Meniti Jalan Menuju Jannah Firdaus-Nya

Senin, 27 Maret 2017

Hadits Al-Ifki (Tuduhan Zina Terhadap Ummahatul Mukminin Aisyah Radhiallahu'anha)


   

A.  PENDAHULUAN
Fitnah merupakan hal yang sangat tidak disukai oleh siapa pun, terkususnya jika ia menjadi mangsa atau sasaran korban yang terkena fitnah, terlebih jika tuduhan itu adalah tuduhan zina, yang merupakan dosa besar yang sangat dimurkai Allah Ta’ala. Fitnah tuduhan zina ini, sudah dialami sejak dahulu oleh Ummahatul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar istri Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, yang kala itu Aisyah dituduh berzina dengan salah seorang sahabat Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yaitu Showan bin Mu’athol. Sanking beratnya tuduhan zina yang dialami oleh Aisyah, akhirnya Allah Ta’ala mengabadikan kisah ini dalam kitab sucinya, Al-Qur’an Al-Karim, tepatnya pada surat An-Nuur.
Sebelum bercerita mengenai kisah tuduhan zina yang dialami oleh Aisyah. Sebaiknya, penting bagi kita untuk mengingat kembali akan peringatan Allah Ta’ala kepada kita semua, agar senantiasa meneliti terlebih dahulu berita yang sampai kepada kita, agar kita terhindar dari fitnah atau tuduhan, seperti yang dilakukan orang-orang munafiq terhadap Aisyah. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat di atas memerintahkan agar benar-benar meneliti berita yang dibawa oleh orang-orang fasik dalam rangka mewaspadainya, sehingga tidak ada seorangpun yang memberikan keputusan berdasarkan perkataan orang fasik tersebut, di mana pada saat itu orang fasik tersebut berpredikat sebagai seorang pendusta dan berbuat kekeliruan, sehingga orang memberikan keputusan berdasarkan ucapan orang fasik itu berarti ia telah mengikutinya dari belakang.[1]

