A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Pada zaman kita sekarang ini, tidak dapat
dipungkiri lagi sering kita temukan adanya gambar hampir pada semua benda. Baik
itu dari benda sekecil apapun sampai benda yang besar sekalipun. Dan mayoritas
gambar yang di pajang pada benda tersebut adalah foto perempuan yang
menampakkan auratnya atau penampakan foto yang tidak mencerminkan budaya
Islami. Ini menjadi sorotan tersendiri dalam hukum Islam bagaimana hukum gambar
itu sendiri? Termasuk dalam pembahasan ini adalah hukum foto yang di hasilkan
dari fotografi, bagaimana hukumnya menurut Islam? Penulis akan mencoba
memaparkan sedikit penjelasannya dalam makalah ini insyaAllah.
2. Rumusan Masalah
1. Apa hukum gambar yang bernyawa, yang tidak bernyawa, lukisan dan foto?
2. Apa ‘illat diharamkannya gambar?
3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui hukum gambar yang bernyawa, yang tidak bernyawa, lukisaan dan
foto
2. Mengetahui ‘illat diharamkannya gambar.
4. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
Guna menambah ilmu pengetahuan, wawasan dan sebagai ajang latihan peulisan
karya ilmiah dengan tepat dan benar, serta memberikan kontribusi ilmu
pendidikan dan khazanah penulisan islam.
2.
Bagi masyarakat
Sebagai sumbangan karya ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan baik
dikalangan akademis maupun
masyarakat pada umumnya.
3.
Bagi Ma’had ‘Ali Hidayaturrahman
Sebagai sumbangan pemikiran mengenai masalah terkait.
B. Pembahasan
1. Hukum Gambar
a. Hukum gambar bernyawa dan yang tidak
bernyawa
1. Definisi gambar
Gambar (Ash-Shuwar) secara bahasa adalah bentuk jama’ dari kata Ash-Shurah
yang berarti: bentuk.[1]
Ash-Shurah berarti: bentuk dan
gambar yang berbadan atau berbentuk jasad. Dalam Al-Quran disebutkan:
(اَلَّذِيْ
خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ, فِي أَيِّ صُوْرَةٍ مَا شَاءَ ركَبَّكَ)
“Yang telah menciptakanmu
lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan susunan tubuhmu seimbang, Dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu”. (Qs.
Al-Infithar: 7-8)[2]
Adapun secara istilah arti dari gambar adalah sama sebagimana arti secara bahasa. Menurut KBBI, gambar: tiruan barang (orang, binatang,
tumbuhan dan lain-lain) yang dibuat dengan cat, tinta, coret, potret dan lain
sebagainya dan gambar bisa disebut juga dengan lukisan[3].
Dan kata At-Tamtsil bisa diartikan Ash-Shurah (gambar).
Gambar bisa disebut dengan
Ash-Shurah jika wujud gambar tersebut tidak memiliki bayangan (gambar 2
dimensi), dan disebut At-Tamtsil jika gambar tersebut memiliki bayangan
(gambar 3 dimensi), adapun istilah disini dipakai untuk semua gambar baik yang
bernyawa ataupun yang tidak bernyawa.[4] Adapun
lukisan yang dibuat menggunakan tangan hukumnya sama dengan gambar.
2. Dalil-dalil diharamkannya gambar
Dalil-dalil dari As-Sunnah:
حَدَثَّنَا يَحْيَى بنُ يَحْيَى وَ أَبُو بَكَر بنُ أَبِي شَيْبَة وَ عَمْرُو
وَ النَاقِدُ وَإِسْحَاقُ بنُ إِبْرَاهِيمَ, قاَلَ يَحْيَى وَ إِسْحَاقَ: أَخْبَرَنَا.
