A. Definisi onani atau masturbasi
Dalam istilah
bahasa arab onani atau masturbasi di sebut dengan dengan istimna’ yang secara etimologi, istimna’
bersal dari masdar "استمنى" yang berarti usaha
untuk mengeluarkan mani. Sedangkan secara terminologi, istimna’ adalah mengeluarkan
mani tanpa berjima’ (hubungan badan), seperti mengeluarkan mani dengan
menggunakan tangannya sendiri atau dengan tangan wanita yang bukan mahrom disertai
dengan syahwat.[1]
Sedangkan
menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) onani atau masturbasi adalah pengeluaran
mani (sperma) tanpa melakukan hubungan suami istri.[2]
B.
Hukum onani atau masturbasi
Masalah yang berkaitan dengan onani
atau masturbasi atau dalam istilah arab disebut dengan istimna’, banyak para
ulama yang berselisih akan hal ini. Sebagian berpendapat hukumnya haram secara
mutlak. Sebagian berpendapat hukumnya haram pada kondisi tertentu, dan wajib
pada konsisi tertentu. Ada juga yang
berpendapat hukumnya makruh.
a.
Haram mutlak
Diantara para ulama yang bersepakat akan keharaman onani atau
masturbasi adalah fuqoha Malikiyah, Syafi’iyah dan Zaidiyah.[3]
Hujjah mereka adalah karena Allah ﷻ
memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi, kecuali terhadap
istri dan budak, dalilnya:
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُون(5) إِلَّا
عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِين(6)
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ(7)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam
hal ini tidaklah tercela, barngsiapa mencari yang dibalik itu maka merekalah
orang-orang yang tercala” (Qs. Al-Mu’minun: 5-7)
Dan ada beberapa dalil-dalil yang menunjukkan akan keharaman onani atau
masturbasi secara mutlak, diantaranya:
1. Dalil akan pengharam
onani atau masturbasi terdapat didalam surat, al-mu’minun ayat 5-7:
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُون(5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِين(6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ
فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam
hal ini tidaklah tercela, barngsiapa mencari yang dibalik itu maka merekalah
orang-orang yang tercala”
Imam Abi Bakar Ahmad ar-Razy al-Jassos menafsirkan ayat ini dalam kitabnya ‘Ahkamul
Qur’an’, bahwasanya Allah ﷻ memerintahkan agar menjaga kemaluannya kecuali hanya pada istri
dan budaknya saja.[4]
Imam muhammad bin ‘ali bin muhammad asy-syaukani mengatakan dalam kitabnya
‘fathul qodir’, bahwasanya sebagian ahlul ilmi menjadikan dalil diatas sebagai
dalil akan pengharaman istimna’ (onani atau masturbasi), karena perbuatan
tersebut termasuk perbuatan yang melampaui batas.[5]
2. Kemudian hadits nabi ﷺ :
Sebagian ulama termasuk asy-syaikh ibnu Utsainim berdalilkan dengan hadits
Abdillah bin Mas’ud:
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله ﷺ: ((يا معشر الشّباب, من استطاع منكم اباءة فليتزوج, فإنه أغضّ للبصر, احصن
للفرج. ومن لم يستطع فعليه بالصوم. فإنه له وجاء))
“Wahai para pemuda, barangsiapa dintara kalian yang telah mampu menikah maka
menikahlah, karena pernikahan membuat pendangan dan kemaluan lebih terjaga,
barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya
puasa merupakan obat yang akan memerdekakah syahwatnya.” (HR. Bukhori
dan Muslim)[6]
b.
Haram dan mubah dalam kondisi
tertentu
Kalangan ulama mengharamkan onani atau masturbasi pada keadaan tertentu dan
mewajibkan pada saat-saat tertentu adalah fuqoha Hanafiyah. Mereka mengatakan,
onani wajib hukumnya jika tanpa perbuatan ini dikhawatirkan akan menyebabkan
perzinaan, dan haram hukumnya jika hanya dilakukan untuk memenuhi syahwat
semata.[7] Begitu
juga dengan fuqoha Hanabilah berpendapat, onani haram hukumnya, kecuali apabila
dilakukan karena dikhawatirkan terjerumus dalam perzinaan atau menghawatirkan
kesehatan, sementara dia tidak memiliki istri atau budak, dan tidak mampu untuk
menikah. Pada kondisi ini tidak mengapa hukumnya melakukan onani.[8]
c.
