Fitnah merupakan hal yang sangat tidak disukai oleh
siapa pun, terkususnya jika ia menjadi mangsa atau sasaran korban yang terkena
fitnah, terlebih jika tuduhan itu adalah tuduhan zina, yang merupakan dosa
besar yang sangat dimurkai Allah Ta’ala. Fitnah tuduhan zina ini, sudah
dialami sejak dahulu oleh Ummahatul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar istri Rosulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, yang kala itu Aisyah dituduh berzina dengan
salah seorang sahabat Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yaitu
Showan bin Mu’athol. Sanking beratnya tuduhan zina yang dialami oleh Aisyah,
akhirnya Allah Ta’ala mengabadikan kisah ini dalam kitab sucinya,
Al-Qur’an Al-Karim, tepatnya pada surat An-Nuur.
Sebelum bercerita mengenai kisah tuduhan zina yang
dialami oleh Aisyah. Sebaiknya, penting bagi kita untuk mengingat kembali akan
peringatan Allah Ta’ala kepada kita semua, agar senantiasa meneliti
terlebih dahulu berita yang sampai kepada kita, agar kita terhindar dari fitnah
atau tuduhan, seperti yang dilakukan orang-orang munafiq terhadap Aisyah. Allah
Ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن
تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.” (QS.
Al-Hujurat: 6)
Ayat di atas memerintahkan agar
benar-benar meneliti berita yang dibawa oleh orang-orang fasik dalam rangka
mewaspadainya, sehingga tidak ada seorangpun yang memberikan keputusan
berdasarkan perkataan orang fasik tersebut, di mana pada saat itu orang fasik
tersebut berpredikat sebagai seorang pendusta dan berbuat kekeliruan, sehingga
orang memberikan keputusan berdasarkan ucapan orang fasik itu berarti ia telah
mengikutinya dari belakang.[1]
B. PEMBAHASAN
Orang-orang munafik yang tidak
terlepas dari peran utamanya sebagai penyebar fitnah. Maka, tidak heran ketika
kita tidak menteliti terlebih dahulu berita yang dibawa oleh orang-orang
munafik, ternyata tanpa kita sadari kita telah ikut bersamanya dalam peran
utamanya yaitu menyebarkan fitnah sehingga menimbulkan mala petaka bagi setiap siapa
saja yang difitnahnya.
Fitnah dapat menimpa siapa saja,
baik orang kaya maupun miskin, orang muslim maupun orang kafir, orang sholih
maupun orang dzolim, bahkan istri seorang laki-laki yang sangat mulia di muka
bumi ini pun tidak terlepas dari yang namanya fitnah, ialah Ummul Mukminin
Aisyah. Beliau dituduh berzina dengan Showan bin Mua’thol oleh sang
munafik Abdullah bin Ubay bin Salul. Karena
besarnya fitnah yang di alami Aisyah, sampai-sampai Allah Ta’ala
mengabadikan kisah beliau dalam Al-Qur’an.
Allah Ta’ala
berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ جَاؤُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرّاً لَّكُم
بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُم مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ
وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira
bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.
Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya.
Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam
penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”(QS. An-Nuur: 11)
Ayat diatas turun berkenan dengan Umumul
Mukminin Aisyah[2] yang
dituduh berzina oleh Abdullah bin Ubay bin Salul, hingga Rosulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam mendiamkan Aisyah hingga berbulan bulan. Bermula dari
undian, yang biasa dilakukan Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
untuk memilih salah satu dari istri beliau untuk mengikuti peperang bersamanya.
Maka bertepatan pada undian tersebut, keluarlah nama Aisyah. Maka ketika itu
Aisyah ikut keluar menyertai Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
Peristiwa itu terjadi setelah turunnya perintah berhijab. Kemudian Aisyah
dibawa di atas sekedup dan bermalam dalam sekedup. Maka ketika menempuh
perjalan akhirnya Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kembali, ketika
hampir mendekati kota Madinah, beliau memerintahkan rombongan agar bergerak
pada malam hari. Ketika itu Aisyah keluar dari sekedupnya dan berjalan hingga
menjauhi rombongan (untuk buang hajat). Setelah menyelesaikan hajat Aisyah pun
kembali menuju tempat sekedupnya tadi berhenti, di tengan perjalan ternyata
Aisyah sadar bahwasanya kalung dari akar zhafar yang ia kenakan hilang. Ia pun
mencarinya hingga bertahan di tempat karena lama mencarinya. Dan ternyata
tanpaia sadari rombongan yang bersama nya tadi telah pergi.
