A. Definisi
1.
Media Sosial
Media sosial
adalah sebuah media online dengan para
pengguna dapat berpartisipasi, berbagi, dan
menciptakan isi dalam blog,
jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki
merupakan bentuk media sosial yang paling umun digunakan oleh masyarakat di
seluruh dunia.[1]
Menurut Andreas Kaplan dan Michael Haenlein, media sosial adalah sebuah kelompok
aplikasi berbasis internet yang dibangun atas dasar
ideologi dan teknologi web 2.0, dan yang memungkinkan
penciptaan dan pertukaran user-generated content.[2]
Sedangkan menurut Teri Gamble dan Michael Gamble, ciri-ciri media sosial adalah sebagai berikut:[3]
1.)
Pesan yang
disampaikan untuk satu orang atau lebih. Contohnya pesan
melalui SMS ataupun internet.
2.)
Pesan yang
disampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper.
3.)
Pesan yang
disampaikan cenderung lebih cepat dibanding media lainnya.
4.)
Penerima pesan
yang menentukan interaksi.
2.
Meng-update
Dalam kamus
Oxford kata update didefinisikan sebagai kegiatan memberi informasi
paling terkini tentang sesuatu kepada seseorang.[4]
Bahasa ini kemudian diadopsi oleh Bahasa Indonesia dengan memberi kata imbuhan ‘meng’. Bagi
pengguna medsos, istilah ini tidaklah asing. Karena kegiatan seseorang di media
sosial tidak lepas dari menyebarkan berbagai informasi terkini dari yang mereka
dapatkan.
B.
Sejarah Media
Sosial
Media sosial bermula dari sebuah evolusi dari
manipulasi dasar system telekomunikasi pada akhir tahun 1950-an. Di era
tersebut muncul The Phreaking yang mengubah teknologi telepon dari perangkat
statis sederhana ke sebuah tenaga dinamis alami. Kemudian berevolusi lagi
menjadi media elektronik bernama Bulletin Board System yang diprakarsai oleh
Ward Christensen yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya World Wide Web,
Sosial Network dan aspek lainnya dalam internet.[5]
Contoh media sosial yang telah berkembang hari ini adalah: facebook, twitter, instagram, whatsapp, dan
lain-lain. Dengan jutaan penggunanya di seluruh dunia.
C. Dasar
Hukum
Dalam menghukumi media sosial ini penulis menitik beratkan pada virus
suka update status di media sosial terutama status yang menjurus kepada
kemaksiatan. Maka dalam hadits telah dijelaskan bahwa orang yang suka
menceritakan kemaksiatannya tidak akan mendapatkan ampunan.
Hadits dari Abu Huroiroh Ra., Rosulullah SAW. bersabda:
كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافًى إِلَّا المُجَاهِرِيْنَ،
وَ إِنَّ مِنَ المُجَا هَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ
يُصْبِحَ وَ قَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ، فَيَقُوْلُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ
البَرِحَةَ كَذَا وَ كَذَا، وَ قَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَ يُصْبِحُ
يُكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ.
Artinya: “Setiap
umatku itu dimaafkan, kecuali orang-orang yang muhajir (suka
menampakkan-nampakkan kejahatan/maksiatnya sendiri dengan rasa bangga, atau
melakukan maksiat di depan umum, tahu jika salah tetapi dia terus melakukan
maksiat tersebut). Sesungguhnya (termasuk) muhajir ialah jikalau seorang
melakukan sesuatu perbuatan dosa di waktu malam, kemudian di pagi hari,
sedangkan Allah telah menutupi keburukannya itu, tiba-tiba ia berkata –pada
pagi harinya-: ‘Hai Fulan, saya tadi malam melakukan demikian, demikian.’ Orang
itu diberikan kepadanya itu”. (HR: Bukhori)[6]
Ampunan dan keselamatan harga dirinya tidak
dapat diraih oleh para penyiar kemaksiatannya sendiri.[7]
Demikianlah gambaran singkat orang yang menyebarkan status tentang perbuatannya
sendiri di media sosial.
