I.
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Haid merupakan suatu keadaan yang menjadikan seorang wanita memiliki
ketentuan-ketentuan tertentu dalam melakukan sebuah amal ibadah. Seperti
memegang,membaca Alqur’an dan memasuki masjid. Padahal membaca Alqur’an
merupakan salah satu amal yaumiyah umat islam yang bernilai ibadah, baik dengan
tujuan menghafalnya, mentadaburinya, ataupun mempelajarinya.
Allah memerintahkan hamba-Nya untuk selalu berinteraksi dengan Alqur’an,
yang tertulis dalam firman-Nya yang berbunyi,
اتْلُ مَا أُوحِيَ
إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ
"Bacalah
sesuatu yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Alkitab (Alqur’an), dan
dirikanlah shalat." (QS. Al-Ankabut: 45)
Lalu, bagaimana
dengan seorang wanita yang dalam keadaan haid namun dia ingin mendapatkan
pahala dan keutamaan dari amalan tersebut?. Seperti membaca Alqur’an dan
menghadiri majlis ilmu yang diselenggarakan di masjid. Bolehkah dalam keadaan -
keadaan tersebut seorang wanita yang haid memegang atau membaca Alqur’an,dan
memasuki masjid.?
Dalam hal ini terjadi banyak perbedaan pendapat diantara para ulama tentang
hukum membaca ataupun memegang Alqur’an dan hukum memasuki masjid bagi wanita
yang sedang haid. Maka dalam makalah sederhana ini penulis akan sedikit
memaparkan hukum membaca, memegang Alqur’an dan hukum memasuki masjid bagi
wanita haid .
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum membaca dan memegang Alqur’an bagi wanita
haid?
2. Bagaimana hukum memasuki masjid bagi wanita haid?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui hukum membaca dan memegang Alqur’an bagi
wanita haid
2. Memahami hukum memasuki masjid bagi wanita haid
D. Manfaat Penulisan
1. Secara teoritis
a. Menjelaskan hukum memegang, membaca Alqur’an , dan
memasuki masjid bagi wanit haid.
b. Sebagai pedoman dan menjadi jawaban untuk menghilangkan
kebingungan bagi para muslimah dalam mengetahui hukum memegang,
membaca Alqur’an dan memasuki masjid bagi wanita haid.
2. Secara praktis
a. Untuk kepentingan dakwah masyarakat sehingga dapat
mengetahui hukum memegang, membaca Alqur’an dan memasuki masjid bagi wanita
haid
II. PEMBAHASAN
A. Definisi
1.
Alqur’an
Alqur’an secara bahasa merupakan mashdar dari قرأ- يقرأ- قرآن
yang berarti jama’atau kumpulan.[1] Adapun
secara istilah yaitu kitab yang diturunkan kepada Rasulullah, yang tertulis di
dalam Alqur’an, yang diturunkan kepada Nabi secara
mutawatir tanpa ada keraguan di dalamnya,[2] dan
membacanya bernilai ibadah.[3]
2.
Masjid
Masjid secara bahasa yaitu bentuk mufrod dari مساجد yang
berarti tempat shalat, atau tempat sujud
jasad manusia. Adapun masjid menurut istilah yaitu tempat yang sudah ditetapkan
murni untuk beribadah kepada Allah.[4]
B. Hukum memegang Alqur’an bagi wanita haid
1. Definisi memegang
Memegang menurut bahasa berasal dari kataمس-يمس yang berarti
memegang sesuatu dengan tangan. Adapun menurut istilah, memegang adalah bertemunya
anggota badan dengan anggota badan yang lain sampai dapat merasakan panas, dingin, keras, lembut.[5]
2. Dasar hukum
Allah berfirman,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَ
"Tidak ada yang menyentuhnya
kecuali orang-orang yang suci." (QS. Al-Waqi’ah: 79)
3. Hukum memegang Alqur’an bagi wanita haid
Yang dimaksud dengan Alquran disini adalah Alqur’an murni, dimana tidak
tercampur oleh perkataan manusia, baik tafsir atau terjemah. Pembahasan ini
terbagi menjadi dua bagian,
a.