     B.  PEMBAHASAN
Orang-orang munafik yang tidak terlepas dari peran utamanya sebagai penyebar fitnah. Maka, tidak heran ketika kita tidak menteliti terlebih dahulu berita yang dibawa oleh orang-orang munafik, ternyata tanpa kita sadari kita telah ikut bersamanya dalam peran utamanya yaitu menyebarkan fitnah sehingga menimbulkan mala petaka bagi setiap siapa saja yang difitnahnya.
Fitnah dapat menimpa siapa saja, baik orang kaya maupun miskin, orang muslim maupun orang kafir, orang sholih maupun orang dzolim, bahkan istri seorang laki-laki yang sangat mulia di muka bumi ini pun tidak terlepas dari yang namanya fitnah, ialah Ummul Mukminin Aisyah. Beliau dituduh berzina dengan Showan bin Mua’thol oleh sang munafik  Abdullah bin Ubay bin Salul. Karena besarnya fitnah yang di alami Aisyah, sampai-sampai Allah Ta’ala mengabadikan kisah beliau dalam Al-Qur’an.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ جَاؤُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرّاً لَّكُم بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُم مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
            “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”(QS. An-Nuur: 11)
Ayat diatas turun berkenan dengan Umumul Mukminin Aisyah[2] yang dituduh berzina oleh Abdullah bin Ubay bin Salul, hingga Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mendiamkan Aisyah hingga berbulan bulan. Bermula dari undian, yang biasa dilakukan Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam untuk memilih salah satu dari istri beliau untuk mengikuti peperang bersamanya. Maka bertepatan pada undian tersebut, keluarlah nama Aisyah. Maka ketika itu Aisyah ikut keluar menyertai Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Peristiwa itu terjadi setelah turunnya perintah berhijab. Kemudian Aisyah dibawa di atas sekedup dan bermalam dalam sekedup. Maka ketika menempuh perjalan akhirnya Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kembali, ketika hampir mendekati kota Madinah, beliau memerintahkan rombongan agar bergerak pada malam hari. Ketika itu Aisyah keluar dari sekedupnya dan berjalan hingga menjauhi rombongan (untuk buang hajat). Setelah menyelesaikan hajat Aisyah pun kembali menuju tempat sekedupnya tadi berhenti, di tengan perjalan ternyata Aisyah sadar bahwasanya kalung dari akar zhafar yang ia kenakan hilang. Ia pun mencarinya hingga bertahan di tempat karena lama mencarinya. Dan ternyata tanpaia sadari rombongan yang bersama nya tadi telah pergi.
Pada saat itu kaum wanita sangat ringan bobotnya, tidak berat dan tidak gemuk, mereka hanya makan sedikit saja. Mereka tidak mencurigai berat sekedup yang bertambah ringan ketika mereka membawa dan mengangkatnya. Ketika itu Aisyah adalah seorang gadis muda belia. Mereka mengiring unta dan berjalan. Lalu akhirnya Aisyah menemukan kalungnya setelah rombongan bergerak jauh. Aisayah mendatangi tempat perhentian tadi, tidak seorangpun ada disitu. Aisyah mencari-cari tempatnya semula disitu. Ia mengira rombongannya pasti akan kembali untuk mencarinya.
Ketika aisyah menunggu di tempatnya, akhirnya rasa kantuk menimpanya sehingga ia tertidur pulas. Ketika Aisah tertidur datang seorang sahabat Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ia berperan sebgai penyapu jejak rombongan, ketika itu ia melihat Aisyah, karena sebelum turunny ayat hijab Sofwan pernah melihat wajah Aisyah, dan ketika itu Sofwan terkejut dan langsung mengucapkan kalimat istirja’ dan ketika Sofwan mengucapkan kalimat istirja’ Aisyah tekejut dan terbangun dan lengsung menutupi wajahnya. Dan ketika itu Sofwan langsung memerintahkan ibunda Aisyah untuk naik di atas untanya, selama perjalanan sepatah kata pun tidak ada keluar dali mulut Sofwan bin Mu’athol.
Aisyah jatuh sakit saat setelah satu bulan di Madinah, sementara orang ramai membicarakan ahlul ifki, sedang Aisyah tidak mengetahui sama sekali mengenai hal ini. sebenarnya Aisyah telah curiga akan kelembutan Rosul yang hilang selama ia sakit. Dan di suatu ketika Aisyah ingin bung hajat dan ditemani oleh Ummu Misthoh, ia yang menemani Aisyah untuk buang hajat, karena pada masa itu kebiasaan bangsa Arab bung hajat di tengah padang pasir. Ummu Misthoh adalah putri Rahm bin Mutholib bin ‘Abdi Manaf, ibunya adalah puteri Shakhr bin ‘Amir, bibi dari Abu Bakar Ash-Shiddiq. Puteranya bernama Misthih bin Utsasah bin ‘Abad bin ‘Abdul Mutholib. Maka ketika Aisyah selesai buang hajat, tiba-tiba Ummu Misthoh terpeleset, dan tidak sadar mengucapkan “Celaka Misthoh”. Maka ketika itu Aisyah terkejut dan langsung bertanya kepada Ummu Misthoh, “Mengapa engkau berkata seperti itu?”, dan akhirnya Ummu Misrhoh menceritakan apa sebenarnya yang terjadi selama ia sakit yaitu mengenai tuduhan ahlu ifki. Semnenjak Aisyah mendengan kabar itu, sakit Aisyah bertambah parah dari yang sebelumnya.
Setelah itu Aisyah minta izin kepada Rosul untuk menjumpai orang tuanya, untuk menanyakan kebenaran mengenai berita tersebut, maka Aisyah berkata: “Wahai ibunda, mengapa orang-orang membicarakannya?” ibunya berkata: “Wahai putriku, sabarlah. Demi Allah Ta’ala, jarang sekali seorang wanita cantik yang di cintai suaminya dan di madu melainkan madu-madunya itu pasti madunya itu banyak menggunjing dirinya.” Kemudian Aisyah berkata: “SubahanAllah Ta’ala, berarti orang-orang telah membicarakannya.”
Setelah Aisyah mendengar kabar tersebut, Aisyah terus menangis dari malam hingga pagi hari, hingga ia tidak tidur karena menangis sepanjang malam. Kemudian Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memanggol Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid ketika wahyu terputus. Beliau meminta pendapat mereka berdua tentang masalah perceraian denganku. Adapun Usamah bin Zaid mengusulkan kepada beliau agar menangguhkannya karena ia mengetahui bersihnya istri beliau dari tuduhan tersebut dan juga karena ia mengetahui bersihnya istri beliau dari tuduhan dan juga karena ia tahu bagaimana kecintaan mereka kepada beliau. Usamah berkata: “Wahai Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, kami tidak menetahui dari keluarga engkau, melainkan kebaikan.”
Adapun Ali bin Abi Thalib, ia berkata: “Wahai Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, janganlah engkau dibuat sempit karenanya, masih banyak wanita-wanita lain selain dia. Tanyakan saja kepada budak wanitanya, niscaya ia akan membenarkanmu.” Maka Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memanggil Barirah dan bertanya: “Hai Barirah apakah melihat sesuatu yang mencurigakan pada diri Aisyah?” Barirah berkata: “Demi Allah Ta’ala yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku tidak pernah melihat sesuatu yang tercela darinya, hanya saja ia adalah seorang gadis belia yang pernah ketiduran saat menjaga adonan roti milik keluarganya, lalu datanglah kambing memakannya.”
Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bangkit dan meminta pembelaan dari tuduhan Abdullah bin Ubay bin Salul. Beliau berkata di atas mimbar: “Siapakah yang sudi membelaku dari tuduhan seorang lelaki yang telah menyakiti  keluargaku? Demi Allah Ta’ala, aku tidak mengetahui tentang keluargaku kecuali kebaikan. Dan mereka juga menuduh seorang laki-laki yang sepanjang pengetahuanku adalah orang yang baik-baik, ia tidaklah datng menemui keluargaku kecuali bersamaku.”
Maka, bangkitlah Sa’ad bin Ubadah, ia adalah pemimpin suku Khazraj, ia adalah seorang laki-laki sholih, akan tetapisaat sentimennya bangkit, ia berkata kepada Sa’ad bin Mu’adz: “Engkau dusta, demi Allah Ta’ala, engkau tidak akan membunuhnya dan tidak sanggup membunuhnya, kalaulah oranh itu dari sukumu tentu engkau tidak akan mau ia di bunuh.”
Bangkitla Usaid bin Hudhair, ia adalah keponakan Sa’ad bin Mu’adz dan berkata kepada Sa’ad bin Ubadah: “Engkaulah yang dusta, demi Allah Ta’ala, kami akan membunuhnya, engkau munafik dan membela seorang munafik.”
Maka ributlah kedua suku Aus dan Khazraj hungga nyaris terjadi baku hantam, sementara Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berada di atas membar. Beliau berusaha menenangkan hingga mereka dian dan Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pun diam.
Sedangkan saat itu Aisyah terus menangis, air matanya terus berlinang tanpa henti dan juga tidak tidur, sampai-sampai kedua orangtua Aisyah khawatir jikalau tangisannya dapat mengakibatkan terbelahnya jantungnya.
Ketika kedua orang tuanya berada disisinya sementara Aisyah terus berlinangan air mata, tiba-tiba datanglah seorang wanita Anshor. Setelah Aisyah mengizinkan nya untuk masuk, akhirnya wanita Anshor tadi nangis bersamanya. Ketika mereka dalam kondisi demikian, tiba-tiba Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam datang kemuadian duduk di samping Aisyah. Beliau belum pernah duduk di samping Aisyah semenjak tuduhan terhadap Aisyah mencuat ke permukaan. Sudah sebulan lamanya wahyu tidak turun kepada beliau tentang kasus yang menimpa Aisyah. Kemudian Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada Aisyah: “Jika engkau tidak bersalah, maka Allah Ta’ala pasti menurunkan pembebasan dirimu. Namun, jika engkau telah melakukan perbuatan dosa, maka mohon ampunlah kepada Allah Ta’ala dan bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya apabila seorang hamba mengakui dosanya lalu bertaubat, niscaya Allah Ta’ala akan menerima taubatnya.”
Setelah beliau mengutarakan hal itu, air mata Aisyah berhenti hingga tidak setetes pun mengalir. Kemudian Aisyah berkata kepada ayahnya: “Wahai ayah, jawablah perkataan Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam!” Ia berkata: “Demi Allah Ta’ala aku tidak tahu harus berkata apa kepada Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.”
Kemudian Aisyah berkata kepada Ibunya: “Jawablah perkataan Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam!”, kemudian ibunya Aisyah berkata: “Demi Allah Ta’ala, aku tidak tahu harus berkata apa kepada Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.”
Ketika ibu dan ayah tidak tahu harus berkata apa kepada Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ia bingung dan Aisyah berkata: “Aku hanya seorang gadis yang masih muda belia, aku tidak banyak membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Demi Allah Ta’ala, sungguh akau tahu bahwa kalian telah mendengar ceritanya hingga merasuk ke dalam jiwa kalian dan kalian membenarkannya. Kalaulah aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah, Allah Ta’ala maha tahu kalau aku tidak berslah, tentu kalian tidak akan mempercayaiku. Sekiranya aku mengakui tuduhan itu, Allah Ta’ala maha tahu bahwa aku tidak bersalah, tentu kalian mempercayainya. Demi Allah Ta’ala aku tidak menemuai perumpamaan diriku kecuali sepeti apa yang di katakan oleh ayah yusuf,
فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ
 ‘Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah Ta’ala maha sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.’ (QS.Yusuf: 18)”
Kemudian, ia pergi kekamarnya dan berbaring di tempat pembaringannya. Demi Allah Ta’ala, dan ia tetap sabar dan yakin pasti Allah Ta’ala akan membantu nya dalam masalah ini. Maka akhirnya Allah Ta’ala menurunkan wahyunya kepada Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengenai Aisyah, tatkala Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menerima wahyu, maka hilanglah kesusahan itu dari beliau, lalu beliau tersenyum. Kalimat pertama yang beliau ucapkan adalah: “Sambutlah kabar gembira wahai Aisyah, Allah Ta’ala tellah menurunkan pembebasan dirimu,” Kemudian ibu Aisyah berkata: “Bangkit dan sambutlah Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.” Aisyah berkata: “Demi Allah Ta’ala, akua tidak akan bangkit menyambutnya dan aku tidak akan memuji kecuali Allah Ta’ala semata, Dia-lah yang telah menurunkan pembebasan atas diriku.” Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ جَاؤُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ
“Sesungguhnyorang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golonganmu juga,” sebanyak sepuluh ayat. Setelah Allah Ta’ala menurunkan ayat yang berisi pembebasan atas diri Aisyah, Abu Bakar, yang dahulu memberikan nafkah untuk Misthoh bin Utsatsah kerena masih kerabat dan fakir, berkata: “Demi Allah Ta’ala aku tidaka akan memberikan nafkah lagi kepadanya selama-lamanya setelah ia menuduh Aisyah.”[3] Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat-Nya:
وَلَا يَأْتَلِ أُوْلُوا الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُوْلِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabatnya, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijroh pada jalan Allah Ta’ala, dan hendaklan mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah Ta’ala memaafkan dirimu? Dan Allah Ta’ala maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS. An-Nuur: 22)
Abu Bakar berkata: “Demi Allah Ta’ala, aku ingin Allah Ta’ala mengampuni diriku.” Beliau kembali memberikan nafkah kepada Misthoh bin Utsatsah seperti yang dahulu pernah diberikannya. Kemudian Abu Bakar berkata; “Demi Allah Ta’ala, aku tidak akan mencabut nafkah tersebut selama-lamanya.”
Aisyah berkata: ‘Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bertanya kepada Zainab binti Jahsy, salah seorang istri nabi, tentang diriku Rosul berkata: ‘Hai Zainab, apa yang engkau ketahui dan dengar tentangnya?’, Ia menjawa: ‘Wahai Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, aku menjaga pendengaran dan pengelihatanku. Demi Allah Ta’ala, aku tidak mengetahui tentangnya kecuali kebaikan.’Hanya dialah satu-satunya dari istri Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang membela diriku, lalu Allah Ta’ala memelihara dirinya dengan sifat wara’. Namun saudaranya yakni Hamnah binti Jahsy terus membantah dirinya hingga ia termasuk dalam golongan orang-orang celaka.”
Ibnu Syihab berkata: “Inilah kisah tentang peristiwa ahlul ifki.” Kisah ini diriwayatkan oleh Bukhori[4] dan Muslim[5] dalam shohih mereka, dari hadits Az-Zuhri.
Dalam riwayat Tirmidzi[6] disebutkan nama-nama mereka yang dihukum, yaitu Hasan bin Tsabit, Misthoh bin Utsatsah dan Hamnah binti Jahsy, Wallahu’alam.
Dari peristiwa hadits al-ifki ini, banyak hikmah dan hukum-hukum sekitar fiqih yang dapat kita ambil pelajaran.[7] Diantara beberapa fadhilah, hukum serta pelajaran dari peristiwa ifki ini adalah:
A.      Basyariyah (sifat kemanusian) Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
Ujian ifki datang sebagai bagian dari hikmah ilahiyahyang bertujuan untuk memperlihatkan sakhsiyah (kepribadian) Nabi yang jernih dan terbebas dari segala sesuatu yang terkadang  mencampurinya. Andaikata wahyu itu merupakan sesuatu yang bersipat sepontandan tidak terkait dengan kepribadian nabi, tentulah beliau tidak akan menjalani (mengalami ujian tersebut dengan seluruh) dimensinya selama satu bulan penuh. Akan tetapi, hakikat yang nampak pada manusia melalui ujian ini adalah  terlihat basyariyah (sifat kemanusiaan) dan kenabian beliau. Ketika ditetapkannya wahyu yang beredar seputar kodisi Ummahatul Mukminin, Aisyah, maka air itupun kembali lagi ke tempat alirannya semula, antara dirinya dan Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Seluruh orang pun bergembira dengan akhir kesudahan ini setelah penderitaan keras yang mereka alami. Yang demikian itu menunjukan hakikat sebuah wahyu, dan andaikata persoalan itu tidak datang dari sisi Allah Ta’ala tentulah bencana ujian itu akan terus ada di dalam wajah Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dengan sifat yang khusus, yang akan berpengaruh pada perilaku beliau terhadap istrinya, Aisyah. Begitulah Allah Ta’ala berkehendak manjadikan ujian ini sebagai bukti besar atas kenabian Muhammad.
B.     Haddul Qadzaf (hukuman hudud bagi penuduh zina) dan urgensinya dalam manjaga kehormatan kaum muslimin
Masyarakat islam dididik melalui berbagai cara. Katika terjadi peristiwa ifki, Allah Ta’ala hendak mensyariatkan beberapa hukum yang akan ikut berperan dalam menjaga kehormatan kaum mukminin. Oleh karena itulah, di turunkan surat An-Nuur yang membicarakan tentang hukuman pezina  laki-laki maupun perempuan , buruknya kekejian zina, apa yang harus di lakukan seorang hakim ketika suami istri saling menuduh pasangannya, hukuman yang Allah Ta’ala telah tetapkan bagi orang-orang yang menuduh wanita baik-baik melakukan zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, dan hukuman-hukuman yang lainya.
Sesungguhnya islam telah mengharamkan zina dan mewajibkan hukuman atas diri pelakunya. Islam juga mengharamkan seluruh sebab yang dapat menyebabkan zina  dan seluruh jalan yang dapat menghantarkan kepada perbuatan zina tersebut. Di antaranya adalah menyebarkan berita perbuatan keji dan menuduhkannya guna membebaskan sebuah masyarakat dari beredarnya lafadz-lafadz keji dan pembicaraannya tentangnya. Karena, banyaknya pembicaraab tentang kekejian zina dan kemudahan untuk memperbincangkannya di setiap waktu akan menjadikannya remeh perseolannya pada siri orang yang mendengarnya  dan membuat berani orang-orang yang lemah jiwanya untuk melakukan perbuatan zina tersebut. Oleh karena itulah, syari’at islam mengharamkan tuduhan zina dan mewajibkannya menegakkan haddul qadzaf atas diri orang yang telah menuduh berzina laki-laki maupun wanita yang baik, sucu lagi terbebas dari perbuatan zina . yaitu, didera (dicambuk) sebanyak delapan puluh kali cambukan dan tidak diterima persaksian darinya kecuali setelah ia taubat yang jujur lagi murni (taubat nasuha).
Rusulullah telah menegakkan haddu qadzaf ini atas diri Misthoh bin Utsatsah , Hasan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy. Muhammad bin Ishaq dan selainnya meriwayatkan bahwa nabi telah mencambuk dua orang laki-laki dan satu orang perempuandalam peristiwa ifki tersebut. Yaitu, Misthoh bin Utsatsah, Hasan bin Tsabit dan Hamnah bintu Jashsy.
Dalam tafsir Ath-Thobari dikatakan bahwasanya Abdullah bin Ubay lah yang paling berat mendapat siksa dibanding Misthoh bin Utsatsah, Hasan bin Tsabit dan Hamnah bintu Jashsy, dikarenakan tidak adanya pengakuan dari dirinya, sehingga ia lepas dari haddul qodzaf.[8]