D. Hukum
Media Sosial Menurut Prespektif Islam
Media sosial bersifat duniawi. Maka Allah
telah memberikan legalitas kepada para hambanya untuk dimanfaatkan sesuai
koridor syar’i. Ia berfirman:
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ
جَمِيعٗا ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَٰوَٰتٖۚ
وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٩
“Dialah Allah,
yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu”. (QS, Al-Baqoroh: 29)
Menurut Imam Ath-Thabari makna ayat
tersebut adalah Allah menciptakan segala hal di bumi-Nya disertai dengan kemanfaatan untuk umat manusia. Adapun dalam konteks keagamaan ayat tersebut merupakan bukti kekuasaan Allah SWT. Sedangkan dalam konteks duniawi ia merupakan dalil bahwa bumi adalah tempat mencari penghidupan dan tempat untuk menunaikan ketaatan manusia terhadap Rabb-nya.[8]
Dalam sebuah kaidah
fiqih disebutkan bahwa hukum
sarana adalah mubah (boleh).[9]
Akan tetapi, hukum menggunakannya bisa berubah sesuai dengan
maksud penggunanya. Kaidah tersebut ialah:
الوَسَائِلُ لَهَا
أَحْكَاُم الْمَقَاصِدِ
“Setiap sarana memiliki hukum dari maksud yang
dicapai.”[10]
Maknanya adalah bahwa setiap perbuatan yang
menghantar kepada suatu maksud, hukumnya berbeda-beda tergantung hukum dari
maksud yang dituju. Maka jika maksud yang
hendak dituju wajib, maka hukum sarana menuju ke hal tersebut adalah wajib.
Jika maksudnya haram, maksud sarananya juga haram. Apabila Sunnah, perbuatan
menuju ke hal tersebut pun Sunnah. Begitu pula jika maksudnya makruh (dibenci),
maka untuk menuju ke hal itu pun hukumnya makruh. Juga sarana menuju hal
yang mubah (boleh), hukumnya pun mubah.[11]
Kaidah di atas bersifat umum untuk semua amalan, baik taklifi maupun
tidak. Maksud sarana di atas adalah jalan yang dengan perkara atau amalan
tersebut menghantarkan kepada perkara lain yang di dalamnya ada maksud
tertentu. Maka jika maksud yang hendak dituju wajib, maka wasilah yang ditempuh
pun wajib hukumnya. Begitu pula dengan maksud yang dituju lainnya, baik haram, mustahab
(Sunnah), mubah (boleh), makruh (dibenci).[12]
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa media sosial dihukumi seperti
hukum asalnya, yaitu mubah. Akan tetapi, sebagai sarana komunikasi dan
informasi, hukumnya bisa berubah tergantung maksud yang hendak dicapai dari
keduanya.
E. Bentuk-Bentuk
Update Status Di Media Sosial Beserta Hukum Masing-Masing
1.
Status berdakwah
Dalam konteksnya
berdakwah merupakan hal yang wajib dilakukan oleh setiap muslim.[13]
Karena di dalamnya ada tuntutan untuk
ber-amar ma’ruf nahi mungkar, yaitu mengajak kepada kebaikan dan
mencegah kepada kemungkaran. Sebagaima perintah Allah SWT dalam surat Ali Imron
ayat 104,
“Dan hendaklah
ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.”
Dakwah yang dimaksud oleh ayat di atas adalah
dakwah yang menunjukkan kepada keimanan, mendorong kepada kebaikan, dan
memotivasi untuk bersyukur terhadap nikmat Alah SWT. Selain itu dakwah tersebut harus mencegah dari perbuatan yang dilarang
oleh syari’at.[14]
Menurut Syaikh Muhammad
Al-Utsaimin, media sosial yang digunakan sebagai sarana dakwah dihukumi mubah
(boleh). Artinya dakwah dalam media sosial harus selaras dengan syariat dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta dalil-dalil Syar’i lainnya.[15]
2.