Pada saat itu kaum wanita sangat
ringan bobotnya, tidak berat dan tidak gemuk, mereka hanya makan sedikit saja.
Mereka tidak mencurigai berat sekedup yang bertambah ringan ketika mereka
membawa dan mengangkatnya. Ketika itu Aisyah adalah seorang gadis muda belia.
Mereka mengiring unta dan berjalan. Lalu akhirnya Aisyah menemukan kalungnya
setelah rombongan bergerak jauh. Aisayah mendatangi tempat perhentian tadi,
tidak seorangpun ada disitu. Aisyah mencari-cari tempatnya semula disitu. Ia
mengira rombongannya pasti akan kembali untuk mencarinya.
Ketika aisyah menunggu di tempatnya,
akhirnya rasa kantuk menimpanya sehingga ia tertidur pulas. Ketika Aisah
tertidur datang seorang sahabat Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
ia berperan sebgai penyapu jejak rombongan, ketika itu ia melihat Aisyah,
karena sebelum turunny ayat hijab Sofwan pernah melihat wajah Aisyah, dan
ketika itu Sofwan terkejut dan langsung mengucapkan kalimat istirja’ dan ketika
Sofwan mengucapkan kalimat istirja’ Aisyah tekejut dan terbangun dan lengsung
menutupi wajahnya. Dan ketika itu Sofwan langsung memerintahkan ibunda Aisyah
untuk naik di atas untanya, selama perjalanan sepatah kata pun tidak ada keluar
dali mulut Sofwan bin Mu’athol.
Aisyah jatuh sakit saat setelah satu
bulan di Madinah, sementara orang ramai membicarakan ahlul ifki, sedang
Aisyah tidak mengetahui sama sekali mengenai hal ini. sebenarnya Aisyah telah curiga
akan kelembutan Rosul yang hilang selama ia sakit. Dan di suatu ketika Aisyah ingin
bung hajat dan ditemani oleh Ummu Misthoh, ia yang menemani Aisyah untuk buang
hajat, karena pada masa itu kebiasaan bangsa Arab bung hajat di tengah padang
pasir. Ummu Misthoh adalah putri Rahm bin Mutholib bin ‘Abdi Manaf, ibunya adalah
puteri Shakhr bin ‘Amir, bibi dari Abu Bakar Ash-Shiddiq. Puteranya bernama
Misthih bin Utsasah bin ‘Abad bin ‘Abdul Mutholib. Maka ketika Aisyah selesai
buang hajat, tiba-tiba Ummu Misthoh terpeleset, dan tidak sadar mengucapkan “Celaka
Misthoh”. Maka ketika itu Aisyah terkejut dan langsung bertanya kepada Ummu
Misthoh, “Mengapa engkau berkata seperti itu?”, dan akhirnya Ummu
Misrhoh menceritakan apa sebenarnya yang terjadi selama ia sakit yaitu mengenai
tuduhan ahlu ifki. Semnenjak Aisyah mendengan kabar itu, sakit Aisyah bertambah
parah dari yang sebelumnya.
Setelah itu Aisyah minta izin kepada
Rosul untuk menjumpai orang tuanya, untuk menanyakan kebenaran mengenai berita
tersebut, maka Aisyah berkata: “Wahai ibunda, mengapa orang-orang
membicarakannya?” ibunya berkata: “Wahai putriku, sabarlah. Demi Allah
Ta’ala, jarang sekali seorang wanita cantik yang di cintai suaminya dan di madu
melainkan madu-madunya itu pasti madunya itu banyak menggunjing dirinya.” Kemudian
Aisyah berkata: “SubahanAllah Ta’ala, berarti orang-orang telah
membicarakannya.”