Memegang
langsung tanpa penghalang
Jumhur ulama’ (ulama’ empat madzhab) sepakat bahwa memegang Alqur’an tanpa
penghalang bagi wanita haid adalah haram. Dalilnya adalah,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَ
"Tidak ada yang menyentuhnya
kecuali orang-orang yang suci." (QS. Al-Waqi’ah: 79)
Para ulama’
berikhtilaf dalam menafsirkan ayat ini. Ibnu Jarir menceritakan dari Ibnu
Abbas bahwa dhomir ىهُ yang
dimaksud di sini adalah kitab yang berada di langit. Ini juga pendapat Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin
Jubair, dan Anas.[6]
Adapun الْمُطَهَّرُوْنَ berarti suci dari syirik (menurut Ibnu Saib), suci
dari dosa dan kesalahan (menurut
Ar-Rabi’ bin Anas).[7]
Namun, yang
paling rojih menurut mufassirin
dan fuqoha’ adalah, dhomir ىهُ yang dimaksud adalah Alqur’an yang berarti mushaf Alqur’an yang ada di tangan kita sekarang. Adapun الْمُطَهَّرُوْنَ yakni suci dari hadats.[8]
Hal ini didukung dengan ayat
setelahnya, QS. Al-Waqi’ah ayat delapan puluh, “yang diturunkan dari Rabb
semesta alam.” yang menunjukkan secara zdhohir bahwa yang dimaksud adalah
Alqur’an yang saat ini berada di tangan manusia. Juga berdasarkan hadits,
لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلِاَّطَاهِرُ
“Tidak boleh menyentuh
Alqur’an kecuali orang yang suci.”(HR. Atsram
dan Daruquthni)[9].
Ibnu Abdil Barr mengatakan, "Tidak boleh bagi
seseorang menyentuh Alqur’an, baik secara langsung ataupun menggunakan penghalang
kecuali dalam keadaan suci."[10]
Al-Khathib As-Syarbini juga mengatakan, "Diharamkan bagi wanita haid dan
membawanya."[11]
Adapun Zhohiriyah membolehkannya secara mutlak. Ibnu Hazm
berkata, "Membaca Alqur’an, sujud tilawah, menyentuh Alqur’an dan
berdzikir diperbolehkan. Baik dilakukan oleh orang yang berwudhu ataupun tidak
, orang yang junub, ataupun haid."[12]
Menurut Zhohiriyah, firman Allah dalam QS. Al-Waqi'ah ayat sembilan puluh tujuh
tidak bisa dijadikan hujjah, karena 'tidak menyentuhnya' bukanlah kalimat
larangan melainkan khabar.
b.
Memegang
dengan penghalang
Pendapat ulama tentang hal ini terbagi menjadi
tiga, yakni membolehkan jika penghalang terpisah dari Alqur’an, melarang secara
mutlak, dan membolehkan secara mutlak.
Hanafiyah,[13]
Malikiyah[14],
dan mayoritas Hanabilah[15]
membolehkan memegang Alqur’an dengan penghalang, dengan syarat penghalang
tersebut terpisah dari Alqur’an (bukan sampulnya). Karena, sampul Alqur’an
termasuk bagian dari Alqur’an dan tidak dijual terpisah,[16]
berbeda dengan kain, sarung tangan, dan sejenisnya.