Status informasi atau berita
Hadirnya media sosial juga
berfungsi menggantikan peran
media massa konvensional dalam menyebarkan berita-berita. Informasi yang
disebarkan melalui komunitas sosial yang memiliki minat dan cara berpikir
serupa akan berfungsi selaku penyaring antara berita yang relevan dan yang
tidak relevan. Ini sangat membantu, namun kemudahan mendapatkan informasi
justru menjadikan pengguna internet mengalami fenomena Information overload
(terlalu banyak informasi).[16]
Begitulah alasan banyaknya berita dan informasi yang tersebar di media sosial.
Akan tetapi mayoritas dari berita-berita itu tidak dapat dikonfirmasi
kebenarannya. Berita tersebut bisa jadi salah, dan bisa jadi benar. Padahal
ulama’ umat ini sangat melemahkan riwayat (berita) yang dzatnya
diketahui namun keadaannya buta alias tidak dapat diketahui.[17]
Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ
إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ
فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.” (QS.
Al-Hujurot: 6)
Maksud dari ayat di
atas, bahwa setiap berita yang didapat hendaknya dicari kredibilitas berita
tersebut, mengecek sumbernya dan mengenali dengan pasti pembawa berita tersebut
supaya pasti kebenarannya. Hal inilah yang disebut Islam sebagai tabayyun.
Yang artinya seseorang hendaknya mengenali berita yang didapatnya dan mengeceknya.
Selain itu juga mencari kemaslahatan dari berita tersebut sebelum
menyebarkannya ke khalayak sejelas mungkin.[18]
Dari dalil di atas,
mengecek kebenaran berita yang didapat hukumnya wajib. Hal itu harus dilakukan
sebelum berita itu disebarkan lewat status di medsos. Jika sudah jelas
kebenarannya, maka tidak masalah menyebarkannya. Akan tetapi jika sulit mencari
kejelasannya, maka sikap tawaquf (menahan diri untuk tidak
menyebarkannya) itu jauh lebih baik. Karena Rosulullah SAW bersabda:
“Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta
ketika ia membicarakan semua hal yang didengarnya.” (HR. Muslim)[19]
Selain efek dicap sebagai pendusta,
menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya, tanpa disadari akan
mengkibatkan tersakitinya individu atau kelompok.[20]
3.
Status keadaan diri yang bersifat pribadi
Seakan virus yang
menyebar luas, munculnya media sosial hari ini menjadi ajang bagi netizen
(masyarakat dunia maya) untuk mengekspresikan keadaan diri mereka dengan status.
Bentuk status itu ada berbagai macam. Mulai dari yang berkaitan dengan
kemaksiatan ataupun perkara yang kurang memiliki faedah. Berikut penjelasan
singkatnya:
a. Update perkara yang bukan kemaksiatan
Banyak
contoh pengguna medsos yang gemar meng-update status kegiatannya. Bahkan
sampai kegiatan ibadahnya pun di bagikan ke laman akun medsos-nya. Misalnya
saja status yang mengabarkan bahwa penulisnya sedang dalam perjalanan ke suatu
tempat. Atau ia baru saja
mengerjakan sholat Sunnah. Lalu setelah status itu terpublikasi di medsos, maka
banyak orang yang akan tertarik untuk meninggalkan komentar untuknya. Dalam
komentar tersebut tidak akan lepas dari saling membalas komentar yang ada.
Akibatnya banyak orang yang menghabiskan waktunya hanya untuk melayani komentar
demi komentar. Bahkan sampai ada yang melupakan kewajiban-kewajibannya. Allah
SWT berfirman:
فَوَيۡلٞ
لِّلۡمُصَلِّينَ ٤ ٱلَّذِينَ
هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ ٥
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu)
orang-orang yang lalai dari shalatnya” (QS. Al-Ma’un: 4-5)
Ketika Rosulullah SAW ditanya perihal ayat
di atas, maka beliau bersabda: “Menyia-nyiakan waktu.”. (HR. Baihaqi)[21].
Maka betapa banyak orang yang berlaku demikian akibat kecanduan media sosial.
Padahal kelak Allah SWT akan meminta pertanggung jawaban dari manusia tentang
waktunya.[22]
Oleh sebab itu, terlalu banyak menyia-nyiakan waktu dengan media social, akan
mengubah hukum medsos menjadi haram, begitu pula status semacam itu.
b.