وَ قَالَ الَاخَرَانِ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بنُ عُيَيْنَةَ, عَنْ الزُّهْرِي, عَنْ
عُبَيْدِ اللهِ, عَنْ ابنِ عَبَّاسٍ عَنْ أَبِي طَلْحَةَ عَنِ النَّبِي ﷺ قَالَ: (لَا تَدْخُلُ الْمَلَئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ
وَ لَا صُوْرَةٌ)
“Dari Ibnu Abbas dari Abi Thalhah dari Nabi ﷺ beliau bersabda:
Malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang didalamnya terdapat anjing dan
gambar”. (HR. Imam Muslim, no. 2106, bab: kitabul libas waz zinah)[5]
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بنُ إَبْرَاهِيْمَ:
أَخْبَرَنَا جَرِيْرٌ, عَنْ سُهَيْل بنِ أَبِي صَالَحٍ, عَنْ سَعِيْدِ بنِ يَسَارٍ,
أَبِي الحُبَابِ مَوْلَى بَنِي النَّجَّارِ, عَنْ زَيْدِ بنِ خَالَدٍ الجُهْنِيّ,
عَنْ أَبِي طَلْحَةَ الأَنْصَارِي قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: (لَا تَدْخُلُ الْمَلَئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ
وَ لَا تَمَاثِيْلُ)
“
Dari Abi Thalhah
Al-Anshari beliau berkata: aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersbada: “Malaikat tidak akan masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat
anjing dan patung-patung”. (HR. Imam Muslim,
no. 2106, bab. Kitabul libas waz zinah)[6]
Dari keterangan hadits diatas sudah jelas dan
bisa di pahami bahwa Malaikat tidak akan masuk rumah yang didalamnya terdapat
anjing dan gambar. Gambar yang dilarang disini adalah gambar makhluk bernyawa
baik yang diletakkan di tempat yang hina atau tidak, karena hal ini terdapat
unsur menyaingi ciptaan Allah ﷻ. Adapun gambar-gambar benda mati seperti gunung,
langit dan lainnya yang tidak bernyawa tidak apa-apa jika ada dalam sebuah
rumah, dengan catatan tidak diagungkan dan disembah. Adapun gambar bernyawa dan
anjing yang seperti apa yang sampai menyebabkan Malaikat tidak akan mau masuk
rumah yan didalamya terdapat penghalang-penghalang tersebut?? Disini ada
beberapa pendapat ulama’:
1.
Tidak ada
perbedaan dalam gambar bernyawa yang tersebut dalam hadits ini baik gambar yang
ada bayangannya atau yang tidak ada bayangannya (semua
gambar) ini adalah pendapat kami dalam masalah ini. Dan ini adalah sama
dengan perkataan jumhur dari kalangan sahabat, tabi’in yaitu madzhabnya
Ats-Tsauri, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah dan yang lainnya. Begitu pula pendapat Az-Zuhri yang mengatakan hadits tersebut
mencakup semua gambar baik gambar itu dihinakan (diletakkan di tempat yang
hina) atau pun tidak, tetap dilarang karena beliau berdalil menggunakan dzahir
hadits tersebut. Berkenaan dengan pendapat Az-Zuhri ini Imam
Nawawi berkomentar “ ini pendapat yang
kuat”.
2. Dan sebagian ulama’ salaf berpendapat: bahwa gambar yang dilarang hanyalah gambar yang mempunyai bayangan dalam
arti gambar yang memiliki volume (3
dimensi) seperti patung, adapun yang tidak memiliki bayangan (gambar 2 dimensi)
maka boleh, dan pendapat seperti ini adalah bathil karena dalam hadits, Nabi
menyebutkannya secara umum jadi, mencakup semua gambar.
3.
Sebagian
ulama’ lain berpendapat ada di antara gambar yang
diperbolehkan, yaitu yang berupa garis-garis pada
kain, baik yang diletakkan di tempat yang rendah atau tidak, dan baik gambar
itu digantungkan di dinding atau tidak. Para ulama’ tersebut juga memandang makruh gambar-gambar
yang memiliki bayangan maupun gambar yang di buat di dinding atau tempat yang
mirip dengan itu, baik gambar yang dimaksud berupa garis-garis atau tidak.
Mereka berdalil dengan hadits yang
menyebutkan:
إِلَّا مَا كَانَ رَقْمًا فِيْ ثَوْبٍ.....
“ ..Kecuali yang berupa
garis-garis pada kain....”. (HR. Imam Muslim, no. 2106, bab: kitabul libas waz
zinah) dan ini pendapat Al-Qasim bin Muhammad.