Yang mengharamkannya secara mutlak adalah
Syafi’iyah.[17]
Sedangkan yang membolehkannya secara mutlak, baik penghalang terpisah dari
Alqur’an atau tidak adalah sebagian Syafi’iyah[18]
dan sebagian Hanabilah.[19]
Karena, yang dilarang secara jelas adalah memegang Alqur’an secara langsung.[20] Sebagaimana
pendapat Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa bahwa, diperbolehkan bagi wanita haid memegang
Alqur’an dengan lengan bajunya, asalkan tidak bersentuhan dengan tangan secara
langsung.[21]
4. Hukum memegang Alqur’an terjemah
Malikiyah,[22]
Syafi’iyah,[23] dan
Hanabilah[24]
membolehkan wanita haid memegang Alqur’an terjemah. Alasannya, mereka
mengqiyaskan Alqur’an terjemah dengan tafsir yang mana keduanya bukan bagian dari Alqur’an, sehingga
tidak dilarang memegangnya. Hujjah yang digunakan adalah firman Allah,
إِنَّا أَنْزَلْنَهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا
“Sesungguhnya
kami menurunkannya berupa Qur’an berbahasa arab agar kamu mengerti” (QS.Yusuf: 2 ).
Dan juga firman Allah,
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِيْنٍ
“Dengan bahasa arab yang jelas” (QS.Asy-Syuara':
195).
Ayat diatas menjelaskan bahwa Alqur’an turun dengan
bahasa arab. Yang berarti bahwa terjemahan tidak bisa disebut sebagai Alqur’an
sehingga tidak diharamkan bagi orang yang berhadats untuk menyentuhnya.
Sedangkan Hanafiyah[25]
melarangnya, karena mereka berpendapat bahwa makna Alqur’an terkandung dalam
terjemahan tersebut.[26]
5. Hukum memegang tafsir Alqur’an
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang
membolehkan secara mutlak, memakruhkan, dan mengharamkan. Adapun rinciannya
adalah berikut,
a. Boleh
Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyah,[27]
Malikiyah,[28] dan
Ahmad[29].
Hujjahnya, bahwasanya Rasulullah
pernah mengirim surat ke Kisra yang di dalamnya mengandung ayat Alqur’an. Itu
berarti, beliau tidak keberatan jika ayat Alqur’an dipegang oleh seorang yang
kafir lagi najis (karena kesyirikan mereka). Sedangkan wanita haid lebih
suci dibanding mereka.
Hujjah lain, bahwasanya tafsir tidak sama dengan Alqur’an,
dan tidak ada dalil yang mengharamkannya. Dan bahwa membaca tafsir tidak sama
dengan tilawah, sehingga tidak diharuskan dalam kondisi suci.[30]
b. Makruh
Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyah.[31]
Alasannya, karena kitab tafsir tidak mungkin terlepas dari ayat Alqur’an, maka
makruh memegangnya saat haid.[32]
c. Haram
Ini adalah pendapat Syafi’yah[33] dan
sebagian Hanafiyah.[34]
Hujjahnya, karena kitab tafsir mencakup di dalamnya ayat-ayat Alqur’an, bahkan
bisa jadi ayatnya lebih banyak dari pada tafsirnya. Maka, berlaku baginya sama
seperti hukum Alqur’an.[35]
Dari
pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan, jika ayatnya lebih banyak maka
haram memegangnya.
6.
Memegang Alqur’an untuk belajar-mengajar
Menurut Malikiyah,
diperbolehkan memegang Alqur’an dengan niat untuk mengajar atau belajar, baik
menyentuh seluruh Alqur’an sebagian ataupun selembaran yang bertuliskan ayat Alqur’an.
karena wanita haid tidak bisa dengan mudah menghilangkan hadastnya dan juga
karena masa haid itu panjang. Dan diperbolehkan menelaah dan menghafal Alqur’an
ketika itu.[36] Maka membaca Alqur’an menggunakan hafalan juga diperbolehkan karena
membaca alquran tanpa memegang Alqur’an sama seperti dzikir. [37]
C. Hukum membaca Alqur’an bagi wanita haid
1. Definisi membaca
Yang dimaksud dengan membaca adalah membaca
setiap huruf menggunakan lisannya dengan benar baik terdengar oleh dirinya sendiri ataupun tidak
terdengar oleh dirinya sendiri. [38]
2. Hukum membaca Alqur’an bagi wanita haid
Ulama berikhtilaf mengenai hukum wanita haid membaca Alqur’an.