Update perkara yang
bersifat kemaksiatan
Menyiarkan kemaksiatan
sendiri dengan meng-update status di medsos sama halnya dengan mengumbar
aib pribadi. Padahal Rosulullah SAW telah melarang umatnya untuk menyebarkan
aibnya sendiri. Beliau bersabda:
“Setiap umatku
itu dimaafkan, kecuali orang-orang yang mujahir (suka menampakkan-nampakkan
kejahatan/maksiatnya sendiri dengan rasa bangga, atau melakukan maksiat di
depan umum, tahu jika salah tetapi dia terus melakukan maksiat tersebut).
Sesungguhnya (termasuk) mujahir ialah jikalau seorang melakukan sesuatu perbuatan
dosa di waktu malam, kemudian di pagi hari, sedangkan Allah telah menutupi
keburukannya itu, tiba-tiba ia berkata –pada pagi harinya-: ‘Hai Fulan, saya
tadi malam melakukan demikian, demikian.’ Orang itu diberikan kepadanya itu” (HR: Bukhori)[23]
Maksud dari tidak
dimaafkan dalam hadits di atas ialah keselamatan. Yaitu selamatnya harga diri
seseorang dari penodaan terhadapnya. Sedangkan orang yang mujahir adalah
orang yang menyiarkan kemaksiatannya sendiri yang padahal Allah telah
menutupinya supaya harga dirinya tidak jatuh. Selain itu seorang mujahir juga
tidak akn bisa terlepas dair jerat dosa akibat perbuatannya.[24]
Selain mengunggah status berbau maksiat,
banyak pula status yang
ditulis oleh seseorang yang sedang emosi dengan melontarkan kata-kata buruk. Padahal Rosulullah telah memerintahkan umatnya untuk mengucapkan perkataan yang
baik. Sebagaimana dalam sabdanya:
مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللهِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أوْ لِيَصْمُتْ
Artinya: “Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbicaralah dengan
perkataan yang baik atau diamlah.” (HR. Bukhori)[25]
Ibnu Mas’ud berkata berkenaan
dengan hadits di atas, “tidak ada sesuatu yang paling dihajatkan untuk
dipenjarankan kecuali lisan.”[26]
Hal ini berlaku juga pada tulisan-tulisan status di medsos. Karena status di
medsos termasuk bentuk ucapan yang tertulis.
Dari dua dasar hukum di atas, maka update
status berkaitan dengan mengumbar kemaksiatan dan perkataan buruk tidak
dibenarkan dalam Islam.
4.
Status provokasi dan fitnah
Bentuk status lainnya
adalah seorang menulis status yang sarat akan provokasi dan fitnah terhadap
suatu elemen masyarakat. Tindakan ini sama halnya dengan mengadu domba (namimah)
yang dilarang dalam Islam. Karena menimbulkan perpecahan dalam diri umat Islam.
Selain itu ada ancaman neraka bagi pelaku namimah telah dikabarkan oleh
Nabi SAW dalam hadits berikut:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ
“Tidaklah masuk Jannah orang yang suka mengadu
domba.” (HR. Bukhori)[27]
Namimah atau mengadu domba
adalah perbuatan yang dibenci dan haram dilakukan oleh seorang muslim. Karena namimah
timbul dari sifat dusta, dengki dan munafik, serta menghantarkan kepada
derajat hina.[28]
Oleh sebab itu, sarana untuk menyebarkan fitnah dan provokasi hukumnya seperti
tindakan namimah, yaitu haram dan dibenci.
5.
Status Yang Mengandung Iklan
Beriklan dalam media sosial kini menjadi
tren baru untuk mempromosikan barang dagang ataupun even tertentu. Dengan
tujuan untuk menarik minat konsumen ataupun partisipan agar mengikutinya.
Bentuk iklan pun bermacam-macam. Bisa hanya dengan kalimat persuasif atau
disajikan dengan visualisasi, audio, serta gabungan dari keduanya. Media sosial
seperti dalam internet mampu menyajikan semua bentuk iklan tersebut. Maka hukum
status di medsos yang mengandung unsur iklan adalah seperti hukum beriklan itu
sendiri.
