A.
DEFINISI
Secara
etimologi pajak dikenal dengan istilah Dharibah. Dharibah adalah isim
mufrad (kata tunggal) dari dharib yang artinya sesuatu yang diwajibkan
pemerintah kepada masyarakat dari hartanya.[1]
Dalam
kitab Mu’jamul al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’ashirah, Dharibah
adalah pemerintah yang mewajibkan pajak kepada setiap orang dari kepemilikan,
pekerjaan, dan penghasilan untuk kemaslahatan pemerintah yang bersifat jabariyyah
(sifat yang tidak ada ikhtiyar manusia), hal ini dibebankan kepada semuan
masyarakat.[2]
Dalam kitab Syamsy al-‘Ulum wa Dawau Kalam al-A’rabi min al-Kulum
definisi Dharibah adalah sesuatu yang dibebankan kepada manusia dari jizyah,
kharaj, dan usyur.[3]
Dari
beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa istilah jizyah, kharaj dan
usyur temasuk istilah lain dari pajak, seperti yang terdapat dalam kamus
Munawir. Dalam kamus al-Munawwir ketiga istilah tersebut diartikan
pajak.[4]
Adapun
definisi pajak secra terninologi adalah, Yusuf al-Qardawi mendefinisikan pajak
berlandaskan pendapat para ahli keuangan yakni kewajiban yang ditetapkan
terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan
ketentuan, tanpa mendapat timbal balik dari negara. Pajak juga difungsikan
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisir
sebagai tujuan ekonomi, sosial, politik, dan tujuan-tujuan lain yang ingin
dicapai oleh negara.[5]
B.
MACAM-MACAM PAJAK
1.
Pajak dalam Islam
Terdapat
beberapa istilah pajak dalam islam yakni kharâj, jizyah, dan usyur. Berikut penjelasan istilah-istilah tersebut,
1.
Kharaj.
Kharaj adalah pajak
atas tanah atau bumi yang pada awalnya dikenakan terhadap wilayah yang
ditaklukkan melalui perang ataupun karena pemilik mengadakan perjanjian damai
dengan pasukan muslim.[6]
Dalam kitab Ahkâmul Kharâj fi
al-Fiqh al-Islami, definisi kharâj dibagi menjadi dua, secara umum
dan khusus. Definisi kharâj secara umum adalah harta-harta yang
pemerintah menjadi pengurus dalam penarikan pajak dan penyalurannya sesuai pada
haknya, harta-harta tersebut adalah zakat, jizyah, kharâj
(definisi secara khusus), usyur dan lain sebagainya dari penghasilan
Daulah Islamiyah. Sedangkan definisi kharâj secara khusus adalah beban
atau pajak yang dibebankan imam kepada tanah kharâj yang dikelola (tanah
yang tumbuh).[7]
2.
Jizyah.
Jizyah artinya pajak
tanah. Bentuk pluralnya adalah jizan aw jizâan. Dalam kitab Lisanul
Arabjizyah artinya sesuatu yang diambil dari ahlu dzimmah[8].[9]
Menurut Wahbah az-Zuhaili, Jizyah adalah harta yang diambil dari ahlu
dzimmah karena harta tersebut melindungi mereka dari diperangi.[10]
Menurut al-Mawardi jizyah adalah pungutan harta yang
dikenakan atas setiap kepala. Kata jizyah itu diambil dari kata al-jaza
(balasan). Makna ini memiliki dua pengertian, pertama balasan atas
kekafiran mereka dengan mewajibkan jizyah itu bagi mereka sebagai
penghinaan atas kekafiran mereka. Kedua, sebagai balasan atas keamanan
yang kita berikan kepada mereka dengan mengambil jizyah tersebut dari
mereka dengan tidak terpaksa.[11]
3. Usyur.
Istilah Usyur memiliki dua makna yaitu
Usyur Shadaqah dan Usyur Tijarah.[12] Usyur shadaqah adalah sepersepuluh
persen dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan. Ini termasuk zakat
yang diambil dari seorang muslim dan didistribusikan sebagaimana distribusi
zakat. Sehingga Usyur ini termasuk dalam pembagian zakat dan lebih menggunakan
istilah zakat.[13] Usyur tijârah adalah sepersepuluh
persen diambil dari pedagang-pedagang kafir yang memasuki wilayah Islam karena
membawa barang dagangan.
Dalam kitab Fikih Ekonomi Umar bin
al-Khattab mendefinisikan usyur tijârah dengan harta yang diambil
petugas negara yang dipersiapkan untuk dagang ketika melintasi daerah Islam.[14]
2.
Pajak di Indonesia[15]
Di saat ini terdapat beberapa macam pajak yang sering kita jumpai
di Indonesia, diantaranya:
a.
Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhadap tanah, lahan, dan
bangunan yang dimiliki seseorang.
b.
Pajak
Penghasilan (PPH), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan
seseorang.
c.
Pajak
Pertambangan Nilai (PPN)
d.
Pajak
Barang dan Jasa
e.
Pajak
Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
f.