Sebagian ulama membolehkan dan sebagiannya melarang. Berikut ini adalah hujjah
yang dikemukakan oleh masing-masing pihak,
a. Dasar hukum yang membolehkan
Hujjah kelompok ini adalah hadits Aisyah, "aku
datang ke Mekah dalam keadaan haid, dan aku tidak berthawaf di Baitulharam dan
juga tidak antara Shafa dan Marwah. Lalu aku mengadukan hal tersebut kepada
Rasulullah, lalu beliau bersabda:
افْعَلِيْ كَمَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوْفِيْ
بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِيْ
"Lakukanlah seperti yang
dilakukan orang yang berhaji kecuali thawaf di Baitulharam sampai engkau
suci."[39]
Hadits tersebut menerangkan secara jelas bahwa perempuan
yang sedang haid disyariatkan untuk tetap berdzikir. Dan
membaca Alqur’an merupakan salah satu bentuk dzikir, sebagaimana firman Allah,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُوْنَ
"Sesungguhnya Kamilah yang
menurunkan Alqur’an, dan sesungguhnya kami yang benar-benar memeliharanya."
(QS. Al-Hijr: 9)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Dan yang paling baik
adalah yang dikatakan oleh Ibnu Rasyid mengikuti Ibnu Bathal dan
ulama yang lainnya, bahwa sesungguhnya yang dimaksud oleh dalil tersebut adalah
bolehnya membaca Alqur’an bagi perempuan haid dan orang junub berdasarkan
hadits Aisyah. Karena Nabi tidak mengecualikan dari semua manasik haji kecuali
thawaf."[40]
Adapun Ibnu Hazm dari madzhab Zhohiriyah menyatakan
bahwa, wanita haid boleh membaca Alqur’an secara mutlak. Karena membaca Alqur’an merupakan amalan yang
baik dan berpahala. Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa membacanya ketika
tidak suci tidak diperbolehkan, maka hal tersebut harus berdasarkan dalil.
Adapun dalil larangan menyentuh Alqur’an dalam QS. Al-Waqi'ah ayat tujuh puluh
sembilan bukan merupakan larangan melainkan khabar.[41]
b. Dasar hukum yang melarang
Ini merupakan pendapat yang diambil oleh jumhur fuqoha'. Membaca
Alqur’an dalam keadaan suci merupakan salah satu bentuk penjagaan adab terhadap
Alqur’an. Itu berarti, tidak boleh bagi wanita haid membaca Alqur’an, karena ia
dalam keadaan tidak suci. Hanafiyah dan Hanabilah berhujjah dengan hadits
Rasulullah,
لَا تَقْرَأُ الْحَائِضَ وَلَا الْجُنُبَ شَيْئًا مِنَ
الْقُرْآنِ
Imam An-Nawawi meriwayatkan bahwa para ulama’ sepakat
tentang haramnya wanita haid membaca Alqur’an. Alasannya, masa haid hanya
berlangsung beberapa hari dan tidak sampai membuat seseorang lupa dengan
hafalannya. Adapun jika khawatir terhadap hafalannya, maka cukup dengan
muraja’ah atau menghafal di dalam hatinya.