4. Selanjutnya, para ulama’ sepakat melarang gambar yang memiliki
bayangan dan mewajibkan untuk mengubahnya. Qadhi Iyadh berkata “kecuali
yang berkenaan dengan permainan boneka untuk anak-anak perempuan dalam hal ini
mendapat keringanan”. [7]
Bahwa dalam sabda Rasulullah
(لَا تَدْخُلُ الْمَلَئِكَةَ
بَيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ وَ لَا صُوْرَةٌ)
Ulama’ berpendapat:
1. Bahwa sebab terhalangnya Malaikat
masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar adalah karena
keberadaan gambar tersebut merupakan kemaksiatan yang besar dan bentuk
penyaingan terhadap ciptaan Allah ﷻ. Sedangkan penolakan masuk ke rumah yang di dalamnya
terdapat anjingnya adalah karena anjing adalah hewan yang banyak sekali memakan
makanan najis dan karena anjing itu sangat bau sekali sedangkan Malaikat sangat
tidak menyukai sesuatu yang bau. Oleh karena itu dilarang memajang sesuatu yang
dapat menghalangi Malaikat masuk ke dalam rumah yang menyebabkan Malaikat tidak
bisa memberi rahmat, memintakan ampunan dan memberkahi rumah tersebut. Adapun
malaikat yang bertugas mencatat amal perbuatan tetap masuk ke setiap rumah dan
tidak membedakan seorang pun walau bagaimanapun keadaannya karena para Malaikat
itu bertugas untuk mencatat seluruh amalan manusia.
2. Imam Al-Khathabi berpendapat: bahwa yang dimaksud malaikat tidak masuk ke dalam sebuah
rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambarnya adalah anjing dan gambar yang
memang haram untuk dimiliki. Adapun yang tidak diharamkan untuk dimiliki
seperti anjing buruan, anjing untuk menjaga kebun dan ternak demikian juga
gambar yang diletakkan di tempat yang hina seperti di karpet dan di bantal
untuk di duduki maka, hal ini tidak
menghalangi Malaikat untuk masuk ke dalam sebuah rumah.[8]
Dalam hal ini ulama’ menyimpulkan bahwa gambar yang dilarang dalam hadits-hadits
tersebut adalah gambar yang bernyawa baik yang memilki bayangan atau tidak ,
sedangkan gambar yang tidak bernyawa maka tidak ada larangan, asalkan tidak
ditujukan untuk diagungkan dan disembah.
3. Hukumnya
Disini dibedakan antara gambar yang
bernyawa dan yang tidak bernyawa:
Gambar yang bernyawa:
1. Ulama’ sepakat atas keharaman gambar yang bernyawa baik itu berbentuk manusia atau pun
hewan yang berbentuk lengkap seluruh badan , yang memiliki bayangan atau tidak dan yang
tidak ditempatkan di tempat yang hina atau rendah, adapun yang di tempatkan di
tempat yang rendah maka dibolehkan. Juga gambar yang ditujukan untuk disembah dan diagungkan serta untuk menyaingi ciptaan Allah ﷻ.
2. Akan tetapi ulama’ Isbagh bin Al-Faraj Al-Maliki berpendapat tidak
apa-apa mengambil gambar bernyawa yang memiliki bayangan yang tidak tahan lama seperti
gambar tersebut terbuat dari sesuatu yang cepat rusak atau lenyap seperti
terbuat dari adonan roti.
Gambar yang
tidak bernyawa:
1.
Ulama’ sepakat
bahwa semua gambar yang tidak bernyawa, tidak diagungkan, dan tidak diniatkan
untuk menyaingi ciptaan Allah, maka dibolehkan, begitu pula membuatnya dan
menjualnya juga boleh. Kecuali sedikit
dari ulma’ yang tidak bersepakat dalam hal ini, di antaranya yaitu Mujahid bin
Jibr Al-Makki, Al-Qurthubi dan sebagian pengikut Imam Syafi’I dan sebgian
pengikut Hanabilah. Sebagaimana hadits Ibnu Abbas yang pernah dimintai
fatwa oleh seorang laki-laki yang bekerja sebagai penggambar makhluk bernyawa
kemudian beliau berkata memberitahukan sabda Rasulullah yang berisi ancaman
terhadap para penggambar, lalu berkata
kepadanya “jika kamu harus melakukan pekerjaan ini, maka gambarlah pohon
atau sesuatu yang tidak bernyawa”.(HR. Imam Bukhari, no. 2225, bab. Al-Buyu’)[9]. Diantara ulama’ yang mengambil pendapat ini adalah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.[10]
2.