Islam telah menetapkan koridor dalam iklan
dengan berbagai bentuknya yang terangkum dalam satu kaidah, yaitu:
جَلْبُ
الْمَصَلِحِ وَدَرْءِ الْمَفَسِدِ
“menciptakan manfaat dan mencegah bahaya.”[29]
Dalam runtutan amal terdapat keharusan memperhatikan setiap hak. Baik
hal Allah SWT, Rosul-Nya, maupun hamba-Nya. Yaitu dengan meninggalkan
kemaksiatan terhadap Allah dan Rosul-Nya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Juga tidak berlaku dholim terhadap para hamba.[30]
Dari kaidah di atas bisa disimpulka bahwa beriklan hendaknya menghindari
hal-hal yang dilarang oleh syari’at. Misalnya, beriklan tidak dengan music,
tidak menampilkan aurot baik wanita maupun laki-laki. Selain itu, hendaknya
menggunakan kalimat yang baik, yang tidak menyakiti atau menistakan siapapun.
Juga tidak mengiklankan barang yang dilarang untuk diperjual-belikan, seperti
khomr. Serta tidak ada unsur ghoror atau penipuan atas barang atau hal lain
yang diiklankan. Hal ini mencegah kerugian yang diterima oleh pembeli barang
atau peminat setelah membeli barang itu. Maka kejujuran dalam menawarkan setiap
kebaikan itu lebih diutamakan.
III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan
bahwa:
1.
Media sosial
adalah sebuah sarana menyampaikan informasi. Hukumnya mubah alias boleh. Akan
tetapi dapat berubah sesuai tujuan yang hendak dicapai dan implikasi yang
ditimbulkan. Karena
الوَسَائِل لَهَا أحْكَام المَقَاصِدِ.
2.
Meng-update
status di media sosial haruslah memandang maslahat dan kemadhorotan yang
timbul dari update status tersebut.
3.
Update status berupa
informasi atau berita tidak dibenarkan kecuali setelah mengecek kredibilitas
informasi tersebut.
4.
Haram hukumnya
meng-update status yang mengandung unsur fitnah dan provokasi. Akibat
perbuatan itu adalah timbulnya perpecahan pada diri umat.
5.
Jika
status-status yang tidak dibenarkan di media sosial dilakukan terlalu sering,
akibatnya tidak hanya pada diri sendiri, namun juga bagi orang lain. Karena
mudahnya media sosial menyebarkan segala informasi.
6.
Jika media sosial
yang hari ini menjadi sarana mudah untuk berkomunikasi digunakan dengan
berlebihan sampai menyia-nyiakan waktu dan melalaikan kewajiban, maka hal itu
dibenci dan harus segera bertaubat darinya.
B.
Saran
Seorang muslim
hendaknya lebih bijak dalam memanfaatkan media sosial dalam berkomunikasi.
Harus menjaga perkataan di media sosial sama saja dengan keharusan menjaganya
ketika berbicara dengan orang lain secara langsung. Selain itu jangan mudah
terprovokasi untuk menyebarkan berita yang di dapat di dalamnya.
