1.
Definisi Takzir
Takzir dapat diartikan sebagai hukuman yang dijatuhkan atas dasar
kebijaksanaan hakim karena tidak terdapat di al-Qur’an dan Hadits.[1]
Secara etimologi, takzir berasal dari bahasa Arab yaitu العزر yang artinya
adalah penolakan dan larangan atau dapat dimaknai sebagai التأديب yang artinya
sebuah pukulan yang tidak dibatasi jumlahnya dan bertujuan untuk mendidik.[2]
Sedangkan secara terminologi, ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikannya. Menurut ulama Hanafiyah, diantaranya Ibnu ‘Abidin, al-jar jany,
az-Zayla’i, dan Ibnu al-Hamam mengatakan bahwa takzir adalah hukuman yang tidak
dibatasi jumlahnya.[3]
Menurut ulama Malikiyah, diantaranya al-Qarafy mengatakan bahwa takzir adalah
sebuah hukuman yang tidak memiliki batasan ukuran tetap baik sedikit ataupun
banyak, akan tetapi batasan ukuran takzir ditentukan oleh ijtihad imam.[4]
Sedangkan menurut Ibnu Farhun al-Maliki, mendefinisikan takzir sebagai التأديب
yang berarti hukuman yang mendidik, إصلاح yang berarti perbaikan dan زجر yang
berarti pencegahan terhadap setiap perbuatan jarimah yang tidak terdapat
hukuman ataupun kafaroh yang telah ditetapkan secara syar’i.[5]
Menurut ulama Syafi’iyah, diantaranya imam al-Mawardi
mendefinisikan takzir ialah sebuah hukuman atas perbuatan dosa yang dilakukan
seseorang, yang hukumannya tidak memiliki batasan yang diatur dalam syari’at.[6]
Kemudian ar-Ramly salah satu ulama Syafi’iyah juga mendefinisikan takzir sebagai
hukuman atas pelaku yang bermaksiat kepada Allah atau berbuat tindakan kriminal
terhadap orang lain, yang hukumannya tidak memiliki batasan ataupun kafaroh.[7]
Sedangkan menurut ulama Hanabilah, diantaranya Ibnu Qudamah
mendefinisikan takzir sebagai hukuman yang telah disyari’atkan terhadap pelaku
jarimah, yang tidak memiliki batasan tertentu.[8]
Kemudian menurut al-Hajawi salah satu ulama Hanabilah mendefinisikan takzir
sebagai hukuman yang wajib ditegakkan bagi orang yang bermaksiat kepada Allah
yang hukumannya tidak memiliki batasan ataupun kafaroh.[9]
Kemudian menurut Wahbah az-Zuhaili,[10]
takzir secara terminologi berarti sebuah hukuman yang telah disyariatkan, atas
setiap perbuatan maksiat atau tindak kriminal yang tidak terkena had maupun
kafaroh. Baik itu melanggar hak Allah maupun hak hamba. Adapun bentuk
pelanggaran terhadap hak Allah seperti membatalkan puasa di bulan Ramadhan
tanpa udzur, meninggalkan sholat, melakukan transaksi riba, membuang suatu hal
yang najis atau sesuatu yang berbahaya di tengah jalan yang sering dilalui kaum
muslimin.[11]
Adapun bentuk pelanggaran terhadap hak hamba seperti melakukan
perbuatan mesum dengan wanita ajnabiyah (wanita bukan mahrom) di luar farj
(kemaluan),[12]
mencuri tidak mencapai nishab, mencuri dalam kondisi lapang,
berkhiyanat, melakukan suap, serta menghina orang lain seperti mengatakan:
‘wahai peminum khamr, wahai pencuri, wahai orang fasik, dan lain sebagainya.’
Maka semua jenis kriteria, baik itu larangan terhadap hak Allah maupun hak hamba,
maka dikenakan hukum takzir.[13]
Dari bebeapa definisi yang diuraikan oleh para ulama mengenai
takzir secara terminologi, dapat diambil kesimpulan bahwa takzir adalah sebuah
hukuman yang disyari’atkan, tanpa batasan dan kafaroh yang ditetapkan, berlaku
atas setiap larangan terhadap hak Allah maupun hak hamba, serta menegakkan
takzir harus dengan ijtihad imam.
2.
Dasar Hukum Takzir
Takzir merupakan salah satu bentuk hukuman yang distari’atkan dalam
Islam. Banyak dalil yang membahas tentang takzir, baik dari al-Qur’an,
as-Sunah, maupun Ijma’ para ulama.
a.
Al-Qur’an
Pertama, Q.S an-Nisa: 34, salah satu bentuk takzir yang dilakukan
seorang suami terhadap istri yang membangkang.
4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
“Perempuan-perempuan
yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu bri nasehat kepada
mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu)
pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
alasan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (Q.S
an-Nisa: 34)
Ayat diatas
menjelaskan tentang takzir yang dilakuakan oleh suami terhadap istri yang tidak
taat terhadap suaminya, dan sampai keluar dari ketaatan yang disyari’atkan.[14]
Kemudian kata ‘pukullah ia’ dalam ayat tersebut bertujuan sebagai takzir
seorang suami kepada istri, ketika sang istri telah membangkang ketika dinasehati
dan tidak mempan untuk didiamkan, maka ketika dalam kondisi seperti ini
pukullah istri dengan pukulan yang tidak menyakitkan.[15]
b.
As-Sunnah
Hadits pertama,
عَنْ
أَبِي بُرْدَةَ بْنِ نِيَارٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ لَا يُجْلَدُ أَحَدٌ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ إِلَّا فِي
حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّه
“Dari Abu Burdah bin Niyar, Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seseorang tidak boleh
didera lebih dari sepuluh kali deraan, kecuali di dalam salah satu hukum hudud.”
(H.R Ibnu Majah)[16]
Abdurrahman al-Jaziri berkata, “Maksud dari hadits tersebut adalah hukuman
untuk perbuatan maksiat, bukan termasuk pada hukuman had. Maka
hadits ini menunjukkan tidak bolehnya menghukum dengan lebih dari sepuluh deraan
kecuali pada perbuatan-perbuatan kemaksiatan yang telah diharamkan oleh Allah.