Al-Qurtubi berkata, “kabar yang masyhur dan ma’ruf dikalangan para ulama bahwa yang dijatuhi  hukuaman hudud adalah Hasan, Misthoh dan Hamnah.namuntidak pernah di dengar hukuman untuk Abdullah bin Ubay bin Salul.”[9]
Ibun Qoyim telah menyebutkan sisi hikmah tidak di hududnya Abdullah bin Ubay. Dia mengatakan:
1.         Hukum hudud merupakan takhfif (peringatan) dan kafarah (penghapus) dosa dari diri pelakunya. Sementara orang yang buruk tidak berhak menerima hal itu. Allah Ta’ala telah menjanjikan untuk dirinya dengan adzab yang besar di akhirat dan mencukupkannya dari hukuman hudud.
2.         Dia (Ibnu Ubay) mengumpulkan, menceritakan dan memunculkan berita dusta tersebut di tengah orang-orang yang tidak menuduh dirinya.
3.         Hukuman hudud tidak ditetapkan melainkan dengan pembuktian atau pengakuan. Sedangkan Ibnu Ubay tidak mengaku menuduh dan tidak ada seorang pun yang memberikan kesaksian atas dirinya. Dan dia tidak menyampaikannya dikalangan orang-orang mukmin.
4.         Nabi tidak menghududnya karena adanya suatu kemaslahatan yang lebih besar dari pada menegakkan hukuman hudud atasnya. Sebagaimana, tidak nabi membunuhnya meski terlihat kemunafikan pada dirinya serta ucapannya yang sering kali mengharuskan ia untuk dibunuh. Yang demikian itu merupakan bentuk kelembutan kepada kaumnya agar mereka tidak lari dari agama islam. Kemudian ia berkata pada akhir ucapannya, “Barang kali ia tidak dihudud dikarenakan keseluruhan sisi-sisi ini.”