Makruh
Ibnu Hazm berpendapat, onani hukumnya makruh, namun tidak berdosa. Wanita
sama seperti lelaki dalam hal ini.[9]
C.
Faktor pemicu onani dan masturbasi[10]
1.
Menyaksikan hubungan orang tua
Pada saat anak
melihat apa yang dilakukan orang tua, mungkin disitulah anak mulai
menirukannya.
2.
Balajar dari orang dewasa
Pergaulan bebas sangat mempengaruhi
perilaku anak, terutama ketika anak bergaul dengan teman yang kurang baik, mak
kemungkinan besar ia akan terikut denngan temannya.
3.
Gambar atau video porno
Sering melihat hal-hal yang berbau
porno dapat mempengaruhi imajinasi anak sehingga ia dapat membanyangkan sesuai
apa yang ia lihat.
4.
Penundaan usia perkawinan
Bagi usia dewasa sudah waktunya
menikah, tapi belum melaksanakan ini dapat menimbulkan kainginan seks yang
tinggi sehingga dapat melakukan onani atau masturbasi ini.
5.
Meningkatnya seksualitas
Pada masa remaja organ reproduksi
makin meningkat begitu juga dengan fungsinya, sehingga pada masa remaja ini
membutuhkan penyaluran seksual, sehingga banyak anak remaja sekarang
menyalurkan nafsu seksualnya dengan cara onani atau masturbasi ini.
D.
Dampak onani atau masturbasi
a)
Puasa
Onani dapat
berakibat fatal terhadap ibadah, ada beberapa ibadah yang manjadi rusak setelah
seseorang melakukan onani atau masturbasi. Salah satu ibadah yang ia rusak
adalah puasa mayoritas ulama banyak yang mengatakan bahwasanya perbuatan onani
dapat membatalkan puasa. Dan disini ulama membagi berdasarkan sebab
terangsangnya onani atau masturbasi tersebut.
Adapun orang yang melakukan onani atau masturbasi melalui tangan nya maka
hal ini dapat membatalkan puasa, menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah,
dan begitu juga dengan ulama Hanafiyah secara umum. Dan tidak ada kafaroh atas
rusaknnya puasa yang ia lakukan karena onani, menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah,
karena sebab batalnya puasa yang ia lakukan bukan karena jima’ (hubungan
suami istri) dan nash hanya menyebutkan adanya kafaroh bagi seseorang yang
melakukan jima’ saja. Sedangkan Malikiyah dan salah satu ulama dari
kalangan Hanabilah mewajibkan adanya kafaroh sekaligus qodho (mengganti).
Dan adapun onani dengan melihat, maka dapat membatalkan puasa, menurut
Malikiyah, baik melihatnya hanya sekali atau berulanh kali, dan sama halnya katika
ini merupakan kebiasaan baik ketiaka mani tersebut keluar atau tidak. Sedangkan
menurut Hanabilah dan Syafi’iyah dapat membatalkan apabila ia melihat secara terus menerus. Dan
menurut Hanafiyah tidak membatalkan puasa akan tetapi hanya merusak puasa. Dan
semuanaya berpendapat tidak dikenakan kafaroh kecuali menurut Malkiyah.
Dan adapun
onani dengan al-fikru (membayangkan) maka dalam hal ini sama seperti
halnya dengan melihat, baik dari segi batal
atau tidaknya puasa atau membayar tidak nya kafaroh. Akan tetapi Hanabilah berpendapat,
bahwasanya keluarnya mani yang disebabkan karena al-fikru (membanyangkan)
maka tidak merusak puasa. Karena Rosulullah ﷺ
bersabda:
عَفِيَ لأمتي ما حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا ما لم تعمل أو
تتكلم به
“Diampuni atas umat ku apa-apa yang menimpanya atas jiwanya dari
apa-apa yang beluam ia lakukan atau ia ucapkan” (HR. Mutafaqun’alihi)
b)
I’tikaf
Onani atau
masturbasi dengan perantara tangan dapat membatalkan I’tikaf menurut Hanafiyah,
Malikiyah, Hanabilah dan Syafi’iyah. Dan adapun onani atau masturbasi dengan
memandang atau membanyangkan maka tidak membatalkan I’tikaf, menurut
pendapatnya Hanafiyah dan Syafi’iyah, dan membatalkan I’tikaf menurut Malikyah
dan Hanabilah, maka yang rajih adalah pendapat Malikyah dan Hanabilah karena
kalau kita perhatikan onani atau masturbasi dapat menghilangkan syarat sah
thoharoh, yang thoharoh itu merupakan syarat wajibnya gusl (mandi
wajib).