Maka keputusan hukuman ta’zir sepenuhnya diserahkan kepada
hakim. Maka semua jenis kejahatan yang didalamnya tidak ada syari’at had dan kafarah maka
hakim menghukum dengan memenjarakan atau dengan pukulan yang dilihat dapat
mencegah terhadap perbuatan maksiat. Adapun hukuman yang dilakukan pada
sorang anak kecil disebut dengan ta’dib yaitu sebagai bentuk
pendidikan dengan syarat tidak melebihi sepuluh kali deraan.[17]
Hadits kedua,
مُرُوا أَوْلاَدُكُمْ
بِالصَلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ
أَبْنِاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ
“Perintahkanlah
anak-anak kalian untuk sholat ketika usia mereka tujuh tahun, dan pukulah
mereka ketika usia mereka sepuluh tahun” (HR. Abu Dawud)[18]
Hadits di atas
menjelaskan tentang kewajiban bagi orang tua untuk memerintahkan anaknya
melaksanakan sholat. Ketika anak tersebut enggan melaksanakan sholat maka wajib
bagi orang tua untuk memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan serta
pukulan yang bertujuan untuk mendidik. Pukulan tersebut merupakan bentuk takzir
yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak yang enggan melaksanakan sholat
ketika umurnya telah mencapai sepuluh tahun.[19]
c.
Atsar
Sahabat
‘Adl bin Yusuf
al-‘Azazi, Abdul ar-Razak dalam kitabnya al-Mushnaf beliau mengatakan,
‘Bahwasanya Umar pernah memerintahkan untuk membakar sebuah kedai penjual
khamar dari pemilik yang bernama Ruwasyid al-Tsaqofi dan mengatakan kamu Fuwaisyiq
laa Ruwaisyid (orang fasik kecil dan bukan orang yang lurus), dan juga Ali
yang memerintahkan untuk membakar sebuah desa yang di dalamnya melakukan jual
beli khamar.’[20]
3.
Kriteria Umum Takzir
Takzir memiliki
kriteria atau ciri khas tersendiri diantara hukuman yang telah ditetapkan dalam
Islam seperti Had[21],
Qishas[22],
Diyat[23],
Kafarah[24]
dan lain sebagainya. Diantara kriteria Takzir adalah,[25]
a.
Takzir
adalah jenis hukuman yang tidak memiliki takaran yang ditentukan dalam syara’
Dalam hukuman
yang telah ditentukan ukurannya dalam Islam, seperti Had, Qishas, Diyat,
Kafaroh dan lain sebagainya, maka dalam hal ini seorang Imam tidak memiliki
hak untuk mengganti, mengurangi bahkan menambah hukuman tersebut. Adapun
Takzir, ia termasuk jenis hukuman yang hanya memiliki dua takaran
yaitu berat dan ringan seperti cambuk dan penjara. Adapun yang memiliki
kebebasan untuk memilih hukuman bagi pelaku jariman adalah imam.[26]
b.
Pemaafan
dari Imam
Jika takzir tersebut
berkaitan dengan hak Allah. Menurut ulama Hanafiyah[27]
dan Hanabilah[28],
tidak ada pemberian maaf baik dari pihak korban maupun imam. Jika, diantara
keduanya baik dari pihak korban maupun imam memberikan maaf terhadap pelaku,
maka pemberian maaf tersebut tidak dianggap, dan tidak berpengaruh sedikitpun
terhadap gugurnya hukuman.
Sedangkan
menurut ulama Malikiyah[29]
dan Syafi’iyah[30],
penegakkan hukuman takzir seluruhnya diserahkan kepada imam, dan dibolehkan
melakukan pemberian maaf di dalamnya. Pendapat yang rajih dari kedua pendapat
diatas adalah dengan cara menggabungkan kedua pendapat tersebut yaitu dimana
telah diketahui bahwa hukum asli penegakkan takzir yang terkait dengan hak
Allah adalah wajib, akan tetapi jika imam melihat ada kemaslahatan besar ketika
imam memaafkan pelaku, maka dalam kondisi tersebut pemberian maaf terhadap
pelaku adalah tindakan yang paling tepat.[31]
Menurut
imam Mawardi, selama takzir tersebut terkait dengan hak adami, maka
diperbolehkan bagi imam untuk memberikan maaf kepada pelaku. Jika pelaku
meminta maaf atas kesalahannya. Adapun jika perbuatan pelaku berhubungan dengan
hak adami Seperti memukul atau mencaci orang lain maka, orang yang
dicaci dan orang yang dipukul memiliki hak untuk membalas pelaku. Akan tetapi jika
orang yang dicaci dan dipukul telah memaafkan kesalahannya, maka hukuman takzir
gugur terhadapnya.[32]
c.
Hukuman
yang tidak terbatas pada dakwaan atau tuduhan semata
Seperti yang
dilakukan oleh wali hakim atau semisalnya dalam pengangkatan masalah yang
diangkat kepada hakim berdasarkan ketentuan Allah, dalam hal menghilangkan kemudharatan
(bahaya) dan mencegah kemungkaran, serta yang telah menegakkan hukum Allah.
Adapun tujuan takzir adalah sebuah didikan dan penjegahan kepada yang mungkar.
Maka, diperbolehkan untuk mentakzir anak kecil yang telah berakal sebagi bentuk
didikan terhadapnya. Adapun had, menurut sebagian ulama mengatakan bahwa
had tidak terbatas hanya dengan dakwaan atau tuduhan. Adapun sebagian
yang lain berpendapat bahwa hanya terbatas pada dakwaan atau tuduhan seperti, qadzaf[33],
sariqoh[34],
dan qishas, adapun anak kecil tidak dikenakan hukum had maupun qishas.[35]
d.