Jika seorang wanita telah suci, namun ia tidak mendapat
air untuk mandi, maka ia tetap dilarang membaca Alqur’an kecuali saat melakukan
sholat. [43]
3. Membaca Alqur’an bagi wanita haid untuk belajar atau mengulang hafalan
Menurut Ibnu Taimiyah
beliau berpendapat, jika wanita yang haid tersebut tidak takut hafalannya hilang maka dia tidak boleh
membacanya. Adapun jika wanita tersebut takut hafalannya hilang maka tidak
mengapa membacanya.[44] Syaikh
Abdullah Shalih Al- Utsaimin mengatakan bahwa boleh bagi wanita haid untuk
membaca Alqur’an jika ada keperluan seperti, seorang guru atau murid yang
membaca al-qura’an dalam rangka untuk belajar atau mengajar.[45]
D. Hukum memasuki masjid bagi wanita haid
1. Definisi masjid
Yang dimaksud dengan
masjid menurut Syafi’iyah[46]
dan Hanafiyah[47]
yaitu suatu tempat yang digunakan untuk shalat. Sedangkan menurut Malikiyah dan
Hanabilah, masjid adalah tempat yang sengaja dibangun untuk masjid yang biasa
digunakan untuk shalat fardhu.[48]
2. Dasar hukum
Allah berfirman,
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْا لَا تَقْرَبُوْا الصَّلَاةَ
وَ أَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّي تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِيْ
سَبِيْلٍ
"Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat (masjid)
dalam keadaan mabuk sampai kalian sadar apa yang kalian katakan, dan tidak pula
dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati saja." (QS. An-Nisa': 43)
Ibnu Abbas
mengomentari ayat ولا جنبا إلاّ عابري سبيل حتى تغتسلوا,
beliau berkata, “Engkau (boleh) lewat selintas dan jangan duduk.”
Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Anas, Abu Ubaidah, Ad-Dhahhak,
Atha’, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, dan Hasan Al-Bashri. Adapun yang dimaksud dengan shalat pada ayat
di atas adalah masjid.[49]
Rasulullah bersabda,
فَإِنِّي لَا أَحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ
"Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang sedang haid dan
junub." (HR. Abu Daud).[50]
3.
Hukum memasuki masjid bagi wanita
haid
Kategori memasuki masjid dalam pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian,
a.
Memasuki
masjid dan berdiam diri di dalamnya.
-
Tidak
diperbolehkan
Ini adalah pendapat jumhur.[51]
Hujjah mereka adalah firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian mendekati shalat dalam keadaan mabuk sampai kalian
sadar apa yang kalian katakan, dan jangan pula dalam keadaan junub kecuali
sekedar melewati saja." (QS. An-Nisa': 43).
Yakni, bahwa Allah melarang orang junub dan
haid untuk mendekati shalat.[52]
Shalat yang dimaksud dalam ayat di atas adalah masjid. Alasannya, karena ditakutkan
akan mengotori masjid.
-
Dibolehkan
Yang membolehkan adalah Ibnu Hazm, Daud, dan
Al-Muzni.[53]
Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah,
افْعَلِيْ كَمَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوْفِيْ بِالْبَيْتِ
حَتَّى تَطْهُرِيْ
"Lakukanlah seperti yang dilakukan orang yang berhaji kecuali thawaf
di Baitulharam sampai engkau suci."[54]
Adapun pendapat yang rajih dari kedua pendapat
di atas bahwasanya, diperbolehkan bagi
wanita haid berdiam diri di masjid jika tidak dikhawatirkan darahnya mengotori
masjid.[55]
b.
Melewati
masjid
Ulama berikhtilaf mengenai boleh tidaknya wanita haid melewati
masjid, berdiam diri sebentar, atau memasukinya karena suatu keperluan.
Pendapat ulama terbagi menjadi dua,
-
Boleh
Ulama Hanabilah,[56] Syafi’iyah,[57]
dan sebagian ulama Malikiyah[58]
memperbolehkan wanita haid memasuki masjid jika hanya sekedar lewat saja.
Pendapat mereka berlandaskan dengan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat tiga
puluh empat, sebagaimana yang tertulis di atas.
Kelompok ini berpendapat bahwa makna lafazh عابري سبيل berarti musafir. Artinya, larangan
mendekati sholat ditujukan kepada orang junub (sampai bersuci) dan musafir
(karena rukhshoh).[59]
Itu berarti, orang haid tidak dilarang memasuki atau melewati masjid.
