Zakat
merupakan rukun ketiga dari rukun islam yang lima. Allah telah mewajibkannya
kepada seluruh umat islam untuk mengeluarkan zakat dari sebagian harta yang ia miliki,
seperti firman Allah Ta’ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا
أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ
تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ
اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah)sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah Ta’ala Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS.
al-Baqarah: 267)
Ayat
di atas menjelaskan bahwa sebagian dari hasil usaha (harta) yang kita peroleh
melalui pekerjaan-pekerjaan kita wajib kita keluarkan zakatnya. Harta yang kita
miliki, pada hakikatnya adalah milik Allah Ta’ala. Allahlah yang kemudian
melimpahkan amanah kepada para pemilik harta, agar dari harta yang ia peroleh
dari hasil kerjanya untuk dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian, harta dalam
pandangan islam adalah amanah Allah Ta’ala. Disinilah sikap amanah harus
dipupuk, sebab seorang muslim dituntut untuk mennyampaikan amanah tersebut
kepada ahlinya.
Dalam
hukum islam barang-barang yang wajib dikeluarkan zakatnya terbabi menjadi dua,
yaitu yang sudah terdapat kesepakatan ulama (ijma’) dan yang masih
diperselisihkan (ikhtilaf). Jenis yang pertama adalah barang-barang yang telah
dijelaskan secara gambalng dalam teks hadits, seperti zakat pertanian, peternakan,
emas dan perak, perdagangan dan harta temuan. Barang-barang itu sudah
dijelaskan secara rinci, ulai dari kadar nisabnya maupun kadar zakatnya.
Sedangkan yang kedua adalah jenis yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam
teks hadits, yang merupakan perkembangan masyarakat, seperti zakat profesi dan
jenis-jenis usha baru lainnya. Bagian yang kedua ini merupakan wilayah ijtihad,
sehingga wajar jika terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Untuk bagian
yang kedua ini para ulama mengambil dalil keumuman surat al-Baqarah ayat 267
yang telah tercantum diatas. Akan tetapi, disini penulis akan membahas bentuk
kedua yaitu barang yang masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai
kewajiban zakatnya, khususnya pada zakat profesi.
Definisi zakat
profesi
Zakat profesi dikenal dengan
isltilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat gaji pegawai) atau kasb
al-‘amal wa al-mihan (zakat hasil pekerjaan dan profesi swasta). Zakat
profesi didefinisikan sebagi zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau
keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang
atau lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhu nisab.
Zakat profesi
merupakan perkembangan kontemporer, yaitu disebabkan adanya profesi-profesi
modern yang sangat mudah menghasilkan banyak uang. Misalnya profesi dokter,
dosen, arsitek dan lain sebagainya. Kenyataan membuktikan bahwa pada
akhir-akhir ini banyak orang yang karena profesinya, dalam waktu relatif
singkat akan tetapi menghasilkan banyak uang yang terkadang mencapai nisab
zakat. Jika persoalan ini dikaitkan dengan pelaksanakan zakat yang berjalan di
masyarakat maka terlihat adanya kesenjangan atau ketidakadailan antara petani
yang memilki penghasilan kecil dan mencurahkan tenaga yang banyak dengan para
profesional misalnya dokter, insinyur, notaris, dosen yang hanya dalam waktu
relatif singkat memilki hasil yang cukup besar tanpa harus mencurahkan tenaga
yang banyak. Adapun pekerjaan atau keahlian profesional tersebut bisa dalam
bentuk usaha fisik, seperti pegawai atau buruh, usaha pikiran dan keterampilan
sperti kosultan, notaris, insinyur, dan dokter, usaha kedudukan seperti komisi
dan tunjangan jabatan, dan usaha lain seperti investasi. Hasil usaha profesi
juga bisa berfariasi, misalnya hasil yang teratur dan pasti setiap bulan,
minggu atau hari seperti upah pekerja dan pegawai atau hasil yang tetap dan
tidak dapat diperkiraan secara pasti sepertin kontraktor dan royalti pengarang.
Pendapat ulama
tentang zakat profesi
Ulama berbeda pendapat mengenai
hukum zakat penghasilan atau profesi. Mayoritas ulama empat madzhab tidak
mewajibkan zakat penghasilan pada saat menerima kecuali sudah mencapai nisob
dan haul. Adapun pendapat ulama mutakahirin seperti Yusuf al-Qardawi dan Wahbah
az-Zuhail, menegaskan bahwa zakat profesi itu hukumnya wajib pada saat
memperolehnya, meskipun belum mencapai nisab, ini berdasarkan pendapat sebagian
sahabat (ibnu Abbas, ibnu Mas’ud, dan Mu’awiyah), sebagian tabi’in (az-zuhri,
hasan al-basri, dan makhul). Dan pendapat Umar bin Abdul Aziz, Baqir, Shadiq,
Nasir dan Daud azh-Zhahiri.
Adapun kewajiban zakatnya adalah 2,5
persen, berdasarkan keumuman nash yang mewajibkan zakat uang, baik sudah
mencapai satu haul atau ketika menerimanya. Jika sudah dikeluarkan zakatnya
pada saat menerimanya, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat lagi pada akhir
tahun. Dengan demikian ada kesamaan antara pegawai yang menerima gaji secara
rutin dengan petani yang wajib menegeluarkan zakat pada saat panen, tanpa ada
perhitunga haul.
Menurut al-Qardhawi nisab zakat
profesi senilai 85 gram emas dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5
persen. Landasan fiqih (at-takyif al-fiqih) zakat profesi ini menurut
Qardhawi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untuk al-maal
al-mustafad (harta perolehan). Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru
yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang
disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerja, dan yang semisalnya.
Al-Qardhawi mengambil pendapat sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu
Mas’ud dan sebagian tabi’in seperti az-Zuhri, Hasan Basri, dan Makhul yang
mengeluarkan zakat dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya tanpa
mensyaratkan haul. Bahkan al-Qardhawi melemahkan hadits yang mewajibkan haul
bagi harta zakat, yaitu hadits Ali bin Abi Thalib, yang merupakan sabda nabi:
مَنِ
اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Barangsiapa
menghasilkan harta maka tidak ada kewajiban zakat pada harta itu hingga berlalu
atasnya waktu satu tahun” (HR. Abu Daud)
Dari penjelasan diatas dapat kita
simpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi wajib atau
tidaknya zakat profesi. Adapun ulama empat madzhab tidak mewajibkan untuk
mengeluarkan zakat profesi kecuali telah mencapai nisab dan haul. Sedangkan
menurut Adapun pendapat ulama mutakahirin seperti Yusuf al-Qardawi dan Wahbah
az-Zuhail, menegaskan bahwa zakat profesi itu hukumnya wajib pada saat
memperolehnya, meskipun belum mencapai nisab. Maka pendapat yang rajih adalah
pendapat ulama mutakahirin seperti Yusuf al-Qardawi dan Wahbah az-Zuhail,
karena zakat profesi diakui oleh syariat dan mempunyai landasan dari al-qur’an
dan sunnah. Adapun kadar yang dikeluarkan pada zakat profesi adalah 2,5 persen.
Wallahua’lam bis showab
Referensi:
· Wahbah az-Zuhaili, Fiqih
islam wa adillatuhu, jilid 3, hlm.279-280
· Yusuf al-Qardawi, Fiqhu az-zakah, jilid
1, hlm.489
· Muhammad bin Abdurrahman
bin Abdurrahim al-Mubarak Furi, Tuhfatul ahwadzy, jilid 3, hlm. 219