Kadar
Takzir disesuaikan pada setiap pelaku
dan tingkat kejahatan yang ia lakukan
Ketika
seorang imam menghukum seseorang dengan hukuman berupa takzir, maka imam
tersebut akan menyesuaikan hukuman dengan kondisi pelaku dan besar atau
kecilnya kadar kejahatan yang ia lakukan. Adapun had, qishas, diyat dan
kafaroh, hanya melihat kadar kejahatan yang ia lakukan tanpa melihat kondisi
pelaku.[36]
4.
Hukum Menegakkan Takzir
Ulama berbeda
pendapat dalam menghukumi penegakkan takzir. Ada dua pendapat mengenai hukum
penegakkan takzir, diantaranya:
a.
Wajib
Disyari’atkan
melaksanakan takzir pada setiap perbuatan maksiat yang sanksinya tidak
ditetapkan dalam hukuman had maupun kafaroh, maka wajib menegakkan
takzir menurut pendapat ulama Hanafiyah[37]
Malikiyah[38]
dan Hanabilah.[39]
Berdasarkan firman Allah:
£`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
“Perempuan-perempuan
yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu bri nasehat kepada
mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu)
pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
alasan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (Q.S
an-Nisa: 34).
Ayat diatas
menjelaskan tentang wajibnya bagi sang suami untuk menaseahti istrinya ketika
para istri nusyuz (membangkang) atas apa yang para suami tetapkan kepada
istrinya, akan tetapi jika ia menolak untuk dinasihati maka pergilah dari
rumah, dan apabila istri tetap membangkang maka pukulanlah ia sebagai bentuk
ketaatan sang suami terhadap perintah Allah dalam rangka meminta hak suami yang
harus dipenuhi istri berupa ketaatan istri terhadap suami.[40] Maka hal diatas jelas menunjukan akan
masyru’iyah ta’dib.
Adapun sabda Rasulullah yang
berkaitan dengan masyru’iyah takzir,
لاَ
تَضَعْ عَصَاكَ عَنْ أَهْلِكَ
“Jangan letakkan tongkatmu dari keluargamu”
(HR. Imam Malik)[41]
Hadits diatas
menjelaskan larangan untuk berhenti mendidik. Setidaknya jika sebuah keluarga
tidak membenarkan akan pukulan untuk mendidik, maka jangan pernah lepas dari
sebuah nasiahat dan peringatan.[42]
Kamudian hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas:
عَنْ اِبْنِ عَباسِ عن النبي – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: يَا يَهُودِيُّ،
فَاضْرِبُوهُ عِشْرِينَ، وَإِذَا قَالَ: يَا مُخَنَّثُ، فَاضْرِبُوهُ عِشْرِينَ،
وَمَنْ وَقَعَ عَلَى ذَاتِ مَحْرَمٍ فَاقْتُلُوهُ
“Dari
Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda: Jika seseorang berkata kepada orang lain: Wahai
Yahudi, maka pukullah ia dua puluh kali, jika ia berkata kepadanya: Wahai banci,
dua puluh kali, dan barangsiapa yang menggauli mahramnya maka bunuhlah ia” (HR.
Tirmidzi)[43]
Hadits diatas
menjelaskan tentang larangan seorang muslim mengatakan kepada muslim lainnya
dengan sebutan Yahudi, banci atau istilah lainnya yang bersifat menghina. Serta
larangan menggauli mahram. Maka, barangsiapa yang melakukan perbuatan diatas, akan
dikenakan sanksi terhadap pelaku berupa cambuk atau bahkan dibunuh sebagai
bentuk hukuman takzir.[44]
Adapun dalil
dari Ijma’ yang berkaitan dengan masyru’iyah takzir ialah berupa kesepakatan
umat akan wajibnya penegakkan takzir terhadap setiap bentuk dosa besar yang
tidak memiliki hukuman had atau setiap tindak kejahatan yang tidak
memiliki had didalamnya.[45]
Sedangkan dalil dari ma’kul ialah, bahwa takzir telah diebutkan dalam
nash terkait masyru’iyahnya, seperti hukuman bagi seseorang yang telah
menggauli istri tetangganya, atau seorang laki-laki yang telah menggauli wanita
musyrik. Adapun jika hukaman tersebut tidak terdapat dalam nash, akan tetapi
dipandang oleh imam memiliki mashlahat yang besar bagi umat maka wajib
menegakkan hukuman takzir terhadap pelaku jarimah tersebut.[46]
b.
Tidak
Wajib
Adapun
ulama yang mengatakan bahwa hukuman takzir tidak wajib adalah pendapat Imam
Syafi’i[47]
dengan dalil:
جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم –، فَقَالَ:يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي
لَقِيتُ امْرَأَةً فِي الْبُسْتَانِ،فَضَمَمْتُهَا إِلَيَّ، وَبَاشَرْتُهَا
وَقَبَّلْتُهَا، وَفَعَلْتُ بِهَا كُلَّ شَيْءٍ، غَيْرَ أَنِّي لَمْ أُجَامِعْهَا؟
قَالَ: فَسَكَتَ عَنْهُ النَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى
لِلذَّاكِرِينَ} (هود: 114)، قَالَ: فَدَعَاهُ النَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم –،فَقَرَأَهَا عَلَيْهِ،فَقَالَ عُمَرُ:
يَا رَسُولَ اللهِ، أَلَهُ خَاصَّةً، أَمْ لِلنَّاسِ كَافَّةً؟ فَقَالَ:
"بَلْ لِلنَّاسِ كَافَّةً"
“Seorang
laki-laki datang kepada Nabi SAW dan berkata: ‘Ya Rasulullah, aku telah
berjumpa dengan seorang wanita di taman lantas menriknya dekat padaku,
memeluknya, menciumnya dan aku telah melakukan semuanya selain berzina.’ Nabi
SAW diam dan turunlah ayat, (Sesunggunhya kabaikan akan memadamkan kejahatan,
itulah peringatan bagi orang-orang yang beringat). Maka Nabi SAW memanggil
beliau dan membaca kepadanya. Maka umar r.a. berkata: ‘Ya Rasulullah, apakah ia
dikhususkan atau berlaku untuk semua manusia,’ maka Nabi SAW berkata: ‘Bahkan
untuk seluruh manusia” (HR. Ahmad)[48]
Hadits
diatas menjelaskan bahwa kata إِنَّ
الْحَسَنَاتِ berarti segala bentuk perbuatan yang mengarah kepada ketaatan
kepada Allah. adapun kata يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ berarti segala perbuatan buruk yang telah
dilakukan akan dihapuskan ketika seseorang telah melakukan amal kebaikan.