Setelah Aisyah mendengar kabar
tersebut, Aisyah terus menangis dari malam hingga pagi hari, hingga ia tidak
tidur karena menangis sepanjang malam. Kemudian Rosulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam memanggol Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid ketika
wahyu terputus. Beliau meminta pendapat mereka berdua tentang masalah
perceraian denganku. Adapun Usamah bin Zaid mengusulkan kepada beliau agar
menangguhkannya karena ia mengetahui bersihnya istri beliau dari tuduhan
tersebut dan juga karena ia mengetahui bersihnya istri beliau dari tuduhan dan
juga karena ia tahu bagaimana kecintaan mereka kepada beliau. Usamah berkata:
“Wahai Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, kami tidak menetahui dari
keluarga engkau, melainkan kebaikan.”
Adapun Ali bin Abi Thalib, ia
berkata: “Wahai Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, janganlah
engkau dibuat sempit karenanya, masih banyak wanita-wanita lain selain dia.
Tanyakan saja kepada budak wanitanya, niscaya ia akan membenarkanmu.” Maka Rosulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memanggil Barirah dan bertanya: “Hai
Barirah apakah melihat sesuatu yang mencurigakan pada diri Aisyah?” Barirah
berkata: “Demi Allah Ta’ala yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran,
aku tidak pernah melihat sesuatu yang tercela darinya, hanya saja ia adalah
seorang gadis belia yang pernah ketiduran saat menjaga adonan roti milik
keluarganya, lalu datanglah kambing memakannya.”
Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam bangkit dan meminta pembelaan dari tuduhan Abdullah bin Ubay bin
Salul. Beliau berkata di atas mimbar: “Siapakah yang sudi membelaku dari
tuduhan seorang lelaki yang telah menyakiti
keluargaku? Demi Allah Ta’ala, aku tidak mengetahui tentang keluargaku
kecuali kebaikan. Dan mereka juga menuduh seorang laki-laki yang sepanjang
pengetahuanku adalah orang yang baik-baik, ia tidaklah datng menemui keluargaku
kecuali bersamaku.”
Maka, bangkitlah Sa’ad bin Ubadah,
ia adalah pemimpin suku Khazraj, ia adalah seorang laki-laki sholih, akan
tetapisaat sentimennya bangkit, ia berkata kepada Sa’ad bin Mu’adz: “Engkau
dusta, demi Allah Ta’ala, engkau tidak akan membunuhnya dan tidak sanggup
membunuhnya, kalaulah oranh itu dari sukumu tentu engkau tidak akan mau ia di
bunuh.”
Bangkitla Usaid bin Hudhair, ia
adalah keponakan Sa’ad bin Mu’adz dan berkata kepada Sa’ad bin Ubadah: “Engkaulah
yang dusta, demi Allah Ta’ala, kami akan membunuhnya, engkau munafik dan
membela seorang munafik.”
Maka ributlah kedua suku Aus dan
Khazraj hungga nyaris terjadi baku hantam, sementara Rosulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam berada di atas membar. Beliau berusaha menenangkan hingga
mereka dian dan Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pun diam.
Sedangkan saat itu Aisyah terus menangis,
air matanya terus berlinang tanpa henti dan juga tidak tidur, sampai-sampai
kedua orangtua Aisyah khawatir jikalau tangisannya dapat mengakibatkan
terbelahnya jantungnya.
Ketika kedua orang tuanya berada
disisinya sementara Aisyah terus berlinangan air mata, tiba-tiba datanglah
seorang wanita Anshor. Setelah Aisyah mengizinkan nya untuk masuk, akhirnya
wanita Anshor tadi nangis bersamanya. Ketika mereka dalam kondisi demikian,
tiba-tiba Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam datang kemuadian duduk
di samping Aisyah. Beliau belum pernah duduk di samping Aisyah semenjak tuduhan
terhadap Aisyah mencuat ke permukaan. Sudah sebulan lamanya wahyu tidak turun
kepada beliau tentang kasus yang menimpa Aisyah. Kemudian Rosulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda kepada Aisyah: “Jika engkau tidak bersalah,
maka Allah Ta’ala pasti menurunkan pembebasan dirimu. Namun, jika engkau telah
melakukan perbuatan dosa, maka mohon ampunlah kepada Allah Ta’ala dan
bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya apabila seorang hamba mengakui dosanya
lalu bertaubat, niscaya Allah Ta’ala akan menerima taubatnya.”
