajib adalah, ada tiga syarat dalam sholat fardhu yaitu, niat fardiayah
(sendiri) yaitu meniatkan dengan sungguh pada dirinya ketika ia hendak
melaksanakan sholat fardhu, niat pada gerakannya, yaitu menghadirkan niat pada
setiap gerakan sholat, menjelaskan niat sholatnya.[25]
Adapun pendapat madzhab Hanbali dalam masalah niat dalam sholat
wajib adalah, wajib hukumnya menjelaskan niat dalam sholat fardhu.[26]
2.
I’tidal
I’tidal
dari rukuk itu bukan fardhu (bukan termasuk dalam rukun sholat). Demikian
pendapat Abu Hanifah. Sedangkan menurut Syafi’I, I’tidal itu hukumnyafardhu
(termasuk dari rukun sholat). Dalam hal itu, ulama dari kalangan Malikiyah saling
berbeda pendirian dalam menetapkan hokum I’tidal, fardhu atau sunnah.[27]Adapun
pendapat madzhab Hanbali I’tidal adalah kembalinya posisi anggota tubuh dalam
keaadan lurus berdiri, dan hokum I’tidal dalam fardhu (termasuk rukun sholat),
sehingga dapat di katakan bahwa madzhab Hanabilah dan malikiyah telah
bersepakat dalam menetukan hikum I’tidal.[28]
3.
Tasyahud
awal
Para ulama berikhtilaf pada pada tasyahud
awal dan pada duduknya. Imam Ahmad mewajibkan tasyahud awal, kecuali apabila ia
meninggalkannya karena lupa makasholatnya tetap sah, kemudian disunnah pada duduk tasyahud awal
untuk duduk iftirosy,dan pada duduk tasyahud kedua tawaruq,[29]kemudian
apabila jumlah rakaat pada sholat tersebut dua rakaat, seperti sholat subuh,
maka hokum duduk tasyahud awal adalah fardhu, dan apabila julah rakaatnya empat
atau tiga rakaat, seperti pada rakaat sholat maghrib, maka tasyahud awalnya
sunnah dan tasyahud akhirn yafardhu, ini pendapatnya imam Syafi’i[30]dan
abu Hanifah berpendapat kedua tasyahud (awal dan akhir) hukumnya sunnah dan
duduk iftirosy, dan imam Maliki berpendapat, bahwa tasyahud (awal dan
akhir) hukumnya sunnah dan duduk dengan kondisi tawaruq.[31]
4.
Bacaan
tasyahud dan sholawat
Kewajiban membaca
tasyahud dan kalimat tasyahud yang terbaik di perselisihkan oleh fuqoha. Malik
dan abu Hanifah, yangdi ikuti pula oleh sekelompok fuqoha, menganggap tasyahud
itu tidak wajib. Sedangkan Syafi’I dan Ahmad dan Dawud menyatakan tasyahud itu
wajib. [32] Mengenai
tasyahud yang terbaik, Malik lebih cendrung menilih tasyahud Umar bin Khottob
yang pernah di anjurkan kepada khalayak:
التحيات
الله, الزاكيّات الله, الطّيّبات الصّلوات لله , السلام عليك أيّهاالنبيّ
ورحمةالله وبركاته السلام علينا و علي عبادك الصّالحين ,أشهد ان لااله الا الله
وحدهلاشريك له,و أشهد أنّ محمّد عبده ورسوله.
Abu Hanifah dan
yang lain, yakni fuqoha Kuffah lebih memilih tasyahud Abdulloh bin Mas’ud. Menurut
ibnu Abdil Barr, tasyahud tersebut di jadikan pedoman oleh Ahmad dan mayoritas
ahli hadits. Sebab, tasyahud tersebuit di riwayatkan secara shohih dari
Rosululloh ﷺ :
التّحيات
الله و الصّلوات و الطّيّبات السّلام عليك أيّها النبيّ ورحمة الله وبرا كاته
السّلام علينا و علي عبادالله الصّالحين,أشهد أن لااله الا الله وأشهدأنّ محمّدا
رسو ل الله.