C.     PENUTUP
Dari peristiwa ifki yang menimpa Aisyah, kita dapat mengambil berbagai hikmah serta hukum-hukum fiqih yang dapat kita pelajari, hukum fiqih yang sangat menonjol di sini adalah mengenai haddul qodzaf. Dari hukum ini dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya, siapa saja yang memfinah laki-laki maupun wanita baik-baik berzina maka hukuman delapan puluh jilid baginya, jika ia mengakui kesalahnynya. Akan tetapi, jika ia tidak mengakui kesalahnya, maka hukuman jilid jatuh atasnya, dan jika ia berbohong dalam persaksiannya, maka Allah Ta’ala lah yang akan menghukumnya dengan hukuman yang dahsyat tentunya.

D.    DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. 2008. Tafsir Ibnu Katsir. terj. Muhammad Abdul Ghoffar dan Abu Ihsab Al-Atsari. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i
Alqur’an Al-Karim Terjemahan Depertemen Agama RI 2006
Imam Bukhori. Shohih Al-Bukhori. 2011. Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah
Imam Muslim. Shohih Muslim. 2011. Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah
Imam Tirmidzi. 2015. Sunan At-Tirmidzi. Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah
Qurthubi, Al-, Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshory. 2010. Tafsir Al-Qurtubi. Lebanon: Daar Al-Kutub Al- Ilmiyah
Shollabi, Ash-, Ali Muhammad. 2014. Sirah Nabawiyah. Surakarta: Insan Kamil
Thobary, Ath-, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir. 2009. Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Al-Qur’an Tafsir Ath-Thobari. Kairo: Daar Al-Islam
Zuhaili, Az-, Wahbah. 2011. Tafsir Al-Munir Fil Aqidah Wa Asy-Syari’ah. Damaskus: Daar Al-Fikri





[1]  Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Muhammad Abdul Ghoffar dan Abu Ihsab Al-Atsari, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008), jild. 9, hlm. 107
[2] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Muhammad Abdul Ghoffar dan Abu Ihsab Al-Atsari, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008), jild. 6, hlm. 14-20
[3]  Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Fil Aqidah Wa Asy-Syari’ah, (Damaskus: Daar Al-Fikri, 2011), jild. 9, hlm. 510
[4]  Imam Bukori, Shohih Al-Bukhori, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), jild. 3, hlm. 242-246, Kitab: Tafsir, Bab: Innaladzina Jaau bil Ifki, no. Hadits. 4750
[5]  Imam Muslim, Shohih Muslim, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), jild. 4, hlm. 276, Kitab: Taubah, Bab: Hadits Al-Ifki, no. Hadits. 2770
[6]  Imam Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm.736, Kitab: Tafsir Al-Qur’an, Bab: Surat An-Nuur, no. Hadits: 3180
[7] Ali Muhammad Ash-Shollabi, Sirah Nabawiyah, cet-1, (Surakarta: Insan Kamil, 2014), hlm: 818-820
[8] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobary, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Al-Qur’an Tafsir Ath-Thobari, (Kairo: Daar Al-Islam, 2009), jild.7, hlm. 5996
[9]  Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshory Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurtubi, (Lebanon: Daar Al-Kutub Al- Ilmiyah), jild. 2, hlm. 133 
0

النميمة, آفة من آفة اللسان


المناظرة العربية
النميمة, آفة من آفة اللسان



بإعداد الطالبة:
عاتكة فطرة و حسنى أماني


تحت إشراف:
الأستاذة يويون الحافظة
الأستاذة حنينة الشهادة




المعهد العالي للدراسات الإسلامية
هداية الرحمن
فيلانج – ماساران – سراجين
2016-2017