Setelah beliau mengutarakan hal itu,
air mata Aisyah berhenti hingga tidak setetes pun mengalir. Kemudian Aisyah
berkata kepada ayahnya: “Wahai ayah, jawablah perkataan Rosulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam!” Ia berkata: “Demi Allah Ta’ala aku tidak tahu harus berkata
apa kepada Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.”
Kemudian Aisyah berkata kepada
Ibunya: “Jawablah perkataan Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam!”,
kemudian ibunya Aisyah berkata: “Demi Allah Ta’ala, aku tidak tahu harus
berkata apa kepada Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.”
Ketika ibu dan ayah tidak tahu harus
berkata apa kepada Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ia bingung dan
Aisyah berkata: “Aku hanya seorang gadis yang masih muda belia, aku tidak
banyak membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Demi Allah Ta’ala, sungguh akau tahu bahwa
kalian telah mendengar ceritanya hingga merasuk ke dalam jiwa kalian dan kalian
membenarkannya. Kalaulah aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah, Allah
Ta’ala maha tahu kalau aku tidak berslah, tentu kalian tidak akan
mempercayaiku. Sekiranya aku mengakui tuduhan itu, Allah Ta’ala maha tahu bahwa
aku tidak bersalah, tentu kalian mempercayainya. Demi Allah Ta’ala aku tidak
menemuai perumpamaan diriku kecuali sepeti apa yang di katakan oleh ayah yusuf,
فَصَبْرٌ
جَمِيلٌ وَاللّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ
‘Maka kesabaran yang baik itulah
(kesabaranku). Dan Allah Ta’ala maha sajalah yang dimohon pertolongan-Nya
terhadap apa yang kamu ceritakan.’ (QS.Yusuf: 18)”
Kemudian, ia pergi kekamarnya dan
berbaring di tempat pembaringannya. Demi Allah Ta’ala, dan ia tetap
sabar dan yakin pasti Allah Ta’ala akan membantu nya dalam masalah ini.
Maka akhirnya Allah Ta’ala menurunkan wahyunya kepada Rosulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam mengenai Aisyah, tatkala Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam menerima wahyu, maka hilanglah kesusahan itu dari beliau, lalu
beliau tersenyum. Kalimat pertama yang beliau ucapkan adalah: “Sambutlah
kabar gembira wahai Aisyah, Allah Ta’ala tellah menurunkan pembebasan dirimu,” Kemudian
ibu Aisyah berkata: “Bangkit dan sambutlah Rosulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam.” Aisyah berkata: “Demi Allah Ta’ala, akua tidak akan
bangkit menyambutnya dan aku tidak akan memuji kecuali Allah Ta’ala semata,
Dia-lah yang telah menurunkan pembebasan atas diriku.” Lalu Allah Ta’ala
menurunkan ayat-Nya:
إِنَّ
الَّذِينَ جَاؤُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ
“Sesungguhnyorang-orang yang membawa
berita bohong itu adalah dari golonganmu juga,” sebanyak
sepuluh ayat. Setelah Allah Ta’ala menurunkan ayat yang berisi
pembebasan atas diri Aisyah, Abu Bakar, yang dahulu memberikan nafkah untuk
Misthoh bin Utsatsah kerena masih kerabat dan fakir, berkata: “Demi Allah
Ta’ala aku tidaka akan memberikan nafkah lagi kepadanya selama-lamanya setelah
ia menuduh Aisyah.”[3] Lalu Allah
Ta’ala menurunkan ayat-Nya:
وَلَا
يَأْتَلِ أُوْلُوا الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُوْلِي الْقُرْبَى
وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا
وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang
mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak)
akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabatnya, orang-orang yang miskin dan
orang-orang yang berhijroh pada jalan Allah Ta’ala, dan hendaklan mereka
memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah Ta’ala memaafkan
dirimu? Dan Allah Ta’ala maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS.