c)
Haji dan Umroh
Onani atau
masturbasi dengan tangan tidakmmembatalkan ibadah haji menurut Hanafiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah, akan tetepi diwajibkan untuk membayar denda (dam),karena
itu sama seperti seorang suami mencium istrinya tanpa menggaulinya karena ini
merupakan pengharaman dan pengagungan (Makah). Akan tetapi menurut Malikiyah
onani atau masturbasi dapat merusak haji, serta mewajibkan adanya qodho (mengganti)
atau berqurban (sebagai dam) sekalipun ia lupa, Karena ia telah melakukan inzal
(mengeluarkan mani) dengan cara yang haram.
Adapun umroh sama seperti haji
menurut Hanfiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, kecuali Malikiyah.
2)
Terhadap kesehatan[12]
a)
Rambut rontok dan kebotakan
Dampak dari ketidakseimbangan hormon yang
terjadi jika terlalu sering onani atau masturbasi adalah kerontokan rambut.
Jika tidak diatas, lama kelamaan akan memici kebotakan atau penipisan terhadap
rambut pria.
b)
Kanker prostat
Hal ini
berdasarkan penelitian dari universitas Nottingham yang menyatakan bahwa kaum
pria yang sering bermasturbasi di usia 20-30 tahun, lebih beresiko terkena
kanker prostat. Para ilmuaan itu melakukan survey terhada 800 pria, dan
ditemukan bahwa 50% dari mereka menderita kanker
prostat.
c)
Impotensi atau
lemah syahwat
Gangguan pada saraf
parasimpatik bisa mempengaruhi kemampuan otak dalam merespon rangsangan
seksual. Akibatnya kemampuan ereksi melemah, bahkan dalam tingkat keparahan
tertentu bisa menyebabkan impotensi yakni gangguan seksual yang menyebabkan penis
tidak bisa berdiri sama sekali.
d)
Kebocoran katup
air mani
Onani atau masturbasi yang
terlalu sering akan mengganggu saraf, seperti gangguan pada kamampuan saluran
air mani tidak hanya keluar saat ereksi, lendir-lendir tersebut bisa juga
keluar sewaktu-waktu seperti ingus sekalipun penis sedang dalam keadaan lemas.
e)
Badan gemuk dan
gempal
Wanita yang melakukan
masturbasi secara berlebihan akan lebih banyak menyimpan lendir badan yang
menyebabkan masalah berat badan berlebih. Hal ini karena rangsangan seks yang tertumpu
pada kawasan kelentit, melemahkan buah pinggang akibat rangsangan yang
berlebihan dan mengurangi upaya penurunan lendir badan.
E.