Hadits ini berlaku umum untuk seluruh manusia. Maka dengan hal ini menujukkan
bahwa hukum takzir adalah tidak wajib. [49]
Pendapat yang paling Rajih dari dua pendapat diatas adalah
pendapat Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah, yang mengatakan bahwa hukuman
takzir adalah hukuman yang masyru’. Serta wajib hukumnya menegakkan takzir
terhadap pelaku dosa besar yang tidak memiliki sanksi yang terdapat dalam
hukuman had maupun kafaroh.
5.
Macam-macam Takzir
Abdul Qadir
Audah[50]
mengatakan dalam kitabnya at-Tasyri’ al-Jana’i al-Islami bahwa takzir
terdiri dari tiga macam. Pertama, Takzir terhadap kemaksiatan, Kedua, Takzir
untuk kemaslahatan umum bukan karena suatu kemaksiatan. Ketiga, Takzir
dalam masalah makruh dan mandub.[51]
a.
Takzir
terhadap kemaksiatan
Takzir terhadap
pelaku maksiat adalah jenis takzir yang diberlakukan pada setiap
tindakan yang dzatnya secara syar’i diharamkan. Menurut kesepakatan ulama,
bahwa takzir ini diberlakukan untuk setiap perbuatan maksiat yang tidak
memiliki had maupun kafaroh yang ditetapkan secara pasti dalam
nash. Perbuatan maksiat tersebut mencakup setiap kemaksiatan yang berhubungan
dengan hak Allah maupun hak hamba.[52]
Diantara
bentuk pelanggaran terhadap hak Allah adalah suatu pelanggaran yang bersifat
hak jama’i (masyarakat) atau pelanggaran terhadap peraturan-peraturan
yang telah ditetapkan. Adapun bentuk pelanggaran terhadap hak hamba adalah
bentuk pelanggaran terhadap hak yang bersifat perorangan atau indivdu.Sedangkan
yang dimaksud dengan maksiat adalah melakukan segala sesuatu yang dilarang
dalam islam dan meninggalkan setiap yang diwajibkan dalam islam. Adapun
macam-macam maksiat terbagi menjadi tiga,[53]
Pertama, setiap bentuk
maksiat yang di dalamnya dikenakan sanksi had atau kafaroh.
Seperti membunuh, mencuri, berzina, dan lain sebagainya yang termasuk dalam
kategori pelanggaran dalam had, qishas maupun diyat, yang
sanksinya telah ditetapkan dalam syari’at.[54]
Kedua, setiap bentuk
maksiat yang di dalamnya dikenakan sangsi berupa kafaroh bukan had.
Seperti, melakukan hubungan sumi istri ketika disiang hari bulan Ramadhan dan
ketika ihram. Dapat diketahui bahwasanya kafaroh pada dasarnya merupakan bentuk
suatu ibadah, seperti membebaskan budak, berpuasa dan memberi makan orang
miskin. Karena jika hal tersebut dikerjakan bukan karena suatu pelanggaran,
maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai ibadah yang murni.[55]
Adapun
bentuk kemaksiatan dalam hal ini terletak pada rusaknya ihram, rusaknya puasa,
pelanggaran sumpah, dan melakukan hubungan suami istri ketika haid dan dzihar.
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat dalam bolehnya memberikan hukuman takzir
pada jenis maksiat diatas. Sebagian ulama ada yang berpendapat tidak dikenakan
takzir, cukup dikenakan sanksi kafaroh saja. Sebagian ulama yang lain
berpendapat dan inilah pendapat yang rajih bahawasanya tidak boleh
menggabungkan antara kafaroh dan takzir.[56]
Ketiga, setiap
perbuatan maksiat yang tidak dikenakan sanksi had maupun kafaroh.
Seperti, mencium wanita yang bukah mahrom dengan syahwat, mencoba untuk mencuri,
memakan bangkai dan lain sebagainya. Dalam hal ini ulama bersepakat, bahwa
tidak ada hukuman untuk jenis kemaksiatan ini kecuali takzir.[57]
Adapun
maksiat yang tidak dikenakan sanksi had maupun kafaroh sangat
banyak macamnya, dan tidak keluar dalam tiga lingkup di bawah ini,[58]
diantaranya:
1)
Jenis
tindak kejahatan yang masuk pada kategori had, akan tetapi tidak dihukum
had. Seperti mencuri dalam kondisi tidak sadar, atau mencuri yang tidak sampai nishab
(kadar terkena hukum had).
Dapat diketahui bahwa hukum asli dari
mencuri adalah had berupa potong tangan. Akan tetapi jika pencurian
tersebut tidak memenuhi syarat ditegakkannnya hukuman had, seperti mencuri
tidak mencapai nishab atau mencuri dalam kondisi tidak sadar, maka tidak
dikenakan had atasnya melainkan dikenakan takzir.
2)
Jenis
tindak kejahatan yang disyari’atkan had didalamnya, akan tetapi dilarang
keras untuk menegakkan had didalmnya. Seperti, menyetubuhi istri di
duburnya, seorang ayah yang membunuh anaknya, maka dalam hal ini tidak berlaku
hukum had atasnya melainkan hukum takzir.
3)
Jenis
tindak kejahatan yang tidak disyari’atkan had di dalamnya. Seperti memakan
bangkai, anjing, babi, darah dan makanan lain yang diharamkan oleh syari’at.