An-Nuur: 22)
Abu Bakar berkata: “Demi Allah
Ta’ala, aku ingin Allah Ta’ala mengampuni diriku.” Beliau kembali
memberikan nafkah kepada Misthoh bin Utsatsah seperti yang dahulu pernah
diberikannya. Kemudian Abu Bakar berkata; “Demi Allah Ta’ala, aku tidak akan
mencabut nafkah tersebut selama-lamanya.”
Aisyah berkata: ‘Rosulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam pernah bertanya kepada Zainab binti Jahsy, salah seorang istri
nabi, tentang diriku Rosul berkata: ‘Hai Zainab, apa yang engkau ketahui dan
dengar tentangnya?’, Ia menjawa: ‘Wahai Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam, aku menjaga pendengaran dan pengelihatanku. Demi Allah Ta’ala, aku
tidak mengetahui tentangnya kecuali kebaikan.’Hanya dialah satu-satunya dari
istri Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang membela diriku, lalu Allah
Ta’ala memelihara dirinya dengan sifat wara’. Namun saudaranya yakni Hamnah
binti Jahsy terus membantah dirinya hingga ia termasuk dalam golongan
orang-orang celaka.”
Ibnu Syihab berkata: “Inilah kisah
tentang peristiwa ahlul ifki.” Kisah ini diriwayatkan oleh Bukhori[4] dan
Muslim[5] dalam
shohih mereka, dari hadits Az-Zuhri.
Dalam riwayat Tirmidzi[6]
disebutkan nama-nama mereka yang dihukum, yaitu Hasan bin Tsabit, Misthoh bin
Utsatsah dan Hamnah binti Jahsy, Wallahu’alam.
Dari peristiwa hadits al-ifki ini,
banyak hikmah dan hukum-hukum sekitar fiqih yang dapat kita ambil pelajaran.[7] Diantara
beberapa fadhilah, hukum serta pelajaran dari peristiwa ifki ini adalah:
A.
Basyariyah
(sifat kemanusian) Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
Ujian
ifki datang sebagai bagian dari hikmah ilahiyahyang bertujuan untuk
memperlihatkan sakhsiyah (kepribadian) Nabi yang jernih dan terbebas dari
segala sesuatu yang terkadang
mencampurinya. Andaikata wahyu itu merupakan sesuatu yang bersipat
sepontandan tidak terkait dengan kepribadian nabi, tentulah beliau tidak akan
menjalani (mengalami ujian tersebut dengan seluruh) dimensinya selama satu
bulan penuh. Akan tetapi, hakikat yang nampak pada manusia melalui ujian ini
adalah terlihat basyariyah (sifat
kemanusiaan) dan kenabian beliau. Ketika ditetapkannya wahyu yang beredar
seputar kodisi Ummahatul Mukminin, Aisyah, maka air itupun kembali lagi ke
tempat alirannya semula, antara dirinya dan Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam. Seluruh orang pun bergembira dengan akhir kesudahan ini setelah
penderitaan keras yang mereka alami. Yang demikian itu menunjukan hakikat
sebuah wahyu, dan andaikata persoalan itu tidak datang dari sisi Allah
Ta’ala tentulah bencana ujian itu akan terus ada di dalam wajah Rosulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam dengan sifat yang khusus, yang akan berpengaruh pada
perilaku beliau terhadap istrinya, Aisyah. Begitulah Allah Ta’ala
berkehendak manjadikan ujian ini sebagai bukti besar atas kenabian Muhammad.
B.