المقدمة
الحمد لله جعل المؤمنين إخوةيتعاونون بينهم على البروالتقوى ويحترم كل واحدمنهم الآخرفينفسهوماله وعرضه فكل المسلم على المسلم حرام، كما قال ذلك النبي الصطفى وأشهدأن لاإله إلاالله وحدهل اشريكلهربالأرض والسماء،وأشهدأن محمداعبده ورسوله المجتبى صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه أهل البروالوفاء،وعلى التابعين لهم بإحسان ماتتابعالقطروالندى،وسلم تسليما.
أمابعد:
أخواتي في الله..
لا شك أن الله تعالى منح الإنسان نعما عظيمة, ومن أعظمها بعد الإسلام: نعمة النطق باللسان, وهذا اللسان سلاح ذو حدين: فإن استخدم في طاعة الله, كان هذا شكرا لله على هذه النعمة. وإن استخدم في طاعة الشيطان, كان هذا هو المحرم على كل مسلم فعله وكان كفرانا لهذه النعمة العظيمة.
ياأيتها المستمعات..
أوصيكن وإياي نفسي بالتقوىالله والحفظ بألسنتنا,فإنحصائداللسانهلكالإنسان. قال الله تعالى:(ما يلفظ من قول إلا لديه رقيب عتيد).ولقد شاع في كثير من الناس أخلاق سيئة من حصائد اللسان فكثير من الناس لا يبالون بالكذب ولا يهتمون به ولم يحذرون من قول النبي r: (إن الكذب يهدي إلى الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار ولا يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا). هؤلاء الذين ينقلون للناس ما يكفرون به من أوهام لا حقيقة لها ربما يكون في كلامهم إلقاء في العداوة والبغضاء بين المسلمين فتفرق الجماعة من أجل أمور وهمية وظنون كاذبة.
أخواتي في الله أرشدكن الله..
لقد شاع بين كثير من المسلمين داء عظيم لكن السلامة منه يسيرة على من يسرها الله عليه, ولقد انتشر بين بعض الناس داء النميمة وهي أن ينقل الكلام بين الناس فيذهب إلى شخص ويقول قال فيك فلان كذا وكذا لقصد الإفساد وإلقاء العداوة والبغضاء بين المسلمين, وهذه هي النميمة التي هي من كبائر الذنوب ومن أسباب عذاب القبر وعذاب النار. قال النبي r:(إنهما ليعذبان وما يعذبان في كبير أي في أمر شاق تركه عليهما أما أحدهما فكان لا يستبرئ من البول وأما الآخر فكان يمشي بالنميمة)
من أجل ذلك, في هذه المقالة المناظرة العربية سنبحث لكن عن هذا الداء, ألا وهي"النميمة". وأما حطة البحث التي سنقدم لكن فيما يأتي:
1.    تعريف النميمة والنمام
2.    الفرق بين النميمة والغيبة وأمثلتهما
3.    حكم النميمة
4.    الأدلّة على تحريم النميمة
5.    الدوافع الباعثة على الوقوع في النميمة
6.    آثار النميمة
7.    الترهيب من الوقوع في النميمة
8.    علاج النميمة
9.    ما ينبغي لمن حملت إليه النميمة
10.                       مايباح من النميمة
وقفني الله وإياكن لمحاسن الأخلاق وصالح الأعمال وجنبنا مساوئ الأخلاق ومنكرات الأعمال وهدانا صراطه المستقيم إنه جواد كريم وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم تسليما كثيرا 

المبحث الأول: التعريف النميمة والنمام

أ‌.       النميمة
1.    لغة:نمّ – ينمّ - نمّا[1]
·       النمّ, رفع الحديث إشاعة له وإفسادا وتزيين الكلام بالكذب[2]
·       النميمة, هو صوت الكتابة, و وسواس همس الكلام
2.    اصطلاحا:
أما معنى النميمة في الإصطلاح الشرعي فلها معنيان:أحدهما خاص,وهو نقل كلام الناس بعضهم إلى بعض على جهة الإفساد بينهم[3].والآخر عام,وهو:كشف ما يكره كشفه سواء كرهه المنقول عنه أو المنقول عليه أو غيرهما, و سواء أكان المنقول قولا أو فعلا, وسواء كان عيبا أم لا, أم لم يكن.               
وليس من النميمة بمعنى الخاص, وهي معنى العام, نقل الكلام أو الحديث على جهة الإصلاح كالتقريب بين متخاصمين مثلا, وكما إذا رأى من يعتدي على مال غيره بسرقة, أو اختلاس, وشهد به مراعة لحق المشهود عليه ويعرف هذا في اللغة باسم الإنماء, وقد جاء في الحديث قوله r: ليس الكذاب من أصلح بين الناس, فقال خيرا, أو نمى خيرا[4]
ب‌.  النمام
هو الذي ينقل الحديث بين الناس على جهة الإفساد. والنمام أشد خطرا من المغتاب, حيث إن النميمة توقع بين الناس العداوة والبغضاء, وتقطع الأرحام, وتوغر الصدور, وتعكر صفو النفوس.[5]

المبحث الثاني: الفرق بين النميمة و الغيبة وأمثلتهما

أن بين النميمة والغيبة عموما وخصوصا وجيها,أي أن كل نميمة غيبة, وليس كل غيبة نميمة, فإن الإنسان قد يذكر عن غيره ما يكرهه, ولا إفساد فيه بينه وبين أحد, وهذا غيبة, وقد يذكر عن غيره ما يكرهه وفيه إفساد, وهذا غيبة, ونميمة معا[6]
ومن أمثلة النميمة, كأن تقولين لأختك: قالت فلانة فيك كذا وكذا وهي تكرهك ولا تحبك, وتقولين أيضا لفلانة فيما أختك لقصد الإفساد بينهما.
أما أمثلة الغيبة, كذكر شخصة أختها بما تكره في حال غيبتها بدون قصد الإفساد.والله أعلم

المبحث الثالث: حكم النميمة

أما حكم النميمة هو حرام بإجماع المسلمين وهي كبيرة من كبائر الذنوب, وقد تظاهرت على تحريمها الدلائل الشرعية من الكتاب والسنة[7].

المبحث الرابع: الأدلّة على تحريم النميمة

1.    تحريم النميمة من كتاب الله تعلى:
قال الله تعالى في القرآن الكريم:
-       "وَلَا تُطِعۡ كُلَّ حَلَّافٖ مَّهِينٍ ١٠هَمَّازٖ مَّشَّآءِۢ بِنَمِيمٖ ١١"[8]
ففي هذه الآيات ورد ذكر النمام بأبشع صورة حيث إنه: كثير الحلف لعلمه بكذبه, وهو كذلك مهين لا يحترم نفسه عكس العزيز, وأما الهماز هو المغتاب للناس,وكذلك يمشي بين الناس بما يفسد قلوبهم وعلاقاتهم, وهذا معنى مشاء بنميم.[9]
-       "وَيۡلٞ لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ ١"[10]
ويلٌ هو الوادى يسيل من صديد أهل النار وقيحهم[11]. عن ابن عباس, أنه سئل عن قوله: "وَيۡلٞ لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ ١". قال: هو المشّاء بالنميمة, المفرّق بين الجمع, المغرى  بين الإخوان.[12]
-       "وَٱمۡرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلۡحَطَبِ ٤"[13]
قال بعض المفسرين: والمقصود بالحطب في الآية السابقة: هي النميمة, وإنما سميت النميمة حطبا لأنها سبب لإشعال نار العداوة بين الناس,فصارت بمنزلة الحطب الذي يوقد به النار.[14]
2.    تحريم النميمة من السنة المباركة
عن عبد الله بن مسعود, قال: إن محمدا r قال: "ألا أنبئكم ما العضه[15]؟ هي النميمة القالة بين الناس". فلو لم يكن في ذم النميمة إلا هذا الحديث لكفى بهذا ذما.