-
Tidak diperbolehkan
Ulama Hanafiyah,[60]
Malikiyah[61],dan
Syafi’iyah[62]
dalam pendapatnya yang shahih, melarang wanita haid memasuki masjid secara
mutlak meski sekedar lewat saja. Hujjah mereka adalah sabda Rasulullah, “Sesungguhnya
aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang sedang haid dan junub.”
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas maka dapat disimpulkan :
1. Ulama sepakat mengharamkan membaca Alqur’an bagi wanita
haid. Kecuali madzhab Dzhohiriyah yang membolehkan. Syaikh Ibnu Taimiyah
memperbolehkan membaca wanita haid membaca Alqur’an untuk belajar mengajar atau
mengulang hafalan.
2. Mayoritas ulama memperbolehkan memegang Alqur’an
menggunakan pembatas. wanita haid boleh memegang Alqur’an terjemah, dan kitab
tafsir karena keduanya tidak bisa dinamakan Alqur’an. kemudian ulama madzhab
Maliki memperbolehkan memegang Alqur’an bagi wanita haid dalam rangka belajar
mengajar dan mengulang hafalan.
3. Ulama Malikiyah dan Hanafiyah mengharamkan wanita haid
masuk berdiam diri di masjid walaupun hanya sekedar lewat.
4. Ulama syafi’I dan hanabilah memperbolehkan wanita haid
melewati masjid tanpa berdiam diri jika ada keperluan. Adapun untuk
kehati-hatian maka wanita haid dilarang memasuki masjid. Wallahu A’lam.
B. Saran
Penulis menyarankan hendaknya para wanita memperhatikan hal-hal yang
berkaitan dengan haid. Termasuk larangan-larangan ketika haid sehingga para
muslimah dapat menjaga amal ibadahnya. Sehingga segala amal ibadahnya diterima
oleh Allah SWT.
Created by: Devie Yuliana
[1] Wizaratul Auqof
wa Syu'unil Islamiyah, Mausu'ah Fiqhiyah Kuwaitiyah (Kuwait, Darus
Shofwah: 1998), jild. 33, hlm. 30
[2] Ibid
[3] Manna’ Al-Qaththan,
Pengantar Studi Alqur'an, (Pustaka Al-Kausar,jakarta.2005) hlm. 18
[4] Wizaratul Auqof
wa Syu'unil Islamiyah, Mausu'ah…, jild. 37, hlm. 194
[5] Wizaratul Auqof
wa Syu'unil Islamiyah, Mausu'ah…, jild. 37, hlm. 276.
[6] Dr. Abdullah bin
Muhammad Alu Syaikh,Tafsir Ibnu Katsir,(Pustaka Imam Asy-Syafi’I,
2008),cet.1,jild.9,hlm.347.
[7] Jamaluddin Abul
Faraj Abdurrahman, Zaadul Masir fi Ilmi Tafsir (Beirut: Darul Kutub
Al-Arabi, 1422), cet. 1, jil. 4, hal. 228.
[8] Al-Mughni 1/203,
Ahkamul Qur’an Ibnul ‘Araby
[9] Malik, Muwatha’ (tt: Maktabah ‘Ilmiyah, tt), cet. 2, hal.
106. Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi (tt:
Darul Mughni linnasyri wat Tawzi’, 2000 M), cet. 1, jil. 3, hal. 1455.
[10] Abu Umar Yusuf
bin Abdullah bin Muhammad bin Ibnu Abdil Barr, Al Kafi fi Fiqhi Ahlil
Madinah,(Beirut Darul Kutub Al- Ilmiyah:1992), jild. 1, hlm. 172
[11] Syamsuddin
Al-Khotib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah:
1994), jild. 1, hlm. 290
[12] Abi Muhammad Ali
bin Said bin Hazm Al-Andalusi, Al-Muhalla bil Atsar,(Beirut Darul Kutub
Al-Ilmiyah:2003), jild. 1, hlm. 94
[13] Abu Bakar bin
Mas'ud Al-Kasaniy, Badai' Shanai'(Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah:1986) Badai’
Shanai’ jild.1/hal.33.