Haddul
Qadzaf (hukuman hudud bagi penuduh zina) dan urgensinya dalam manjaga
kehormatan kaum muslimin
Masyarakat islam dididik melalui berbagai cara. Katika terjadi
peristiwa ifki, Allah Ta’ala hendak mensyariatkan beberapa hukum yang
akan ikut berperan dalam menjaga kehormatan kaum mukminin. Oleh karena itulah,
di turunkan surat An-Nuur yang membicarakan tentang hukuman pezina laki-laki maupun perempuan , buruknya
kekejian zina, apa yang harus di lakukan seorang hakim ketika suami istri
saling menuduh pasangannya, hukuman yang Allah Ta’ala telah tetapkan
bagi orang-orang yang menuduh wanita baik-baik melakukan zina dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, dan hukuman-hukuman yang lainya.
Sesungguhnya
islam telah mengharamkan zina dan mewajibkan hukuman atas diri pelakunya. Islam
juga mengharamkan seluruh sebab yang dapat menyebabkan zina dan seluruh jalan yang dapat menghantarkan
kepada perbuatan zina tersebut. Di antaranya adalah menyebarkan berita
perbuatan keji dan menuduhkannya guna membebaskan sebuah masyarakat dari
beredarnya lafadz-lafadz keji dan pembicaraannya tentangnya. Karena, banyaknya
pembicaraab tentang kekejian zina dan kemudahan untuk memperbincangkannya di
setiap waktu akan menjadikannya remeh perseolannya pada siri orang yang
mendengarnya dan membuat berani
orang-orang yang lemah jiwanya untuk melakukan perbuatan zina tersebut. Oleh
karena itulah, syari’at islam mengharamkan tuduhan zina dan mewajibkannya
menegakkan haddul qadzaf atas diri orang yang telah menuduh berzina laki-laki
maupun wanita yang baik, sucu lagi terbebas dari perbuatan zina . yaitu, didera
(dicambuk) sebanyak delapan puluh kali cambukan dan tidak diterima persaksian
darinya kecuali setelah ia taubat yang jujur lagi murni (taubat nasuha).
Rusulullah telah menegakkan haddu qadzaf ini atas diri Misthoh bin
Utsatsah , Hasan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy. Muhammad bin Ishaq dan
selainnya meriwayatkan bahwa nabi telah mencambuk dua orang laki-laki dan satu
orang perempuandalam peristiwa ifki tersebut. Yaitu, Misthoh bin Utsatsah, Hasan
bin Tsabit dan Hamnah bintu Jashsy.
Dalam
tafsir Ath-Thobari dikatakan bahwasanya Abdullah bin Ubay lah yang paling berat
mendapat siksa dibanding Misthoh bin Utsatsah, Hasan bin Tsabit dan Hamnah
bintu Jashsy, dikarenakan tidak adanya pengakuan dari dirinya, sehingga ia
lepas dari haddul qodzaf.[8]
Al-Qurtubi
berkata, “kabar yang masyhur dan ma’ruf dikalangan para ulama bahwa yang
dijatuhi hukuaman hudud adalah Hasan,
Misthoh dan Hamnah.namuntidak pernah di dengar hukuman untuk Abdullah bin Ubay
bin Salul.”[9]
Ibun Qoyim telah menyebutkan sisi hikmah tidak di hududnya Abdullah
bin Ubay. Dia mengatakan:
1.
Hukum
hudud merupakan takhfif (peringatan) dan kafarah (penghapus) dosa dari diri
pelakunya. Sementara orang yang buruk tidak berhak menerima hal itu. Allah
Ta’ala telah menjanjikan untuk dirinya dengan adzab yang besar di akhirat
dan mencukupkannya dari hukuman hudud.
2.
Dia
(Ibnu Ubay) mengumpulkan, menceritakan dan memunculkan berita dusta tersebut di
tengah orang-orang yang tidak menuduh dirinya.
3.
Hukuman
hudud tidak ditetapkan melainkan dengan pembuktian atau pengakuan. Sedangkan
Ibnu Ubay tidak mengaku menuduh dan tidak ada seorang pun yang memberikan
kesaksian atas dirinya. Dan dia tidak menyampaikannya dikalangan orang-orang
mukmin.
4.