المبحث الخامس : الدوافع الباعثة على الوقوع في النميمة[16]

الأمور التي تساعد على النميمة:
1)    البيئة  المحيطة القريبة كانت أو بعيدة
فقد ينشأ الإنسان في بيئة دأبها الإفساد والوقيعة بين الناس, فيأخذ فس الأثر بها, ومحاكاتها, ولا سيما إذا لم يكن قد توفرت لديه الوقاية والحصانة اللازمة لحمايته من مثل هذه الآفات, ولا فرق بين أن تكون هذه البيئة قريبة أو بعيدة إذ الكل له دور كبير في حياة المرء على وجه العموم, والناشئة على وجه الخصوص.
2)    الحسد أو محبة الشر والسوء للناس
وقد يكون الحسد أو محبة الشر والسوء للناس مداعاة للوقيعة والإفساد, على نحو ما جاء عن حماد بن سلمة إذ قال:"باع وجل عبدا, وقال للمشتري: ما فيه عيب إلا النميمة, قال: قد رضيت, فاشتراه, فمكث الغلام أياما, ثم قال لزوجه مولاه: إن سيدي لا يحبك, وهو يريد أن يتسرى عليك, فخذي الموسى, واحلقي من شعري قفاه عند نومه شعرات حتى أسحره عليها, فيحبك, ثم قال للزوج: أن امرأتك اتخذت خليلا, وتريد أن تقتلك, فتناوم لك حتى تعرف ذلك, فتناوم لها, فجاءت المرأة بالموسى, فظن أنها تريد قتله, فقام إليها فقتلها, فجاء أهل المرأة فقتلوا الزوج, ووقع القتال بين القبيلتين"[17]
ولهذا السبب وغيره جاء الأمر بالإستعاذة بالله من شر الحسد, إذ يقول سبحنه وتعالى:(قل أعوذ بربّ الفلق من شر ما خلق ومن شر غاسق إذا وقب ومن شر النفاثات في العقد ومن شر حاسد إذا حسد)
3)    عدم قيام الأمة بواجبها نحو النمام بل استحسان عمله هذا
وقد يكون عدم قيام الأمة-حكما ومحكومين- بواجبها نحو النمام من تكذيبه, وزجره, وتخويفه, بل استحسان الأمة لمثل هذا العمل, قد يكون سببا من الأسباب اتي تؤدي ألى الوقوع في آفة النميمة.
وقد وعى السلف واجبهم نحو النمامين. فقطعوا الطريق عليهم بأداء هذا الواجب:" هذا أمير المؤمنين عمر بن عبد العزيز يدخل عليه وجل, فيذكر له عن رجل شيئا, فيقول له أمير المؤمنين عمر:(إن شئت نظرنا إلى أمرك, فإن كنت كاذبا, فأنت من أهل هذه الآية: (إن جاءتهم فاسق بنبأ فتبينوا), وإن كانت صادقا, فأنت من أهل الآية: (هماز مشاء بنميم), وإن شئت عفونا عنك, فقال: العفو يا أمير المؤمنين, لا أعود إليه أبدا"
4)    نسيان الله والدار الآخرة
وقد يكون نسيان الله, وأنه القوي القهار الفعال لما يريد, المطلع على كل شيء, الجامع الناس ليوم لا ريب فيه, المجازي كلا بما فعل, كذلم نسيان الدار الآخرة, وما فيها من الأهوال والشدائد, أو السلامة والأمن, العذاب الدائم, أو النعيم المقيم, قد يكون هذا كله سببا في الوقوع في النميمة, وصدق النبي الكريم إذ يقول:"إن مما أدرك من كلام النبوة الأولى إذا لم تستح فاصنع ما شئت"
5)    الغفلة عن العواقب الناشئة عن النميمة
وأخيرا قد تكون الغفلة عن العواقب الناشئة عن النميمة-كما سنعرف بعد قليل- هي السبب في الوقوع في هذه الآفة, إذ من لا يقدر عواقب الشيء, ولا سيما إذا كانت هذه العواقب وخيمة, فإنه يتجرأ عليه, وإن كان في تجرئه هذا الحلف والهلاك.

المبحث السادس: آثار النميمة[18]

وللنميمة آثر ضارة, وعواقب مهلكة على العاملين, وعلى العمل الإسلام, ودوانك طرفا من هذه الآثار, وتلك العواقب:
أ‌.          على العاملين
فمن آثار النميمة على العاملين:
1.      قسوة القلب
ذلك أن النميمة كغيرها من المعاصي والسيئات تسود القلب و تدنسه, فيصيبه المرض, ويظل هذا المرض يسرى فيه حتى يموت, فتكون القسوة, والويل كل الويل لمن قساقلبه كماقال سبحانه: (فويل للقاسية قلوبهم من ذكر الله أولئك في ضلال مبين)[19]
2.  نزع الثقة والهيبة من قلوب الناس
وتنتهي النميمة بصاحبها إلى نزع هيبته والثقة به من القلوب الناس, من باب أن من نم لك نم عليك, إذا نزعت هيبة المرء, وضاعت الثقة به من القلوب الناس احترقت كل أوراقه, ولم يبق له ما يعيش أو يحيا به بين الناس, فيكون  قد حكم على نفسه بالموت, وإن بدا أنه واحد من الأحياء
3.  الإفلاس
حدّثنا قتيبة, حدّثنا عبد العزيز بن محمد, عن العلاء بن عبد الرحمن, عن ابيه, عن أبي هريرة أن رسول الله قال: ((أتدرون من المفلس؟)) قالوا: المفلس فينا يا رسول الله من لا درهم له و لامتاع, قال رسول : ((المفلس من أمّتى من يأتى يوم القيامة بصلاته  و صيامه و زكاته, ويأتي قد شتم هذا, و قذف هذا, و أكل مال هذا, و سفك دام هذا, و ضرب هذا, فيقعد فيقتص هذا من حسناته و هذا من حسناته, فإن فنيت حسناته قبل أن يقتصّ ما عليه من الخطايا أخذ من خطاياهم  فطرح عليه ثم طرح في النار)).[20]
4.  سلب الأموال و انتهاك الأعراض و سفك الدماء
ومن آثار النميمة على العاملين أيضا, سلب الأموال, وانتهاك الأعراض, وسفك الدماء, وقد مرت بنا قصة العبد النمام, و كيف حرض سيده على مولاته حتى قتلها, ثم قتل بأيدي أقاربها, واشتعلت الحرب بين الفرقين.
و من هذا الباب ما يقع لنفر من العاملين للإسلام على أيدي بعض الحكمات من انتهاك  للأعراض, و سلب للأموال, و سفك للدماء, حيث تعمل الوشاية, و النميمة عملها في اشعال أوار هذه الحرب, ولو كان التثبت أو التبين لحقيقة ما يقوله هؤلاء النمامون والوشاة لما كان شيئ من ذلك.
5.  التعرض لغضب الله وسخطه الموجبين للنار
وأخيرا فإن النميمة تنتهي بصاحبها إلى التعرض لغضب الله وسخطه الموجبين للنار, فضلا عن عقاب الدنيا, إذ يقول سبحانه: (ولايحق, المكر السيء إلى بأهله فهل ينظرون إلا سنت الأولين فلن تجد لسنت الله تبديلا ولن تجد لسنت الله تحويلا)[21]
ب‌.    على العمل الإسلامي
ومن آثر النميمة على العمل الإسلامي:
1.       الفرقة و التمزق
وذلك أن سماع النميمة إذا لم يكن معه تقوى الله, يؤدي إلى سوء الظن, ثم التجسس و تتبع العورات, ثم الغيبة, ثم التقاطع, أو الفرقة و التمزق, الأمر الذي يكون سببا في ذهاب ريحانا وطمع الأعداء فينا, على النحو الذي نعيشه نحن المسلمين اليوم على كل المستويات الداخلية, والخارجية, الشعيبة والقيادية, الفردية والجماعة, وصدق الله الذي يقول: (ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد نا جاءهم البينات وأولئك لهم عذاب عظيم)[22]
2.    فتح الطريق أمام الناشئة وضعاف النفوس أن يقعوا في هذه الآفة
وأخيرا, فإن شيوع النميمة في الأمة يفتح الطريق أمام الناشئة, وضعاف النفوس أن يقعوا في هذه الآفة حينئذ تتسع أسباب الفرقة و التمزق, ويكون العذاب الأليم.[23]