Created by: Eva Zulaikha
[2] Andreas M. Kaplan dan Michael Haenlein, Users
of the World, United! The Challenges and opportunities of Sosial Media, (t.k:
Elsevier, t.t) hal: 3
[4] Oxford Learner’s Pocket Dictionary, Edisi
ke-4, (New York: Oxford University Press: 2011) cet, ke-4, hal: 487
[5] Varinder Taprial dan Priya Kanwar, Understanding
Sosial Media, (t.k: Vnetush Publishing Aps, t.t) hal: 9
[6] Imam Al-Bukhori, Shohih Bukhori, (Beirut:
Daar Kutub Al-Ilmiyah, 2015), cet. Ke-8, hal: 1115, no. hadits: 6069
[7] Abdul Hamid Muhammad bin Badiis
Al-Shonhajii, Majalisu At-Tadzkir Min Hadits Al-Basyiir An-Nadhiir, (Kostantin,
Daarul Ba’ts, 1983), cet. Pertama, hal: 125
[9] Sarana masuk kedalam segala hal yang
diperbolehkan. Kaidahnya: الأصل في الأشياء الإباحة (Asal dari segala
sesuatau hukumnya boleh)
[10] Mushthafa bin Karamatullah Makhdum, Qawa’id
Al-Wasail fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, (Riyadh: Dar Isybiliya, 1999),
hlm. 223
[11] ibid
[12] Abdul Muhsin bin Abdullah bin Abdul Kariim
Az-Zamil, Syarh Al-Qowa’id As-Sa’diyah, (Riyadh: Daarul Athlas
Al-Hadhro’, 2001) cet. pertama, juz: 1, hal: 297
[13] Abdurrahman Hasan Hanbakatul Maidany, Fiqh
Ad-Da’wah Ilallah wa Fiqh An-Nushhi wa Al-Irsyad wa Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa
An-Nahyu ‘an Al-Munkar, (Damaskus: Daarul Qolam, 1997), cet. Pertama, jild:
1, Hal: 47
[14] Muhammad Abdul Lathif bin Al-Khotiib, Awdhohu
At-Tafasir, (t.k: Cetakan Mesir dan Maktabahnya, 1964), hal: 74
[15] Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Ash-Shohwah
Al-Islamiyah Dhowabith wa At-Tujihaat, (Riyadh: Daar Al-Wathn, 1426 H) hal:
81
[16] Hermawan Kartajaya dengan Waizly Darwin dan
pembaca Kompas, Connect! Surfing New Wave Marketing, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama Anggota IKAPI, 2010) cet. Pertama, hal: 261
[17] Ahmad Muhammad Mukhtarisy, Dhohirotu
Asy-Syai’aat, 52065/Sharia/net.alukah.www//:http</ br /, hal: 1
[18] Abu Thoyyib Muhammad Shodiq Khoon bin Hasan
Al-Husainy Al-Bukhori Al-Qinnaujy, Fathu Al-Bayan Fii Maqoshidi Al-Qur’an, (Beirut:
Maktabah Al-‘Ashriyah, 1992) juz: 13, hal: 136, Muhammad Abdul Lathif bin
Al-Khotiib, ibid.., hal: 634
[19] Imam Muslim, Shohih Muslim, (Beirut:
Daar Kutub Al-Ilmiyah, 2015), cet. Ke-7, hal: 12, no. hadits: 5
[21] Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubroo, (Beirut:
Daarul Kutub Al-Ilmiyah, 2003), cet. Ke-3, jild: 2, hal: 304, no. hadits: 3164,
(red: hadits ini shohih menurut beliau)
[22]
Berdasarkan hadits: “Tidak
tergelincin kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga Allah menanyakan empat
hal: Umurnya, untuk apa selama hidupnya dihabiskan…” (HR. At-Tirmidzi, no.
2417)
[23] Imam Al-Bukhori, ibid.
[26] Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul
Malik Al-Qostholani Al-Qotti Al-Mishri, Irsyadu As-Sari Lii Syarhi Shohih
Al-Bukhori, (Mesir: Al-Mathba’atul Kubroo Al-Amiriyah, 1323 H), cet. Ke-7,
jild: 9, hal: 272
[28] Syarifuddiin Husain bin Abdullah Ath-Thoyyi, Syarh
Ath-Thoyyi ‘Alaa Misykaati Al-Mishbah Al-Musammaa bii Al-Kaasyif ‘An Haqoiqi
As-Sunan, (Riyadh: Maktabah Nazar Musthofa Al-Baaz, 1997) cet. Pertama,
jild: 10, hal: 3115
[29] ‘Izzud Diin bin Abdussalam As-Salami
Ad-Dimasyqi, Qowa’id Al-Ahkam Fii Masholihi Al-Anam, (Kairo: Maktabah
Al-Kulliyyaat Al-Azhariyah, 1991), jild: 1, hal: 153
0 komentar:
Posting Komentar