Pajak
Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap sistem perseroan (kongsi) atau
badan lain semisalnya.
g.
Pajak
Transit/Person dan lain sebagainya.
C.
HUKUM
1.
Pajak dalam Islam
Berdasarkan istilah-istilah di atas (al-Jizyah,
al-Kharaj, dan al-‘Usyur), kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya
diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai
bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum
muslimin, para ulama dari zaman sahabat, tabi’in hingga sekarang berbeda
pendapat di dalam menyikapinya.
Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa pajak
tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin
sudah dibebani kewajiban zakat. Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi
pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
Firman Allah Ta’ala:
يا أيها الذين أمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل
“Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang
batil….”. (QS.
An-Nisa’: 29).
Hadits yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha,
bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ فِي
الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali
zakat. ”[17] (HR Ibnu Majah I/570 no.1789. Hadits ini
dinilai dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani karena di dalam sanadnya ada
perawi yang bernama Abu Hamzah (Maimun), menurut imam Ahmad bin Hanbal dia
adalah dha’if hadistnya, dan menurut Imam Bukhari, ‘dia tidak cerdas’).
Mereka mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i yang
menetapkan adanya hak wajib pada harta selain zakat hanyalah bersifat anjuran
(bukan kewajiban yang harus dilaksanakan), seperti hak tamu atas tuan rumah.
Mereka juga mengatakan bahwa hak-hak tersebut hukumnya wajib sebelum
disyariatkan kewajiban zakat, namun setelah zakat diwajibkan, maka hak-hak
wajib tersebut menjadi mansukh (dihapuskan/dirubah hukumnya dari wajib menjadi
sunnah).
Pendapat kedua: Diantara ulama yang memperbolehkan pajak diantara lain adalah,
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali[18]
termasuk ulama yang membolehkan pemimpin membebankan biaya kepada orang kaya
untuk membantu biaya kepentingan negara seperti biaya perang. Berikut penuturan
beliau dalam kitab al-Musthafa,
“Apabila kas
negara kosong dan biaya tidak mencukupi untuk biaya militer, ditakutkan musuh
akan masuk ke dalam negara Islam, atau muncul pemberontak dari pihak musuh yang
bermaksud jahat. Maka diperbolehkan kepala negara memungut biaya dari orang
kaya untuk mencukupi pembiayaan tentara. Karena telah kita ketahui apabila timbul
dua bahaya maka hukum syara’ mengharuskan menolak bahaya yang lebih besar
(bahaya yang mengancam jiwa dan harta) dengan bahaya yang lebih kecil (beban
yang diberikan kepada orang kaya). Jika di negeri itu tidak terdapat kepala
negara yang kuat yang dapat memelihara segala urusan negara dan menolak segala
bahaya.”[19]
Dari penuturan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapat
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali memperbolehkan hal tersebut dengan syarat.
Diantara syarat-syaratnya adalah, jika kas negara kosong, akan muncul bahaya
yang lebih besar jika tidak memungut biaya dari orang kaya, dan tidak adanya
kepala negara yang dapat memelihara segala urusan negara serta menolak segala
bahaya.
Ibrahim bin Musa asy-Syathibi[20]
(yang lebih terkenal dengan sebutan asy-Syathibi) senada dengan Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali dalam hal pembolehan mengambil harta dari orang kaya. Yaitu
jika Negara membutuhkan penambahan jumlah pasukan guna menjaga pos-pos
perbatasan dan melindungi daerah kekuasaan yang semakin luas. Sementara baitul
mal dalam keadaan kosong padahal kebutuhan pasukan juga meninggi dan sulit
tercukupi. Maka menurut Asy-Syathibi seorang imam dalam keadaan tersebut dengan
syarat imam yang adil, boleh menggunakan harta orang-orang kaya untuk menutupi
keadaan atau kondisi yang sulit tersebut. Pungutan tersebut diambil sampai
baitul mal terisi kembali.
Asy-Syathibi menjelaskan kebijakan pengambilan harta dari orang
kaya sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, tidak terjadi pada era dulu.
Dikarenakan harta di baitul mal telah mencukupi pembiayaan semua keperluan
ummat. Asy-Syathibi berhujjah dengan meninjau dari sisi maslahat yang akan
dicapai yakni terhindar dari bahaya yang akan diterima. Bahaya tersebut yakni
jika imam tidak melakukan sistem ini maka kekuasaannya akan hancur, kemudian
tempat tinggal seluruh masyarakat sangat dimungkinkan akan dikuasai musuh
(orang-orang kafir).
Asy-Syathibi
juga berpendapat jika dibandingkan antara bahaya ini (mengambil sebagian harta)
dengan bahaya yang mungkin timbul (kalau kekuasaan jatuh ditangan musuh), maka
para imam (pemimpin) berhak mengambil harta dari orang kaya.[21]
Hal ini disebabkan jika kekuasaan jatuh ditangan musuh maka Syari’at Islam akan
hancur dan Undang-Undang Islam tidak akan ditegakkan, bahkan kaum Muslimin akan
dibantai dan dibinasakan.