المبحث السابع : الترهيب من الوقوع في النميمة[24]

1)    إنه من أشر الناس
حدثنا عبد الله, حدثنا داود بن عمرو الضبي, حدثنا داود العطار, عن ابن خثيم, عن شهر بن حوشب, عن أسماء بنت يزيد, أن رسول الله r قال: ألا أخبركم بشراركم؟. قالوا: بلى. قال المشاؤون بالنميمة, المفسدون بين الأحبة, الباغون للبراء العنت[25]
2)    النمام ذو وجهين
النمام كما نقل إليك سينقل غدا عنك, وهذا حال ذو الوجهين. وقال ابن حجر: (وهو من جهة صورة النمام, وإنما كان ذو الوجهين أشر الناس لأن حاله حال المنافق)
عن عمار t قال: قال رسول الله r:( من كان له وجهان في الدنيا كان له يوم القيامة لسانان من النار[26]).فهذا جزاؤه يوم القيامة, ولا يظلم ربك أحدا.
فذو الوجهين مداهن, ماكر,مهين, لئيم, منحط الأخلاق, خبيث الطبع لأنه ينقل الأخبار الكاذبة بين الناس فيزيد الجفاء والنفور ويغرس الأحقاد, فتشتغل نار العداوة والبغضاء بينهم, لذا فهو شر عباد الله كما وصفه النبي بأنه: شر عباد الله, لأنه يمشي بالنميمة ويفرق بين الأحبة.
وفي هذا إشارة إلى أن النمام ينبغي أن يبغض ولا يوثق بقوله ولا بصداقته, وكيف لا يبغض؟ وهو لا ينفك عن الغيبة والكذب والخيانة والنفاق والإفساد بين الناس.
3)    النمام سيعذب في القبر
حدثنا أبو سعيد الأشج وأبو كريب محمد بن العلاء وإسحاق بن إبراهيم حدثنا الأعمش, قال سمعت مجاهدا يحدث عن طاوس, عن ابن عباس, قال: مر رسول الله  r على قبرين. فقال:"أما إنهما ليعذبان. وما يعذبان في كبير. أما أحدهما فكان يمشي بالنميمة. وأما الأخر فكان لا يستتر في بوله"قال فدعا بعسيب رطب فشقه باثنين. ثم غرس على هذا واحدا, وعلى هذا واحدا. ثم قال: "لعله أن يخفف عنهما. ما لم ييبسا"[27]. والمراد من قوله:" وما يعذبان في كبير", ليس بكبير تركه عليهما, أو ليس كبير في زعمهما, ولهذا في رواية أخرى: "بلى إنه كبير"
4)    النمام لا يدخل الجنة
وكفى بالنمام ذما أن يحرم دخول الجنة بداية من الدخلين, فيكون هدا الوعيد زاجرا له عن هدا الخلق والصفة الذميمة المرذولة.
فقد أخرج البخاري من حديث حذيفة, أنه بلغه أن رجلا ينم الحديث,فقال حذيفة:سمعت رسول الله r يقول: "لا يدخل الجنة نمام"[28]
ولابد من هذا التأويل, لأنه موافق لعقيدة أهل السنة والجماعة, حيث لايكفّرون أحدا من أهل القبلة بذنب ما لا يستحلّه, بخلاف الخوارج الذين يستدلون بمثل هذه الأحاديث على تكمير مرتكب الكبيرة. يقول الحافظ ابن حجر كما في "فتح الباري":( لا يدخل الجنة أي في أول وهلة, كما في نظائره)[29]

المبحث الثامن: علاج النميمة[30]

قد وقفنا على أسباب وبواعث النميمة, وادركناآثرها الضارة, وعواقبها الوخيمة, فإنه يسهل أن نرسم طريق الوقاية, والعلاج,وتتلخص في الخطوات التالية:
1.    المبادرة بعدم تصديق النمام, بل زجره, وتخويفه الله والدار الآخرة, فإن ذلك مما يقطع الطريق على النمام, ولايجعله يستمرئ أو يتمادى, ويوقن المسلم أن مثل هذه الخطوة من باب (وأمر بالمعروف وانه عن المنكر).
2.    بغض النمام في الله بغضا ينعكس على السلوك, وعلى طريقة المعاملة, فإن ذلك له أثر كثير في الإقلاع عن هذه الآفة, ولا سيما عند من لديهم بقية من خير أو ذرة من نور.
3.    تربية ملكة تقوى الله, ومراقبته في النفس, فإن هذه الملكة لها دور كبير في التخلص من العيوب والآفات ومن بينهما النميمة, ثم التحلي بالفضائل والمنجيات.
4.    نقاء الوسط الذى يعيش فيه النمام, سواء أكان قريبا كالبيت, أم بعيدا كالمجتمع, فإن المرء ابن بيئته, وكم من أناس طهرت قلوبهم, وزكت جوارحهم واستقاموا على الطريق, بسبب عيشهم في وسط نقي نظيف.
5.    اليقين التام بأن ما عند الله لا ينال بالمعصية, والوقيعة أو الإفساد بين الناس, وإنما ينال بالطاعة والاستقامة, (ولو أنهم فعلوا ما يوعظون به لكان خيرا لهم وأشدّ تثبيتا وإذا لأتيناهم من لدنا أجرا عظيما ولهديناهم صراطا مستقيما)[31]
و سوف نعرف أنّ تعالج النّميمة بما تعالج به الغيبة, وهو إما إجماليّ بأن يعلم النّمّام أنه قد تعرض بها لسخط الله تعالى وعقوبته وأنها تحبط حسناته, وبأن يتدبر المرء في عيوبه و يجتهد في التطهر منها, وأن يعلم أن تأدّي غيره بالغيبة أو بالنميمة كتأديه بها,فكيف يرضى لغيره ما يتأدى به؟
وأما التفسصليُّ فيتلخص في النظر في بواعثها فتقطعها من الأصل, إن علاج العلة إنما يكون بقطع سببها,وألا يعتقد المرء في اخيه سوءا, وأن يبادر إلى التوبة و شروطها..."[32]