Syafi’I dan pengikutnya
menggunakan tasyahud Abdulloh bin Abbas yang di riwayatkan oleh Nabi ﷺ. Pernah mengajarkan kepada kami sebuah
tasyahud seperti beliau mengjarkan surat al-qur’an kepada kami. Lalu beliau
menyebutkan:
كان
رسول الله ﷺ يعلّمنا التّشهّد كما يعلّمنا السّورة من القرآن فكان يقول: التّحيّات
المبار كات الصّلاة الطّيّبات الله السّلام عليك أيّهاالنّبيّ ورحمة الله وبركاته
السّلام علينا وعلي عباد الله الصّالحين , أشهد أن لا اله الاالله وأشهدأنّ محمّد
رسو الله.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa semua tasyahud itu boleh di pilih
salah satu.
Dalam hal tersebut syafi’I menyaratkan bacaan sholawat nabi ﷺ dalam tasyahud,
bahkan wajib. Pendirian ini didasarkan firman Allah ﷻ:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
“hai
orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk nabi ﷺ dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.”
(QS.Al-Ahzab:56)
Syafi’I juga
berpendirian bahwa menyampaikan taslim yang di maksud adalah salam dan salat.
Sedang jumhur fuqohaberpendapat bahwa taslim di atas adalah salam yang di
ucapkan setelah membaca solawat Nabi ﷺ
.[33]
5.
Tuma’ninah
Tuma’ninah wajib menurut
pendapatnya madzhab Hanafiyah, termasuk salah satu bagi pendapatnya Malikiyah
dan Hanabilah, syarat sah rukun bagi pendapatnya Syafi’iyah.[34]
6.
Tartib
Tertib dalam sholat
menurut mayoritas ulama hukumnya rukun. Wajib dalam hal bacaan dan sesuatu yang
terulang dalam satu rakaat. Fardhu dalam suatu yang tidak terulang dalam tiap
sholat atau dalam tiap rakaat, seperti tertibnya urutan berdiri sebelum ruku’
tertib urutan ruku’ sebelum sujud, menurut Hanafitah dengan mendahulukan niat
daripada takbirotul ihrom, dan mendahulukan takbir daripada membaca surat
Al-Fatihah, dan mendahulukan membaca
membaca surat Al-Fatihah dari pada ruku’ dan ruku’ sebelum bangkit darinya, I’tidal
sebelum sujud, dan sujud sebelum salam, dan tasyahud akhir sebelum membaca
sholawat Nabi ﷺ. Menurut Syafi’iyah
dan Hanabilah.
Konsekuensi tertib sebagai rukun menurut mayoritas ulama
sebagaimana dituturkan oleh ulama Syafi’iyah, yaitu oaring yang meninggalkan rukun
sholat karena sengaja, misalnya mendahulukan sujud sebelum ruku’, maka
sholatnya batal menurut ijma’ ulama, karena di anggap bermain-main. Akan tetapi
jika tidak tertib karena lupa dan tidak melakukannya karena lalai, maka apa
yang dilakukannya setelah perkara yang ditinggalkannya termasuk lahwu karena
tidak sesuai dengan tempatnya. Jika ia ingat bahwasanya ia meninggalka rukun
setelah masuk pada rakaat lain, maka ia harus langsung melakukannya. Dan jika
terlambat maka sholatnya batal.
Jika tidak ingat
sampai pada rakaat berikutnya, maka bagian sholat yang ditinggalkan itu
disempurnakan pada akhir sholat, seperti sujud kedua dan menyempurnakan yang
lainnya karena ia telah melalaikan antara keduanya.
Jika yakin dalam
akhir sholat ia telah meninggalkan sujud pada rakaat terakhir, maka ia harus
mengulang tasyahudnya. Jika sujud yang ditinggalkan itu bukan pada rakaat
terakhir atau ia bimbang antara sujud terakhir atau bukan, maka ia harus
menambah satu rakaat lagi karena rakaat yang kurang itu sudah sempurna dengan
suju dari rakaat setelahnya, dan ia meninggalkan yang lain.
Jika dalam
posisi berdiri pada rakaat kedua ia ingat belum melakukan sujud pada rakaat
pertama, jika ia telah duduk setelah sujudnya meski untuk istirahat, maka ia
harus langsung bersujud dari posisi berdiri. Namun jika belum duduk, maka ia
harus duduk terlebih dahulu baru sujud.
Jika dalam
sholat empat rakat ia lupa meninggalkan dua sujud atau lebih dan ia tidak ingat
pada rakaat berapa, maka ia harus mengulang dua rakaat karena mengambil pertimbangan yang minim.