Kemudian melakukan persaksian palsu, memakan harta riba, mencela seorang muslim
dan masih banyak lagi. Maka hukuman yang ditegakkan atasnya adalah hukuman
takzir
Dari berbagai
penejalasan menegani hukum takzir terhadap pelaku maksiat. Maka ulama sepakat bahwa
salah satu sebab wajibnya menegakkan takzir adalah karena seseorang melakukan
maksiat yang sanksinya tidak terdapat dalam had atau hukuman yang telah
Allah tentukan kadarnya. Baik kemaksiatan berupa pelanggaran yang berkaitan
dengan hak Allah. Seperti meninggalkan shalat, puasa dan ibadah semisal
lainnya. Atau pelanggaran yang berkaitan dengan hak adami (hamba). Seperti
segala perbuatan yang menyakiti muslim yang lain baik dengan perkataan, maupun
perbuatan.[59]
b.
Takzir
untuk kemaslahatan umum, bukan karena suatu kemaksiatan
Menurut kaidah
umum, takzir tidak dapat dijatuhkan kecuali pada tindak kemaksiatan yang jelas
pengharamannya tercantum dalam nash. Akan tetapi terdapat pengecualian terhadap
kaidah umum tersebut. Yaitu, berupa penegakkan takzir terhadap selain maksiat
dengan artian setiap perbuatan yang tidak dijelaskan dalam nash akan
pengharamannya.[60]
Dengan begitu
ketika imam tidak menghukum pelaku, yang melakukan setiap perbuatan yang secara
nash tidak diharamkan, demi mendapatkan kemaslahatan yang besar, maka ini
diperbolehkan.[61]
c.
Takzir
Terhadap Masalah Makruh dan Mandub
Pada asalnya
hukuman takzir hanya ditegakkan terhadap seseorang yang melaksanakan apa-apa
yang diharamkan dan meninggalkan apa-apa yang diwajibkan. Ulama sepakat akan
hal ini. Akan tetapi ulama berbeda pendapat mengenai hukuman takzir terhadap
seseorang yang melakukan sesuatu yang dimakruhkan, dan meninggalkan sesuatu
yang disunnahkan. Maka dalam hal sebagian ulama berpendapat tidak dikenakan
takzir,[62]
dan sebagian lagi berpendapat dikenakan hukuman takzir.[63]
Adapun sebab
perbedaan ulama mengenai hukum takzir terhadap pelaku yang melakukan hal makruh
dan meninggalkan yang mandub adalah dalam mendefinisikan keduanya. Sebagian
ulama yang mengatakan bahwan tidak terdapat takzir pada hal yang makruh dan
mandub, mendefinisikan makruh sebagai sebuah pilihan untuk melakukan larangan,
adapun mandub sebuah pilihan untuk melakukan hal yang diperintahkan. Dengan
kata lain makruh bukanlah sebuah larangan dan mandub bukanlah sebuah perintah. Karena hukuman itu tidak dapat dijatuhkan
terhadap orang yang tidak dibebani.
Adapun ulama
yang mengatakan bahwa boleh menegakkan takzir terhadap hal yang makruh dan
mandub, karena mereka mendefinisikan makruh sebagai sebuah pelarangan tanpa pilihan
adapun mandub sebagai sebuah perintah tanpa pilihan.[64]
Ulama yang membolehkan menegakkan takzir mensyaratkan bahwa penegakkan takzir
dapat dilakukan ketika pelaku telah mengulangi kesalahannya untuk kedua kalinya.[65]
Jika perbuatan
di atas dilakukan atas dasar sikap apatis terhadap kemaslahatan umum atau
peraturan umum, maka ia dijatuhi sanksi tidak berdasarkan pada perbuatan
tersebut dan tidak pula dilakukan berulang, melainkan didasarkan pada sikap
apatisnya terhadap kemaslahatan umum yang terwujud dari pelakunya.[66]
6.
Bentuk-bentuk Penerapan Takzir
Bentuk-bentuk
penerapan takzir atau macam-macam bentuk perlakuan hukuman pada takzir memiliki
banyak jenis. Hal ini disebabkan karena tidak ada nash yang secara jelas
membahas tentang takaran bentuk hukuman dalam takzir. Maka dari itu ulama
banyak mengkategorikan bentuk perlakuan hukuman takzir berdasarkan
hadits-hadits nabi yang ada.[67]
Diantara
bentuk-bentuk penerapan takzir dapat berupa teguran, pukulan, penjara, celaan, hajr
bil kalam (melarang semua orang untuk tidak berbicara dengannya),
mengasingkan diri dari tempat tinggalnya, atau muka masam yang diberikan olah
imam terhadapnya dan masih banyak lagi.[68] Seperti
yang telah dijelaskan di atas, bahwa takzir tidak memiliki batasan maksimal
maupun minimal. Akan tetapi perlu diketahui bahwa takzir dapat berubah menjadi
bentuk sebuah pembunuhan, jika tidak ada cara lain yang dapat digunakan untuk
menghilangkan mudharat (bahaya) kecuali dengan cara tersebut. Seperi sabda
Rasulullah SAW:
(( إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ، فَاقْتُلُوْا الآخَر
مِنْهُمَا ))
“Apabila terdapat dua khalifah yang dibai’at,
maka bunuhlah salah satunya” (HR. Muslim dan Baihaqi)[69]
((مَنْ أَتَاكُمْ
وَ أَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ
أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ))
“Barangsiapa mendatangi kalian dan
memerintahkan kalian semua dengan maksud untuk memecah persatuan kalian dan
menceraiberaikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia!” (HR.Muslim)[70]
Hadits pertama menjelaskan akan larangan mengangkat dua imam.[71]
Sedangkan hadits kedua menjelaskan tentang larangan untuk memecah belah
jamaa’ah.[72]
Kedua hadits diatas menjadi bukti akan hukuman takzir berupa pembunuhan.
Diantara bentuk kejahatan lainnya yang beresiko terkena takzir
berupa pembunuham adalah, menikahi istri ayah,[73]
minum khamar untuk kesekian kalinya setelah jatuhnya had terhadapnya,[74]
menuduh tetangganya dengan tuduhan yang jelek[75]
dan lain sebagainya.