Hukuman bagi
pelaku onani
Hukuman bagi pelaku onani atau masturbasi adalah di ta’zir
(sangsi) menurut kesepakatan ulama.[13]
Adapun onani atau masturbasi dengan menggunankan tangan maka ini termasuk dosa
besar yang telah dilarang oleh syari’at, dan Rosulullah ﷺ pernah memberi tahu atas bahaya
yang di timbulkan onani atau masturbasi bagi diri sendir ataupun orang banyak,
kemudian beliau mengatakan ketika hari kiamat kelak akan didatangkan seseorang
yang melakukan onani atau masturbasi di hari kiamat dalam keadaan tangan
terbelenggu, ketika ia belum bertaubat sebelum kematiannaya. Dan Allah ﷻ berfirman:
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُون(5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِين(6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ
فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ(7)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam
hal ini tidaklah tercela, barngsiapa mencari yang dibalik itu maka merekalah
orang-orang yang tercala” (Qs. Al-mu’minun: 5-7)
Dalil diatas
memerintahkan agar senantiasa menjaga kemaluan kecuali kepada istri dan
budak-budak yang dimiliki. Dan pengharaman ini dikecualikan kepada istri dan
budak yang dimiliki. Dan Allah ﷻ juga menjelaskan
bahwasanya menikahi wanita dan memililiki budak
merupakan kebutuhan dari setiap hamba bukan hewan, kemudian dikuatkan lagi dengan firman Allah:
فَمَنِ
ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
العَادُون(31)
“Barangsiapa yang mencari
dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas.” (Qs. Al-Ma’arij: 31)
Dari
penjelasan diatas maka telah jelas hukuman
dari orang yang melakukan onani atau masturbasi yang hanya sekedar untuk
memuaskan syahwat belaka dan bukan karena terpaksa, maka orang itu dikenakan ta’zir
(sangsi) yang sekiranya dapat membuat ia jera. Kemuadian Allah ﷻ juga telah
menjelaskan atas hukuman bagi orang yang melakukan onani atau masturbasi di
akhirat kelak.[14]
REFERENSI:
Alubassam, Abdullah
bin abdirrahman bin Sholih, Taisiru al-‘Alam Syarhu ‘Umdatul Ahkam, Lebanon:
Dar al-kutub al-ilmiyah, 2012 M
Jassos,al-, Abi bakar
Ahmad ar-Rozy, Ahkamul Qur’an, jilid. 3, Lebanon: Darul Fikri, 2001 M
Jazari,al-, Abdurrahman, Kitabul
fiqh ala madzahib arba’ah, jilid. 5, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah 2011 M
Sabiq, Sayyid,
Ringkasan Fiqih Sunnah, Jakarta: Beirut Publising, 2016 M
Syaukani,asy-,
Muhammad bin Ali, Fathul qodhir, jilid.2, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2003 M
Tim redaksi KBBI, KBBI, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, cet. 3, Jakarta: Balai
Pustaka, 1998 M
Widzorotul Auqof wa Syu’unul
Islamiyah al-Kuwait, Mausu’atul Fiqhiyah, jilid. 4, Kuwait: Dzatus as-Alasil,
1893 M
http://suryadun.blogspot.co.id/2014/09/remaja-dan-masturbasionani.html,diakses. Ahad,30 oktober 2016, jam. 22:13
http://www.islami.xyz/2013/02/bahaya-onani-bagi-kesehatan.html, diakses, kamis 27 Oktober 2016, jam. 16:16
[1] Widzorotul al-Auqof wa as-Syu’uni al-Islamiyah
al-Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, jilid. 4, (Kuwait: Dzatus as-Salasil,
1893 M), hlm. 97
[2] Tim redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998 M), hlm.798
[4] Abi Bakar Ahmad ar-Rozy al-Jassos, Ahkamul Qur’an, jilid. 3, (Lebanon:
Darul Fikri, 2001 M), hlm. 374
[5] Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Fathul Qodhir, jilid. 2,
(Lebanon: Dar al-kutub al-ilmiyah,
2003 M), hlm.169
[6] Abdullah
bin Abdirrahman bin Sholih al-Bassam, Taisiru al-‘Alam Syarhu ‘Umdatul Ahkam,
(Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2012 M), hlm. 517
[10] http://suryadun.blogspot.co.id/2014/09/remaja-dan-masturbasionani.html,
diakses. Ahad, 30 oktober 2016, jam. 22:13
[11] Waziratul
Auqaf wa Su’uni al-Islamiyah, Mausuah
al-Fiqhiyah, jilid. 4, (Kuwait: Toba’ah Dzatul Salasil 1983M), hlm. 100-101
[12] http://www.islami.xyz/2013/02/bahaya-onani-bagi-kesehatan.html, diakses, kamis 27 Oktober 2016, jam. 16:16
[13] Waziratul Auqaf wa Su’uni al- Islamiyah, Mausuah al-Fiqhiyah, jilid. 4, (Kuwait:
Toba’ah Dzatul Salasil, 1983 M), hlm. 102
[14] Abdurrahman al-Jazari, Kitabul Fiqhi
ala Madzahib al-Arba’ah, jilid. 5, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah 2011), hal.
136
Created by: Atika Fitroh
Created by: Atika Fitroh
0 komentar:
Posting Komentar