Sehingga, rakaat pertama di ganti dengan sujud dari rakaat kedua, dan
membiarkan yang lain. Sedangkan rakaat ketiga diganti dengan sujud dari rakaat
keempat, dan membirkan yang lain.
Jika setelah
salam baru ingat belum melakukan salah satu rukun: jika berupa nit takbirotul ihrom,
maka sholtnya batal. Namun jika selain dua hal itu, maka ia harus melanjutkan
sholatnya asal belum lama dari salam dan tidak melakukan sesuatu yang
menbatalkan sholat, seperti memegang benda najis. Kalau sekedar terbalik, tidak
apa-apa untuk melanjutkan dan melengkapi sholatnya. Akan tetapi jika jaraknya
dari salam sudah lama, maka ia harus mengulang sholatnya kembali.
Jika lupa sujud
pada rakaat pertama, maka ia harus mengqodhanya meskipun setelah salam belum
berbicara.kemudian membaca tasyahud dan melakukan sujud sahwi. Kemudian membaca
tasyahud hanya pada sampai kalimat “Abduhu wa Rosuluh.” [35]
7.
Salam
Ada dua salam, yaitu
salam pertama dan salam kedua. Salam pertama adalah fardhu sholat menurut para
fuqoha, seperti Malikyah dan Syafi’iyah. Sedangkan salam kedua bukan fardhu
melainkan sunnah. Namun menurut Hanabilah, kedua salam itu hukumnya fardhu,
kecuali dalam sholat jenazah, sholat nafilah, sujud tilawah dan sujud syukur.
Pada keempat perbuatan itu, yang fardhu hanya salam pertama saja.
Salam merupakan bagian dari fardhu dan rukun sholat yang juga
berfungsi sebagai penutup sholat.[36]
Dalilnya adalah:
عن
علي قال, قال رسو ل الله ﷺ:" مفتاح الصّلاة الطّهور و تحريمها التّكبير و
تحليلها التّسليم".(رواه مسليم)
Dari ‘Ali bin Abi Tholib bahwa Rosululloh ﷺ
bersabda: “kunci sholat itu adalah kesucian (thohir) dan yang mengharamkan (dari
segala hal dari sholat ) adalah takbir.”
(HR. Muslim)
Menurut Syaf”I, minimal salam itu adalah " السّلام عليكم",
cukup sekali saja. Sedangkan menurut Hanabilah, salam itu harus dua kali dengan
lafadz "السّلام عليكم ورحمة الله " , dengan menolah ke kanan dan kekiri. Tidak di sunnahkan
untuk meneruskan lafadz "وبركاته"
menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, dengan dalil:
عن
ابن مسعود أنّ النّبي ﷺ كان يسلّم عن يمينه و عن يساره السّلام عليكم و رحمة الله حتّى
يرى بياض خدّه (رواه الخمسة و صحيحه التّرمذي)
Dari Ibnu Mas’ud bahwa Rosululloh ﷺ
memberi salam kekanan dan ke kiri: Assalamu’alaikum warahmatullah, hingga
kelihatan pipinya yang putih.
(HR. Al-Khomsa yang di shohihkan oleh Tirmidzi)[37]
Selain sebagai penutup sholat, salam ini juga merupakan doa yang di
sampaikan kepada orang-orang yang ada di sebelah kiri dan kanan, bila tidak ada
maka diniatkan kepada jin dan malaikat.[38]
[1]
Mahmud Abdurrahman Abdul Mun’im, Mu’jam
mushtalahat Alfadz al- Fiqhiyyah, (Kairo
:Darul Fadhilah, 1999 M), jld. 2, hlm. 178
[3]
Ibid, hlm. 377
[4]
Ibid, hlm. 378
[5]
Ibid
[6]
Ahmad Sarwat. lc, fiqhul hayah,cet. Ke-1, (Jakarta selatan:
DUPublishing, 2011), hlm. 89-90
[7]
Prof. DR. Wahbah Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, cet. Ke-1, (Jakarta:
Gema Insani, 2010), jld. 1, hlm. 263
[8] Ibid,
hlm. 629
[9]
Ibid, hlm. 630
[10]
Wahbah Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, cet. Ke-1, (Jakarta: Gema
Insani, 2010), jld. 1, hlm. 630
[11]
Imam Taqiyyuddin Abi Bakrin bin Muhammad Al-Husaini Al-Hisni Ad-Dimisqo
Asy-Syafi’I, Kifayatul Akhyar Fi Halil Ghoyatil Ikhtisor, cet, ke-6,
(Lebanon: Darul Kutub Ilmiah, 2012 M), Jld. 1, hlm. 155
[12] Wahbah Zuhali, Fiqih
Islam Wa Adillatuhu, cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2010), jld. 1, hlm.