[14] Muhammad bin
Ahmad bin Arafah Ad-Dasuki Al-Maliki ,Hasyiyah Ad-Dasuqiy,jild. 1/,hlm.155.
[15] Muhammad Amin
Addinawi,Kassyaful Qina,’ (Beirut,Alahul Kutub,1997),jild.1,hlm.134.
[16] Sholih bin
Abdullah Al-Lahim, Al-Ahkam Al-Mutarattibah 'alal Haidh wan Nifas wal
Istihadhah (t.t., Dar Ibnul Jauzi: 1429 H), hlm. 45
[17] Syamsuddin
Al-Khotib As-Syarbini, Mughni Muhtaj,jild. 1,hlm.37.
[18] Imam Muhyiddin
An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul…, jild’2,hlm.68.
[19] Ilauddin bin
Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi,(1955), Al-Insof,jild. 1,hlm.223.
[20] Muhammad Amin
Addinawi,Kassyaful Qina,jild. 1,hlm.134.
[21] Ibnu Taimiyah,
Majmu’ Fatawa,(Darul Hadits, Mesir: ), jild. 21, hlm. 267.
[22] Muhammad bin
Ahmad bin Arafah Ad-Dasuki Al-Maliki, Hasyisyatud Dasuki ‘ala Syarhul Kabir
(tt Darul Fikr ),jild.1,hlm.155.
[23] Imam Muhyiddin
An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul…, jild. 2,hlm.380.
[24] Abi Ishaq
Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad,Al-Mabdu’(Darul Kutub al-
Ilmiyah:1997),cet.8,jild.1,hlm.441.
[25] Humam Maulana
Syaikh Nidzom,Al-Fatawa al-Hindia,(Beirut Darul Kutub al-Ilmiyah:2000),jild1,hlm.39.
[26] Sholih bin
Abdullah Al-Lahim, Al-Ahkam Al-Mutarattibah 'alal Haidh wan Nifas wal
Istihadhah (t.t., Dar Ibnul Jauzi: 1429 H), hlm. 52
[27] Zainuddin bin
Ibrahim al-Ma’ruf bin nujim al-Khofi,Al-Asbahu Wa Nadzoir,(Damaskus
Darul Fikr:1983),jild.1,hlm.112.
[28]Syamsuddin Syaikh
Muhammad Arafah Addusuki, Syarhul Kabir,(Biddar Ihaya’ al-Kutub
al-Arabiyah),jild.1,hlm.125.
[29]Ibnu Qudamah,
Al-Mughni(Riyadh:Daar al-Kutub al-Ilmiyah:2008),jild.1,hlm.204.
[30] Sholih bin
Abdullah Al-Lahim, Al-Ahkam Al-Mutarattibah…, hlm. 48.
[31] Asy-Syaukani,FathulQodir(Beirut:Darul
Kutub al-Ilmiyah),jild.1,hlm,169.
[32] Ibid.
[33] Syamsuddin
Al-Khotib As-Syarbini, Mughni Muhtaj (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah:
1994),jild.1,hlm.37.
[34]Abu Bakar bin
Mas'ud Al-Kasaniy, Badai' Shanai'(Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah:1986)
,jild.1,hlm.33.
[35] Ibid.
[36] Muhammad bin
Ahmad bin Arafah Ad-Dasuki Al-Maliki, Hasyisyatud Dasuki ‘ala Syarhul Kabir
(tt Darul Fikr ), jild.1, hlm.126.
[37]
http://asysyariah.com/problema-anda-hukum-wanita-haid-membaca-al-quran/
[38] Wizaratul Auqof
wa Syu'unil Islamiyah, Mausu'ah…, jild. 33, hlm. 46.
[39] HR.Al-Bukhari
dalam Shahih-nya Kitab Al-jami’,(Al-Matba’ah Assalafiyah,mesir:1400 H),jild.1,hlm.506,
no: 1650.