7.
Syarat-Syarat Wajib Hukum Takzir
Syarat hukuman takzir dapat dilakukan apabila, pertama adanya
seorang pemimpin atau qadhi dengan kriteria yaitu laki-laki, merdeka mujatahid,
mempunyai pengaruh, memilikianggota badan yang berfungsi normal dari
pendengaran, pengelihatan, dan dapat berbicara, serata memutuskan perkara melihat
dari masalah dunia dan agama.[76]
Kedua, supaya hukuman takzir dapat dijatuhkan atau bisa
dilaksanakan adalah hanya dengan satu syarat yaitu berakal saja. Maka hukuman
takzir hanya dijatuhkan kepada orang yang berakal yang melakukan suatu
kejahatan yang tidak memiliki ancaman had atau kafarat. Baik itu
laki-laki maupun perempuan, muslim atau kafir, baligh atau anaka kecil
(mumayyiz). Karena mereka semua delain anak kecil mereka memiliki kelayakan
untuk mendapat hukuman. Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz, maka ia
ditakzir, namun statusnya bukan untuk menghukum melainkan mendidik dan
memberikan pelajaran (ta’dib).[77]
Patokan dan kriteria hukuman takzir adalah setiap orang yang
melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain tanpa hak (tanpa alasan yang
dibenarkan) baik dengan ucapan, perbuatan maupaun isyarat, baik korbannya
seorang muslim atau kafir.[78]
Orang yang berhak dalam memberikan takzir
Takzir sama halnya dengan had, maka dalam pelaksanaan
hukuman takzir mengikuti kebijakan imam dan tidak ada yang berhak mentakzir
selain imam. Namun ada pengecualian pada tiga orang yang berhak memberikan
takzir, yaitu seorang ayah, suami, seorang hakim atau tuan.[79]
Pertama, seorang ayah atau yang semakna dengannya dalam hal mendidik
seorang anak kecil. Seperti seorang pengajar atau guru maka dia berhak
menghukum seorang anak didiknya yang meninggalkan sholat atau puasa. Memberikan
takzir tersebut bertujuan untuk memberi pelajaran atau mengajarkan akhlak yang
baik dan mencegah dari kemaksiatan. Maka dalam dalam masalah pengasuhan anak
seorang ibu juga sama seperti ayah. Sesuai dengan syariat bahwa seorang ayah,
kakek, atau guru yang memiliki hak dalam mendidik seorang anak
Kedua, seorang suami berhak untuk memberikan hukuma takzir kepada
istrinya ketika istri membangkang pada dirinya, atau pada hak Allah. seperti
dalam pelaksanaan shalat dan puasa Ramadhan. Jika hukuman takzir tersebut
dilihat dapat memberikan perbaikan pada istrinya. Karena semuanya dalam
bertujuan dan dalam rangka memeritahkan pada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Ketiga, seorang hakim atau seorang tuan atau seorang yang memiliki
kuasa pada seorang budak. Maka ia berhak memberikan hukuman takzir kepada
budaknya dalam perkara yang menyangkut hak Allah maupun hak Adami.[80]
8.
Kaidah dan Dhawabit Takzir
Dalam pelaksanaan hukuman takzir harus diperthatikan beberapa
ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaannya, tidak bisa takzir diterapkan kepada
seseorang secara langsung dan sama rata dengan yang lainnya. Akan tetapi ada kaedah-kaedah
atau rambu-rambu dalam penetapan hukuman takzir kepada seseorang. Maka hukuman
takzir itu sendiri memiliki beberapa kaidah yang dipakai dalam penerapannya itu
sendiri,[81]
diantaran beberapa kaedah tersebut adalah:
a.
Hukuman takzir sesuai dengan kadar perbuatan dosa
yang dilakukan
Yaitu bahwa sebuah hukuman harus sesuai dengan perbuatan dosa yang
dikerjakan. Dengan syarat perbuatan kejahatan itu mewajibkan dilaksanakannya
hukuman. Adapun maksud dari hukuman tersebut terlaksana yaitu memberi efek jera
bagi pelaku maksiat serta adanya tindakan penjegahan untuk kemaslahatan
masyarakat
b.
Hukuman
sesuai dengan kondisi pelaku kejahatan
Bahwa
seorang hakim dalam memutuskan suatu hukuman harus melihat kondisi pelaku
kemaksiatan. Hukuman yang dijatuhkan harus sesuai dengan kondisi pelaku maksiat
apakah dia seorang budak atau seorang yang merdeka ataupun selainnya. Karena
setiap orang berbeda-beda kondisinya ketika melakukan kemaksiatan tersebut.
c.
Adanya
tahapan dalam menghukumi
Bahwa dalam memutuskan hukuman kepada pelaku maksiat harus
memperhatikan tahapan-tahapan dalam penegakkan hukuman takzir yang akan
dijatuhkan kepada pelaku maksiat. Mawardi berkata: ‘Tingkatan manusia berada
pada derajatnya, maka dalam masalah ketentuan had manusia semua sama
tidak ada yang membedakan, akan tetapi dalam masalah takzir maka harus dilihat
dari kemampuannya dalam menerima hukuaman takzir.’[82]
d.
Pertimbangan
dalam takzir harus dilihat dari sisi tujuan masalah
Seorang pemimpin adalah wali bagi rakyatnya berkaitan dengan
masalah umum dan ketatanegaraan. Maka segala kebijakan seorang pemimpin harus
melihat keselarasan dengan kemaslahatan umum.
e.
Semua
jenis kemaksiatan yang tidak ada ukuran hukumannya masuk dalam hukum takzir
Perbuatan maksiat telah ditetapkan oleh Allah untuknya hukumann
yang berkaitan dengannya seperti had perbuatan zina, murtad, pencurian
dan lain sebagainya. Maka itu termasuk hak-hak Allah, dan hukuman yang tidak
memiliki kadar hukuman had dan kafarahnya maka perbuatan tersebut
masuk kepada hukum takzir.
f.