632
[13]
Ibid, hlm. 631
[14]
Ahmad Sarwat. lc, fiqhul hayah,cet. Ke-1, (Jakarta selatan:
DUPublishing, 2011), hlm. 99
[15]
Ali bin Sa’di Al- Ghomodi, Fiqih
Wanita, cet. Ke-5, (Jakarta: Aqwam, 2012), hlm. 60
[16]
Ahmad Sarwat. lc, fiqhul hayah,cet. Ke-1, (Jakarta selatan:
DUPublishing, 2011), hlm. 99-100
[17]
Ahmad Sarwat. lc, fiqhul hayah,cet. Ke-1, (Jakarta selatan:
DUPublishing, 2011), hlm. 111
[18]
Ibid: 102
[19]
Abu Mlik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shohih Fiqih Sunnah, cet. ke.6, (Mesir:
Maktabah Tauqifiyah, 2003 M), Jld. 2, hlm. 440
[20]
Wahbah Zuhali, Fiqih Islam
Wa Adillatuhu, cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2010), jld. 2, hlm. 46
[21]
Wahbah Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, cet. Ke-1, (Jakarta: Gema
Insani, 2010), jld. 2, hlm. 46-47
[22]
Wahbah Zuhali, Fiqih Islam
Wa Adillatuhu, cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2010), jld. 1, hlm. 666
[23]
Abdurrahman al- Jazari, Al-Fiqhu ‘ala Madzhahibil arba’ah, (Mesir: Darut
Taqwa, 2003), jld. 1, hlm. 171
[24]
Ibid: 172
[25]
Abdurrahman al- Jazari, Al-Fiqhu ‘ala Madzhahibil arba’ah, (Mesir: Darut
Taqwa, 2003), jld. 1, hlm. 172
[26]
Ibid: 173
[27]
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,cet. Ke-3, (Jakarta: Pustaka Amani,
2007), jld. 1, hlm. 300
[28]
Abdurrahman al- Jazari, Al-Fiqhu ‘ala Madzhahibil arba’ah, (Mesir: Darut
Taqwa, 2003), jld. 1, hlm.191
[29]
Sadaruddin Muhammad bin Abdul Rahman Al-Utsmani As-Syafi’I, Rahmat Al-Ummah
Fi Ikhtilafil Aimmah, cet.ke1,(Lebanon:Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2007 M),
hlm. 31
[30]
Abi Muhammad Al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad bin Farro Al-Baghowi, At-Tahdzib
Fi Fiqhi Al-Imam As-Syafi’I, cet. Ke-1, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 1418
H), jld.2, hlm. 119
[31]
Sadaruddin Muhammad bin Abdul Rahman Al-Utsmani As-Syafi’I, Rahmat Al-Ummah
Fi Ikhtilafil Aimmah, cet.ke1,(Lebanon:Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2007 M),
hlm. 31
[32]
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,cet. Ke-3, (Jakarta: Pustaka Amani,
2007), jld. 1, hlm.288
[33] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid,cet. Ke-3, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007),
jld. 1, hlm. 288-291
[34]
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz Fi Fiqih Islami, cet. Ke. 1, (Damaskus:
Darul Fikr, 2005 M) Jld. 1, hlm.168
[35]
Wahbah Zuhali, Fiqih Islam
Wa Adillatuhu, cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2010), jld. 2, hlm. 61-62
[36]
Ahmad Sarwat. lc, fiqhul hayah,cet. Ke-1, (Jakarta selatan:
DUPublishing, 2011), hlm. 59
[37] Muhammad
bin Ali Al-Sawqoni, Nailul Author, cet. Ke. 4, (Lebanon:Darul Kotob Al-Ilmiah,
2011), jld. 2, hlm. 311
[38]
Ahmad Sarwat. lc, fiqhul hayah,cet. Ke-1, (Jakarta selatan:
DUPublishing, 2011), hlm. 60
Created by: Atika Fitroh
Created by: Atika Fitroh
0 komentar:
Posting Komentar