Gambar yang
wujudnya tidak sempurna, sebagaimana hadits ‘Aisyah:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ وَ قَدْ سَتَرْتُ سَهْوَةً لِيْ بِقِرَامٍ فِيْهِ تَمَاثِيْلُ, فَلَمَّا
رَاَهُ هَتَكَهُ وَ تَلَوَّنَ وَجْهُهُ وَ قَاَل: (يَا عَاِئَشةُ أَشَدَّ النَّاِس
عَذَابًا عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَاَمِة الَّذِبْنَ يُضَاهِئُوْنَ بِخَلْقِ
اللهِ)
“Rasulullah ﷺ masuk ke rumah dan ketika itu saya tengah menutupi tubuh dengan sehelai
selimut tipis yang bergambar permukaannya. Seketika wajah beliau berubah, lalu
beliau meraih selimut itu dan merobeknya lantas berkata “sesungguhnya di antara
orang yang paling besar adzabnya pada hari kiamat kelak adalah mereka yang
membuat hal-hal yang menyerupai ciptaan Allahﷻ”.(HR. Imam Muslim, no.
2107, bab. Kitabul libas waz zinah)[11]
perbuatan Rasulullah ﷺ yang merobek selimut itu menandakan keharaman atas
gambar yang ada padanya, kemudian ‘Aisyah menjadikan kain selimut menjadi dua
bantal dengan terobeknya gambar tadi maka bagian gambar tadi sudah tidak
sempurna atau bagian tubuh gambar tadi terpisah-pisah dan ini menunjukkan jika
seperti ini bentuknya maka boleh. Dari sini ulama’ dapat menympulkan bahwa jika
sebuah gambar wujudnya tidak sempurna dan bagian anggota tubuhnya terpisah maka
hal ini dibolehkan.[12]
b. Hukum foto
1. Definisi foto
2. Hukumnya
Didalam kitab-kitab turats sudah banyak dijelaskan tentang masalah fotografi ini. Adapun hukumnya ulama’ berbeda
pendapat, ada yang mengatakan tidak boleh dan ada yang mengatakan boleh.
1. Adapun pendapat ulama’ yang tidak membolehkan alasannya adalah bahwasannya
foto tidak ada bedanya dengan jenis gambar lainnya yang dibuat dengan tangan,
oleh sebab itu ia dinamakan tashwir baik secara bahasa, istilah syar’i,
maupun ‘urf . Disebut tashwir secara bahasa karena yang dimaksud
dengan shurah menurut bahasa adalah asy-syakl atau bentuk, maka foto
termasuk di dalamnya. Adapun ditinjau secara ‘urf: karena hampir seluruh
masyarakat di dunia menyebut foto dengan tashwir atau shurah dan
orang yang mengambilnya tetap disebut dengan mushawwir. Maka dari hal
ini foto termasuk dalam kategori shurah atau gambar secara bahasa,
istilah syr’i dan ‘urf. Adapun ini adalah pendapatnya Muhammad bin
Ibrahim Alu Syaikh, Syaikh bin Baz dan Nashiruddin Al-Albani.
Mereka berpendapat menggunakan keumuman dalil
yang telah disebutkan. Bahwasannya dalam hadits yang menyebutkan "كُلُّ مُصَوِّرٍ فِيْ النَّار"lafadz “كل”
adalah umum yang mencakup seluruh mushawwirin yang menurut ilmu ushul
bahwasaanya lafadz yang menunjukkan umum akan tetap keumumannya sehingga ada mukhassisnya,
dalam hal ini fotografer (orang yang mem-foto) dan fotografi termasuk. Dan jika
memang itu diperbolehkan maka harus mendatangkan dalil yang yang sharih yang
menjelaskan takhsis atau taqyid dari keumuman nash tersebut[14].