Nabi
tidak menghududnya karena adanya suatu kemaslahatan yang lebih besar dari pada
menegakkan hukuman hudud atasnya. Sebagaimana, tidak nabi membunuhnya meski
terlihat kemunafikan pada dirinya serta ucapannya yang sering kali mengharuskan
ia untuk dibunuh. Yang demikian itu merupakan bentuk kelembutan kepada kaumnya
agar mereka tidak lari dari agama islam. Kemudian ia berkata pada akhir
ucapannya, “Barang kali ia tidak dihudud dikarenakan keseluruhan sisi-sisi
ini.”
C.
PENUTUP
Dari peristiwa ifki yang menimpa Aisyah, kita dapat mengambil berbagai
hikmah serta hukum-hukum fiqih yang dapat kita pelajari, hukum fiqih yang
sangat menonjol di sini adalah mengenai haddul qodzaf. Dari hukum ini dapat
kita ambil kesimpulan bahwasanya, siapa saja yang memfinah laki-laki maupun
wanita baik-baik berzina maka hukuman delapan puluh jilid baginya, jika ia
mengakui kesalahnynya. Akan tetapi, jika ia tidak mengakui kesalahnya, maka
hukuman jilid jatuh atasnya, dan jika ia berbohong dalam persaksiannya, maka Allah
Ta’ala lah yang akan menghukumnya dengan hukuman yang dahsyat tentunya.
D.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah
bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. 2008. Tafsir Ibnu Katsir.
terj. Muhammad Abdul Ghoffar dan Abu Ihsab Al-Atsari. Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i
Alqur’an
Al-Karim Terjemahan Depertemen Agama RI 2006
Imam
Bukhori. Shohih Al-Bukhori. 2011. Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah
Imam
Muslim. Shohih Muslim. 2011. Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah
Imam
Tirmidzi. 2015. Sunan At-Tirmidzi. Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah
Qurthubi,
Al-, Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshory. 2010. Tafsir Al-Qurtubi.
Lebanon: Daar Al-Kutub Al- Ilmiyah
Shollabi, Ash-, Ali Muhammad. 2014. Sirah
Nabawiyah. Surakarta: Insan Kamil
Thobary,
Ath-, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir. 2009. Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili
Al-Qur’an Tafsir Ath-Thobari. Kairo: Daar Al-Islam
Zuhaili, Az-, Wahbah. 2011. Tafsir Al-Munir Fil Aqidah Wa
Asy-Syari’ah. Damaskus: Daar Al-Fikri
[1]
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir
Ibnu Katsir, terj. Muhammad Abdul Ghoffar dan Abu Ihsab Al-Atsari,
(Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008), jild. 9, hlm. 107
[2]
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin
Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Muhammad Abdul Ghoffar dan
Abu Ihsab Al-Atsari, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008), jild. 6, hlm.
14-20
[3] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Fil Aqidah Wa Asy-Syari’ah,
(Damaskus: Daar Al-Fikri, 2011), jild. 9, hlm. 510
[4] Imam Bukori, Shohih Al-Bukhori,
(Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), jild. 3, hlm. 242-246, Kitab: Tafsir,
Bab: Innaladzina Jaau bil Ifki, no. Hadits. 4750
[5] Imam Muslim, Shohih Muslim, (Beirut:
Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), jild. 4, hlm. 276, Kitab: Taubah, Bab: Hadits
Al-Ifki, no. Hadits. 2770
[6] Imam Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Beirut: Daar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 2011), hlm.736, Kitab: Tafsir Al-Qur’an, Bab: Surat An-Nuur, no.
Hadits: 3180
[7]
Ali Muhammad Ash-Shollabi, Sirah Nabawiyah, cet-1,
(Surakarta: Insan Kamil, 2014), hlm: 818-820
[8]
Abi Ja’far
Muhammad bin Jarir Ath-Thobary, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Al-Qur’an Tafsir
Ath-Thobari, (Kairo: Daar Al-Islam, 2009), jild.7, hlm. 5996
[9]
Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshory Al-Qurthubi, Tafsir
Al-Qurtubi, (Lebanon: Daar Al-Kutub Al- Ilmiyah), jild. 2, hlm. 133