Pertimbangan
dari penjagaan kehormatan manusia
Bukti keluasan syari’at islam ialah dalam melindungi kehormatan
seorang manusia dan penjagaannya. Dimana Allah sendiri memuliakan manusia
dengan mengangkat derajat mereka dari makhluk-makhluk lainnya.
g.
Pertimbangan
hukuman takzir harus ditinjau nash syar’iyah dan kaidahnya
Bahwa hukuman yang telah ditetapkan tidak bisa dijadikan atau
dianggap sebagai hukuman bagi pelaku maksiat kecuali ia bersandarkan pada kitab
Allah dan sunnah atau dikuatkan oleh ijtihad para ulama.
h.
Metode
penghukuman yang adil dan sesuai
Bahwa adanya persamaan
disetiap sisi, adil dalam menempatkan hukum, dan tidak membedakan antara
manusia maka disemua hadapan hukum itu sama semua. Tidak ada pilih kasih dalam
hukuman takzir antara satu dengan yang lainnya baik itu seorang muslim maupun
non-muslim.
9.
Sebab Penghalang dan Jatuhnya
Hukuman Takzir
Takzir
memilki kriteria pelaku yang terhalang untuk mendapatkan hukuman takzir. Takzir
juga memiliki kondisi dimana hukuman tersebut dapat gugur terhadap pelaku.
Diantara kriteria pelaku yang terhalang untuk mendapatkan takzir sekalipun ia
melakukan jarimah, mereka adalah orang yang terpaksa atau dipaksa untuk
melakukan tindak kejahatan, orang yang sedang mabuk, dan anak kecil yang belum
mumayyiz.[83]
Adapun
kondisi yang menyebabkan gugurnya takzir terhadap pelaku ialah ketika ia telah
bertaubat, ketika telah dimaafkan oleh korban (orang yang ia sakiti) dan ketika
kematian datang menjemput sebelum ditegakkan hukuman takzir terhadapnya.[84]
10.
Hikmah Disyariatkannya Takzir
Sepertihalnya
hikmah dari pensyari’atan hukuman had bahwa syari’at ialah melarang atau
mencegah dari perbuatan meninggalkan suatu kewajiban. Pada hakekatnya tujuan
hukuman tersebuat adalah untuk membersihakan dan memperbaiki pelaku maksiatan
dan bentuk perlindungan bagi masyarakat. Selain itu diantara hikmah hukuman
takzir ialah menggugurkan dosa pelaku jarimah sehingga ia bebas untuk mendapat
adzab ketika di akhirat. Dengan artian ketika diakhirat Allah tidak akan
mnyiksanya atas dosa jarimah yang telah ia lakukan di dunia. Seperti sabda
Rasulullah SAW:
تَعَالَوْا بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لاَ
تُشْرِكُوا بِا اللهِ شَيْئًا، وَ لاَ تَسْرِقُوا، وَلاَتَزْنُوا، وَلاَ تَقْتُلُوا
أَوْلاَدَكُمْ، وَ لاَ تَأْتُونَ بِبُهْتَانٍ، تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيْكُمْ
وَأَرْجُلِكُمْ، وَ لاَ تَعْصُونِي فِي مَعْرُوفٍ، فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ
عَلَى اللهِ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ بِهِ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ
لَهُ كَفَّارَةٌ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ
شَيْئًا فَسَتَرَهُ الله فَأَمَرَهُ إِلَى الله، وَ إِنْ شَاءَ عَاقِبَهُ، وَ إنْ شَاءَ
عَفَا عَنْهُ
“Saya membai’at kalian agar kalian tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak
membunuh anak-anak kalian, dan tidak mengada-adakan kebohongan yang kalian
ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, dan tidak membangkuku dalam perkara
ma’ruf. Maka barangsiapa diantara kalian memenuhi baiatnya, ganjarannya berada
si sisi Allah. Barangsiapa melanggar janjinya, lantas Allah menhukumnya di
dunia, maka yang demikian sebagai bentuk kaffarah dosanya. Dan barangsiapa yang
Allah menutupinya (membiarkannya), maka yang demikian terserah Allah, jika
berkehendak Allah akan menyiksanya, dan jika berkehenfak Allah akan
mengampuninya.” (HR. Bukhari)[85]
Hadits
diatas menjelaskan bahwasanya ketika seseorang melakukan perbuatan dosa yang
disana terkena atau telah ditetapkan hukuman dalam Islam baik berupa takzir
maupun had, maka hukuman tersebut merupakan bentuk kafaroh atau pengampunan
dari dosa yang telah ia kerjakan,[86]
dan ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah terhadap hambanya agar
kelak diakhirat terbukti bahwa dosa yang ia lakukan telah gugur ketika di
dunia. Ini merupakan bentuk hikmah dari penegakkan takzir.
B.
KAJIAN UMUM TENTANG NON-MUSLIM
1.
Definisi Non-Muslim
Definisi
non-muslim dapat dilihat dari pengertian muslim dengan mendapat kata imbuhan
non, yang berarti tidak atau bukan. Maka non-muslim berarti orang yang tidak
beragama Islam atau bukan orang muslim.[87] Dengan
demikian, pengertian non-muslim mempunyai makna yaitu, pemeluk agama selain
agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW, yaitu agama Islam.
Dalam
Islam non muslim disebut juga dengan Kafir, yang secara etimologi diambil dari
kata كفر- يكفر- كفرا yang artinya menutup, menghalangi dan menolak.[88]
Malam hari juga disebut kafir (al-Kufru), karena ia menutup segala
sesuatu.[89]
Al-Kufru juga lawan kata dari iman, disebut dengan itu karena menutupi
kebenaran. Setiap sesuatu yang menutupi yang lain, berarti ia telah menutupinya
(Kaffarahu).[90]
Adapun
kafir (al-Kufru) secara terminologi adalah menutupi, menentang kebenaran dan
mengingkarinya.[91]
Sama saja disertai kedustaan ataupun tidak, baik berupa keraguan, penentangan,
hasad (iri), sombong, ataupun mengikuti hawa nafsu, sehingga menghalangi untuk
mengikuti Risalah Nabi Muhammad SAW. Jika terdapat kedustaan, itu merupakan
kekufuran yang besar, begitu juga jika menentang, mendustakan, serta hasad
(iri) atas keyakinan dan kebenaran Nabi Muhammad SAW.[92]
Al-Kufru juga bisa
berarti menentang apa-apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, atau menentang
sebagiannya. Seperti mengingkari adanya Sang Pencipta, kenabian Rasulullah SAW,
mengingkari adanya keharaman zina, dan lain sebagainya.[93]
2.
