Istilah
barukah (rambut pasangan) dapat diartikan sebagai rambut palsu (wig) ataupun
rambut sambungan. Dalam masalah ini hukum memakai rambut barukah dapat
kita rinci dalam beberapa sub judul:
A.
Memakai
rambut barukah (rambut pasangan) yang terbuat dari rambut manusia
Hukum memakai
rambut barukah yang terbuat dari rambut manusia hukumnya haram
dikarenakan, memanfaatkan bagian anggota tubuh manusia diharamkan oleh islam
dengan tujuan agar kemulian manusia tetap selalu terjaga. Rosulullah juga telah
melarang hal ini dalam sabdanya:
عن أسماء:
اَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ اِلَى رسول صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ:
إني أنكحت ابنتي ثم أصابها شكوى فتمرق رأسها (أى تساقط شعرها) وزوجها يستحثنى بها,
أفأصل رأسها؟ فسب رسول الله صلى الله عليه و سلم الواصلة و المستوصلة.
Dari
Asma’ binti Abi Bakr, ada seorang perempuan yang menghadap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Telah kunikahkan anak gadisku
setelah itu dia sakit sehingga semua rambut kepalanya rontok dan suaminya memintaku
segera mempertemukannya dengan anak gadisku, apakah aku boleh menyambung rambut
kepalanya. Rasulullah lantas melaknat perempuan yang menyambung rambut dan
perempuan yang meminta agar rambutnya disambung” (HR Bukhari)
Hadits di atas
mejelaskan bahwasanya haram memakai rambut barukah (rambut pasangan) yang
berasal dari rambut manusia.
B. Memakai rambut barukah yang terbuat dari selain rambut manusia
Menurut pendapat yang rajih dari perkataan para ulama, bahwasanya hukum
memakai rambut barukah (rambut pasangan) yang terbuat dari bahan selain
rambut manusia, seperti benang sutra, bulu domba, plastik, dan yang semisalnya,
maka hal ini diperbolehkan, terutama bagi orang yang terkena penyakit parah
sehingga mengakibatkan rambutnya rontok bahkan habis, maka dibolehkan baginya
untuk memakai rambut barukah (rambut pasangan) yang terbuat dari selain rambut
manusia.
Wallahua’lam bis showab
Referensi:
·
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dkk, Fatwa-Fatwa Terkini, jilid 3, hlm.
42
·
Kamal
bin Sayyid Salim, Fiqhu Sunnah lin Nisa, hlm. 413
·
Muhammad
bin Iamail Al-Bukhori, Shahih Al-Bukhori, hlm. 1095
·
Abi
Zakarya bin Syaraf An-Nawawi, Mughni Muhtaj, jilid. 1, hlm. 78
0 komentar:
Posting Komentar