2.
Pajak di Indonesia[22]
Apakah pajak hari ini sudah sesuai dengan
syarat-syarat yang telah ditetapkan para ulama di atas? maka jawabannya adalah
tidak sesuai, hal itu dikarenakan beberapa sebab:
1. Negara belum komitmen untuk menerapkan
syariat Islam.
2. Pajak hari ini dikenakan juga pada barang
dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak
langsung akan membebani rakyat kecil.
3. Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk
hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah
digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan
budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya, bahkan yang lebih
ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk
dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah,
pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.
4. Pajak hari ini diwajibkan terus menerus
secara mutlak dan tidak terbatas.
5. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat,
padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
6. Pajak yang diwajibkan hari ini belum
dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.
7. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat
kecil, padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam
tidak diolah dengan baik, malah diberikan kepada perusahaan asing, yang
sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan
rakyat.[23]
[1] Muhammad
Rawasi Qal’ahji dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughahal-Fuqahâ, cet.
ke-2, (Libanon: Darul Nafais, 1988), hlm. 213.
[2] Ahmad Mukhtar
Abdul Hamid Umar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’âshirah, cet.
ke-1, jilid 2, (ttp.: ‘Alimul Kutub, 2008), hlm. 1355.
[3] Niswan bin
Sa’id al-Humari, Syamsy al-U’lum wa Dawâu Kalam al-A’rabi min al-Kulumi, jilid.6,
cet. ke-1, (Damaskus: Darul Fikri, 1999), hlm. 3952.
[4] Ahmad Warson
Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997).
[5] Yusuf
al-Qardawi, Fiqhu az-zakat, cet. ke-2, jilid 1, (Beirut, Muasasatur
Risalah, 1973), hlm. 997.
[6]Abdurrahman, “An-Nadmu ad-Dharibah (2004)”, tesis
(Palestina: Universitas Najahul Wathiniyah, 2004), hlm. 73.
[7] Muhammad Utsman, Ahkamu Kharâj fial-Fiqih
Islami, cet. ke-1, (Kuwait: Darul Arqam,
1986), hlm. 13.
[8]Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa
Adilatuhu,Jakarta: Gema Insani,2017, jilid 8, hlm.
[9]Ibnu Mandzur, Lisânul Arab, (Qohiroh: Dar Tauqifiyah Li At-Turots, 2009), hlm. 621. Rajab Abdul Jawad Ibrahim, Mu’jamal-Musthalahât
al-Islâmiyah fial-Misbahal-Munir, cet. ke-1, (Qahirah: Darul Afaqil
Arabiyah, 2002),hlm. 48.
[10]Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa
Adilatuhu..., hlm. 58.
[12] Abu Sulaiman Hamdan bin Muhammad al-Khatabi, Ma’alimas-Sunan
lial-Khatabi , cet. ke-1, Jilid 3, (ttp.: Muhammad Raghib at-Tabakh, 1932),
hlm. 39.
[13]Wazarotul Auqhaf wa Syu’unil Islamiyah, Al-Mausu’ah
al-Fiqhiyah,(Kuwait:
Wazarotul Auqhaf wa Syu’unil Islamiyah. t.t.),
jilid. 30, hlm. 101.
[14]Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi
Umar bin al-Khathab, terj. Asmuni Solihan Zamarkhasyi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2006),hlm. 570.
[15] https://aslibumiayu.net/10410-hukum-pajak-dalam-fiqih-islam-bagaimana-kaum-muslimin-menyikapinya.html, diakses 29/10/2017, pukul 13:21
[16] Muhammad Taki Utsman, Abhats Fiqhiyyah Fi Qadhaya Az-Zakat Al-Mu’ashirah, (Damaskus: Dar Al- Qolamt.t.), jild. 2, hlm.621-623
[17] Al-Imam Ibnu
Majah, Sunan Ibnu Majah, cet. ke-4, (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2013), hlm. 286, no. 1789
[18] Khairuddin bin Mahmud ad-Dimasyqi, al-‘Alâm,
(ttp.: Darul ‘Ilmi lil Malayyin. 2002), jilid. 7, hlm. 22
[19] Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Musthafa
fi ‘Ilmi al-Ushul, cet. ke-1,(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1413 H),hlm.
177.
[20]Abi Ishaq
asy-Syatibi, al-‘Itshâm, (Kairo: Darul Hadits, 2003), hlm.7
[21]Ibrahim bin
Musa Asy-Syathibi, al-I’tisham, jilid 3, (ttp.,: Maktabah at-Tauhid,
t.t.), hlm. 25-27.
[22] https://aslibumiayu.net/10410-hukum-pajak-dalam-fiqih-islam-bagaimana-kaum-muslimin-menyikapinya.html, diakses
29/10/2017, pukul 13:21
[23] https://aslibumiayu.net/10410-hukum-pajak-dalam-fiqih-islam-bagaimana-kaum-muslimin-menyikapinya.html, diakses 29/10/2017, pukul 13:21
0 komentar:
Posting Komentar