2. Adapun pendapat ulama’ yang
membolehkan foto: sebagian ulama’ mutakhirin dari fuqaha’
berpendapat bahwa fotografi tidak masuk
ke dalam ranah gambar yang diharamkan yang tercakup dalam menggambar dengan
tangan yang diharamkan, karena sesungguhnya fotograffi tidak termasuk dalam
nash (as-sunnah) yang menyatakan keharaman tashwir atau gambar. Karena
di dalamnya tidak mengandung unsur menyaingi ciptaan Allah ﷻ atau menyerupai ciptaan-NYA, dan hukum fotografi itu
sebagaimana hukum garis-garis yang ada pada sehelai kain yang hal ini termasuk
pengecualian yang berdasarkan nash dari keumuman haramnya gambar.
Syaikh Sayis berpendapat: alasan dibolehkannya foto kamera adalah
karena aktifitas tersebut tidak dinamakan sebagai akitfitas menggambar, baik
secara etimologis maupun syari’at, berdasarkan makna menggambar pada masa Nabi
yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu aktifitas ini dipandang tidak
lebih sebagai tindakan menangkap bayangan atau gambar dari sesuatu, seperti
halnya bayangan tubuh yang terdapat di
cermin atau air. Bedanya tidak lebih dari kenyataan bahwa gambar yang
terdapat di cermin atau air bersifat bergerak dan tidak tetap. Sementara gambar
yang dihasilkan kamera telah dibuat tidak bergerak melalui zat kimia tertentu
berupa zat asam dan sebagainya. Tindakan mematenkan gambar seperti ini pada
hakikatnya tidaak dapat disebut sebagai tindakan menggambar, sebab cairan asam
tadilah yang mencegah gambar yang ditangkap tersebut menjadi tetap dan tidak
bergerak. [15]ini
adalah pendapatnya Syaikh Shaleh Al-‘Utsaimin dan sebagian ulama’ lainnya.
Karena yang melakukan tahwir ini hampir semuanya dengan tenaga mesin bukan dari
usaha dari si penggambar itu sendiri.[16]
3.
Ada ulama’
lain yang juga membolehkan foto kamera adalah: Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni
hjjah beliau sama dengan ulama’ lain (yang membolehkan) tetapi beliau
menambahkan bahwa adanya kebolehan foto
kamera ini bukan berarti semua foto dibolehkan dan menggunakannya dalam kadar
yang berlebihan. Tetapi kebolehan ini ada batasnya dan hanya dalam lingkup
darurat yang dibutuhkan seperti identitas diri dan semua urusan yang mengandung
maslahat duniawi yang dibutuhkan manusia[17].
Wallahu A’lam Bish-Shawab....
2. ‘Illat diharamkahn
gambar
Setiap syari’at yang Allah dan RasulNYA tetapkan pasti mempunyai alasan
atau ‘llat yang mendasari suatu syari’at tersebut. Adapun ‘illat diharamkannya
gambar adalah sebagai berikut:
1. Menyerupai sekaligus menyaingi ciptaan Allah ﷻ , dasar ini ditunjukkan oleh banyak hadits, di
antaranya:
(إِنَّ أَشَدَّ
النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَلَّذِيْنَ يُضَاهِئُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ)
“Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah
yang mereka yang membuat gambar yang menyerupai makhluk Allah ﷻ”. (hR. Imam Muslim, no.
2107, bab. Kitabul libas waz zinah)[18]
(إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُوْنَ يُقَالُ لَهُمْ:
أَحْيُوْا مَا خَلَقْتُمْ)
“Sesungguhnya orang yang menggambar gambar ini kelak di hari kiamat akan
diadzab, dan dikatakan kepada mereka “hidupkanlah apa yang telah kalian
ciptakan tersebut”. (HR. Imam Muslim, no. 2107, bab. Kitabul libas waz zinah)[19]
2. Bahwasannya hikmah dilarangnya gambar adalah untuk menjauhkan manusia dari
peribadatan kepada patung dan gambar tersebut serta menjaga kesucian aqidah dari syirik, dan
tidaklah celaka umat-umat terdahulu kecuali dikarenakan penyembahan mereka
kepada gambar dan patung, sebagaimana kisahnya kaum Nabi Nuh yang menyembah
patung-patung orang shaleh di zamannya. [20]
3. Keberadaan gambar dan patung yang ada dalam sebuah rumah yang menghalangi
Malaikat Rahmat untuk masuk, hadits sebagaimana yang dijelaskan diatas. Ini
pendapat menurut jumhur ulama’termasuk madzahib al-arba’ah.