المبحث التاسع: ما ينبغي لمن حملت إليه النميمة[33]

قال لإمام النووي: ((وكل من حملت إليه نميمة, وقيل له: فلان يقول فيك, أو يفعل فيك كذا فعليه ستة أمور:
الأول: أن لايصدّقه, لأن النّمام فاسق
الثاني: أن ينهاه عن ذلك,وينصحه, ويقبّح له فعله
الثالث: أن يبغضه في الله تعالى, فإنه بغيض عند الله تعالى ويجب بغض من أبغضه اللهتعالى
الربع: أن لايظن بأخيه الغائب السوء
الخامس: أن لا يحمله ما حكي له على التجسس والبحث عن ذلك
السادس: ما لا يرضاه من هذا النمام فلا يفعله هو
بمعنى أنه لا ينقل ما نقل إليه دون تثبت, حتى لا يقع فيما وقع فيه هذا النمام فيكون مثله

المبحث العاشر: مايباح من النميمة

قال الإمام النواوي رحمه الله: "فإذا دعت حاجة إلى النميمة فلا مانع منها وذلك كما إذا أخبره أن انسانا يريد الفتك به, أو بأهله أو بماله, أو اخبر الامام أو من له ولاية بأن إنسانا يفعل كذا و يسعى بما فيه مفسدة, و يجب على صاحب الولاية الكشف عن ذلك و إزالته, فكل هذا وما أشبهه ليس بحرام, و قد يكون بعضه واجبا و بعضه مستحبا على حسب المواطن, والله اعلم.[34]

المصادر

·        ابن حجر العسقلاني, 1424 ه/ 2004 م, فتح الباري, دار الحديث
·        أبي عيسى محمّد بن عيسى بن سورة, 1429 ه/2009 م,سنن الترمذي, لبنان, دار الفكر
·        أحمد, 1997 م, المنوّر
·        الإمام محي الدين أبى زكريّا يحيا بن شرف النّووى, 1422 ه/ 2001 م,صحيح المسلم بشرح النّووى, القاهرة, دار الحديث    
·        الإمام مسلم, 1431ه/2011م, صحيح مسلم, لبنان, دار الكتب العلمية
·        جامع البيان
·        جلال الدين السيوطى, 1424ه/2003م, الدر المنثور, مركز للبحوث والدراسات العربة والإسلامية
·        الذهبى, الكبائر,دار ابن خلدون
·        سعيد بن على بن وهف القحطانى,1431 ه, آفات اللسان في ضوء الكتاب والسنة
·        السيد محمد نوح, 1407 ه/1987م, آفات على الطريق, دار الوفاء للطباعة والنشر والتوزيع
·        الفيروز آبادي, 1434 ه/2013 م,القاموس المحيط, لبنان, دار الكتب العلمية
·       ندأ أبو أحمد, آفات اللسان


[1],أحمد, المنوّر,1997 م,ص1466
[2]الفيروز آبادي, القاموس المحيط, دار الكتب العلمية, لبنان, الطبعة الرابعة: 1434 ه/2013 م, ص 1174
[3]النووىّ, صحيح مسلم بشرح النووىّ, دار الحديث, القاهرة, الطبعة الرابعة, 1422ه/2001 م, ج 8, ص 405
[4]الحديث أخرجه البخاري في الصحيح: كتاب الصلح: باب ليس الكاذب الذي يصلح بين الناس 3/240
[5]ندأ أبو أحمد, آفات اللسان, ص 4
[6]السيد محمد نوح, آفات على الطريق, دار الوفاء للطباعة والنشر والتوزيع, 1407 ه/1987م, المجلد 3,ص 50
[7]الذهبى, الكبائر,دار ابن خلدون, ص 151
[8]سورة القلم الآية 10-11
[9]ندأ أبو أحمد, آفات اللسان, ص 6
[10]سورة الهمزة الآية 1
[11]جامع البيان,616
[12]جلال الدين السيوطى, الدر المنثور, مركز للبحوث والدراسات العربة والإسلامية,1424ه/2003م, المجلد 15, ص 646
[13]سورة المسد الآية 4
[14]ندأ أبو أحمد, آفات اللسان, ص 5
[15]العضه: فسّره في الحديث بأنه النميمة والقالة بين الناس. وروي (العضة) على وزة عدة وزنة, والعضة: الفرقة, والكذب (المعجم الوسيط:ص 607)
[16]السيد محمد نوح, آفات على الطريق, دار الوفاء للطباعة والنشر والتوزيع, 1407 ه/1987م, المجلد 3,ص 52-56

[18]السيد محمد نوح, آفات على الطريق, دار الوفاء للطباعة والنشر والتوزيع, 1407 ه/1987م, المجلد 3,ص57-61
[19]سورة الزمر الآية22
[20]أبي عيسى محمّد بن عيسى بن سورة,سنن الترمذي 189, 1429 ه/2009 م , لبنان, دار الفكر,المجلد 4, ص
189
[21]سورة فاطر الآية 43
[22]سورة آل عمران الآية 105
[23]السيد محمد نور,آفات على الطريق, المجلد 3,ص57-61
[24]ندأ أبو أحمد, آفات اللسان, ص 6-11
[25]أخرجه الإمام أحمد في المسند 6/459
[26]أخرجه أبو داود, كتلب الأدب, باب في ذو الوجهين, برقم 4873
[27]مصدار السابق, ص 200
[28]الإمام مسلم, صحيح مسلم, دار الكتب العلمية, لبنان,الطبعة الثالثة, 1431ه/2011م, ج 1, ص99
[29]ابن حجر العسفلاني ,فتح الباري, دار الحديث, 1424 ه/ 2004 م, المجلد 10, ص 532
[30]السيد محمد نوح, آفات على الطريق, دار الوفاء للطباعة والنشر والتوزيع, 1407 ه/1987م, المجلد 3,ص 61-62
[31]سورة النساء الآية 66-67
[32]ندا أبو أحمد, آفات لسان, المجلد 4, ص 17
[33]سعيد بن على بن وهف القحطانى, آفات اللسان, ص 36
الإمام محي الدين أبى زكريّا يحيا بن شرف النّووى,صحيح المسلم بشرح النّووى, المجلد 10,ص115      
0