[40]Imam Ahmad bin Ali
bin Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari,(Darul Kutub Al-Ilmiyah:Beirut),
jild. 1, hlm. 486
[41] Abi Muhammad Ali
bin Said bin Hazm Al- Andalusi, Al- Muhalla bil Atsar, jild:1, hlm: 94
[42]
HR.At-Tirmidzi,dalam kitab Sunannya,(Mustofa Al-bab Al-Halbi,),jild.1,hlm.236.
[43] Imam Muhyiddin
An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul…, jild. 2, hlm. 356.
[44] Ibnu Taimiyah,
Majmu’ Fatawa,(Madinah Munawaroh Darul Hadits: 2004), jild. 21, hlm. 636.
[45] Muhammad Sholih
Al-Utsaimin, Majmu’ Fatawa Wa- Rasail Al-Utsaimin,(Dar
Ats-Tsaraya:1413),cet. Terakhir,hlm.220.
[46] Imam al-Mawardiy,Al-Haawiy
al-Kabir,(Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah,1994),cet.1,jild.3,hlm.485.
[47] Syaikh Zainudin
Ibnu Najim,Al-Bahrur Roo’iq,(Mathba’ah al-
Ilmiyah),cet.1,jild.5,hlm.267-268.
[48] Dr.Wahbah
Zuhaili,Al-Wajiz Fi-Fiqhi Islam,(Damaskus,Darul Fikr,2005),jild.2,hlm.347.
[49]Abi Thayyib
Muhammad Syamsul Haq,Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud,(Madinah
Munawaroh,Shohibul Maktabah Salafiyah:1968),jild.1, Hlm.390
[50] HR.Abu Daud,dalam
kitabnya Sunan Abi Daud,(Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah:2015),jild.1,hlm.50.
[51] Abi Thayyib
Muhammad Syamsul Haq,Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud,(Madinah
Munawaroh,Shohibul Maktabah Salafiyah:1968),’, jild.1,hlm.260. no. 232
[52] Ibnu Qudamah al-
Maqdisi,Al-Mughni, (Beirut Darul Kutub al- Ilmiyah,2008),jild.1,hlm.200.
[53]Abi Muhammad Ali bin Said bin Hazm Al-Andalusi, Al-Muhalla bil Atsar,(Beirut
Darul Kutub al Ilmiyah:2003,jild.2,hlm.253.
[54] HR.Al-Bukhari
dalam Shahih-nya Kitab Al-jami’,(Al-Matba’ah Assalafiyah,mesir:1400
H),jild.1,hlm.506, no: 1650.
[55] Sholih bin
Abdullah Al-Lahim, Al-Ahkam Al-Mutarattibah…, hlm.62.
[56] Abu Bakar
Ainaisaburi,Al-Ausath(Darul Thayyibah,1985),jild.2,hlm.110.
[57]Imam Muhyiddin
An-Nawawi. t.t.. Al-Majmu’ Syarhul
Muhadzab,…….,jild.1,hlm.45.
[58] Abi Abdillah
al-Maghribi,(Darul Alamil Kutub), [58] Abi
Thayyib Muhammad Syamsul Haq,Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud,(Madinah
Munawaroh,Shohibul Maktabah Salafiyah:1968),’, jild.1,hlm.260. no. 23.
[59]
http://www.fiqihmuslimah.com/mbt/x.php?id=41.
[60] Abu Bakar bin
Mas'ud Al-Kasaniy, Badai' Shanai'(Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah:1986),
jild.1,hlm. 44.
[61] Syihabuddin Ahmad
bin Idris Al-Qurafi, Adz- Dzakirah,(Darul Qurbi Al- Islami), jild.
1, hlm. 379
[62] Imam Muhyiddin
An- Nawawi,Majmu’Syarhul Muhadzab,(jeddah,Maktabah al-Irsyad),jild.1,hlm.45.
0 komentar:
Posting Komentar