4. Bahwasannya para penggambar makhluk yang bernyawa itu haram hukumnya
sebagaimana mereka para penggambar makhluk bernyawa yang dianatkan untuk
menyembahnya selain Allah, baik para penggambar meniatkan untuk menyembahnya
atau tidak.
5. Terdapat unsur menyia-nyiakan harta lantaran membelanjakan harta untuk membeli sesuatu
yang telah jelas keharamannya, padahal seseorang kelak di hari kiamat akan
ditanya tentang empat hal yang salah satunya adalah masalah harta dari mana ia
dapat dan kemana ia membelanjakannya?.
Mungkin inilah illat yang diambil para ulama’ dari
terlarangnya tashwir dan tamtsil. [21]
C. Penutup
Kesimpulan
Dari pemaparan
diatas maka bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Adapun semua gambar atau lukisan yang tidak bernyawa, yang tidak
dimaksudkan untuk diagungkan dan disembah maka diperbolehkan. Adapun semua
gambar yang bernyawa (2 dimensi atau 3 dimensi), yang ditujukan untuk
diagungkan serta disembah selain Allah, yang tidak diletakkan di tempat yang
hina maka ini haram hukumnya dan pembuatnya mendapatkan adzab yang paling keras
di hari kiamat kelak, karena telah menyaingi ciptaan Allah ﷻ.
2. Adapun foto yang dihasilkan dari kamera ada dua pendapat, yang membolehkan
dan yang tidak membolehkan. Penulis lebih condong kepada pendapat yang pertama
(yang membolehkan) dengan alasan bahwa
foto bukanlah gambar yang digambar menggunakan tangan akan tetapi lebih kepada
aktifitas menangkap dan mematenkan bayangan dari suatu gambar yang bergerak,
yang hampir usaha itu yang menjalankan adalah mesin.
3. Adapun dengan dibolehkannya hukum foto ini tetap kita memakainya dalam
batasan tertentu (tidak berlebihan) dan hanya dalam keadaan darurat seperti
untuk identitas diri (SIM, KTP, ijazah) dan urusan duniawi lain yang ada
maslahatnya untuk kita dan kita membutuhkan hal itu. Dengan catatan pula masih dalam koridor syar’i
(tidak mengambil gambar atau foto sesuatu yang haram untuk dilihat atau
dinikmati, seperti foto pornografi).
Saran
Barang siapa yang memiliki bakat dalam hal seni menggambar seyogyanya dia
menggambar sesuatu yang diperbolehkan dalam agama Islam seperti yang telah
dijelaskan diatas. Dan bagi siapa saja yng memilih hukum fotografi itu boleh
maka gunakanlah kebolehan itu dalam kedaan darurat dan jangan sampai berlebihan
dalam menggunakannya.
[1]Fairuz Abadi, Al-Qamus Al-Muhith (Beirut, Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah: 2013), cet. 4, hlm. 452
[4] Helmi Abdul Hadi, “Hukmu
At-Tashwir Al-Mujassam Ma La Ruha Lahu Wa Ma Lahu Ruhun fi Asy-Syari;ah
Al-Islamiyah”, Majalah Jami’ah An-Najah li Al-Abhats (Al-Ulum Al-Insaniyah),
No. 1, hlm. 170
[7]Imam Nawawi, Shahih Muslim Bi Syarhi An-Nawawi (Kairo,
Al-Maktab Ats-Tsaqafi: 2001), jild. 14, cet. 1, hlm. 95
[12] Muhammad Ali Ash-Shabuni,
Rawai’ Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam (Beirut, Al-Maktabah Al-‘Ashriyah:
t.tp), hlm. 385
[14] Muhammad bin Ahmad ‘Ali
Washil, Ahkam At-Tashwir Fi Al-Fiqh Al-Islami (Riyadh, Dar Thayyibah:
1999),
cet. 1,
[15] Muhammad Ali Ash-Shabuni,
Rawai’ Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam (Beirut, Al-Maktabah Al-‘Ashriyah:
t.tp), hlm. 388-389
[17] Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni, ......hlm. 390
[21] Muhammad bin Ahmad ‘Ali Washil, Ahkam
At-Tashwir Fi Al-Fiqh Al-Islami (Riyadh, Dar Thayyibah: 1999),
cet. 1, hlm. 157-160
0 komentar:
Posting Komentar