Macam-macam Non-Muslim
Ketika sebuah
daerah telah diberlakukan hukum islam di dalamnya, dan masyarakat yang hidup di
daerah tersebut adalah mayoritas muslim, maka daerah tersebut dapat
dikategorikan sebagai Daar Islam.[94]
Dimana selurun rakyat yang hidup di daerah tersebut harus taat dalam mengikuti
hukum Islam yang telah ditetapkan didalamnya, baik muslim maupun kafir. Jika Darul
Islam tersebut telah terbentuk, maka kategori kafir terbagi menjadi beberapa
macam, diantaranya:
a.
Kafir
Harbi
Kafir harbi
adalah orang kafir yang memerangi umat islam
dan halal darahnya untuk ditumpahkan (dibunuh/diperangi). Mereka adalah
orang kafir yang tidak memiliki jaminan keamanan dari kaum mulimin atau
pemimpinnya, tidak dalam perjanjian damai dan tidak membayar jizyah kepada kaum
muslimin sebagai jaminan keamanan bagi mereka.[95]
Merekalah yang diperintahkan oleh Allah untuk diperangi. Seperti yang dicantum
dalam firman Allah SWT:
(#qè=ÏG»s%ur Îû È@Î6y «!$# tûïÏ%©!$# óOä3tRqè=ÏG»s)ã wur (#ÿrßtG÷ès? 4 cÎ) ©!$# w =Åsã úïÏtG÷èßJø9$# ÇÊÒÉÈ öNèdqè=çFø%$#ur ß]øym öNèdqßJçGøÿÉ)rO Nèdqã_Ì÷zr&ur ô`ÏiB ß]øym öNä.qã_t÷zr& 4 èpuZ÷FÏÿø9$#ur x©r& z`ÏB È@÷Gs)ø9$# 4 wur öNèdqè=ÏG»s)è? yZÏã ÏÉfó¡pRùQ$# ÏQ#tptø:$# 4Ó®Lym öNä.qè=ÏF»s)ã ÏmÏù ( bÎ*sù öNä.qè=tG»s% öNèdqè=çFø%$$sù 3 y7Ï9ºxx. âä!#ty_ tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÊÒÊÈ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat
mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari
pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika
mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat
itu), Maka bunuhlah mereka. Demikanlah Balasan bagi orang-orang kafir.” (QS.
al-Baqoroh: 190-191)
Ayat di atas menjelasakan tentang wajibnya membunuh atau memerangi
orang kafir ketika mereka menyerang umat islam terlebih dahulu. Ayat di atas adalah
ayat yang pertama kali turun menegenai perang di Madinah. Setelah ayat ini
turun, maka Rasulullah memerangi orang-orang yang telah memeranginya dan
membiarkan orng-orang yang tidak memeranginya.[96]
b.
Kafir
Dzimmi
Kafir dzimmi
adalah sekelompok orang kafir yang tinggal di negeri muslim, memiliki
perjanjian (damai) dengan kaum muslimin, membayar pajak (jizyah atau keamanan
atau upeti sebagai kpmpensasi pemerintah Islam terhadap harta dan darahnya atau
jiwanya. Ketika mereka tidak mampu untuk membayar jizyah, maka jizyah tersebut
dapat digugurkan darinya) kepada pemerintah Islam dan ditegakkan kepada mereka
hukum-hukum Islam.[97]
c.
Kafir
Muasta’man
Kafir musta’man
adalah sekelompok orang kafir yang datang dari negara kafir, baik utusan,
pedagang atau selainya yang memiliki jaminan keamanan dari penguasa atau imam
atau seorang muslim.[98]
d.
Kafir
Mu’ahad
Kafir Mua’ahad
adalah sekelompok orang kafir yang memiliki perjanjian (terikat perjanjian
damai, perjanjian dagang dan lain sebagainya) dengan kaum muslimin yang berada
atau bertugas di negri kaum muslimin tidak boleh disakiti, selama mereka
menjalankan kewajiban dan perjanjiannya.[99]
3.
Status Pemberlakuan Takzir Terhadap Non-Muslim
Ketika Dar
Islam telah berdiri tegak. Maka seluruh masyarakat yang tinggal di dalamnya
baik itu orang kafir maupun kaum muslimin wajib menjalankan seluruh hukum Islam
yang berada di dalam daerah tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan Dar Islam sendiri
adalah, ketika masyarakat yang tinggal di dalamnya mayoritas muslim serta
hukuman yang dipakai atau yang ditegakkan di dalamnya adalah hukum Islam.
Dengan begitu seluruh masyarakat yang melanggar hukum Islam yang telah
ditetapkan di daerah tersebut, waka wajib baginya untuk mendapatkan hukuman
baik berupa takzir maupun had, baik muslim maupun kafir.[100]
[1] Dapertemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cet ke-3,
(ttp.: t.p, t.t.), hlm. 1126
[2] Ibnu Manzur, Lisan
al-‘Arab, cet ke-2, (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2009), hlm. 647
[3] Muhammad Amin
asy-Syahir bi Ibni ‘Abidin, Dar al-Mukhtaar ‘ala ad-Dari al-Mukhtaari Syarhu
Tanwir al-Abshor, jilid. 6, (Riyad: Daar ‘Alimu al-Kutub, 2003), hlm. 103
[4] Ahmad bin
Idris al-Qarafy, adz-Dzakhirah, cet ke-1, (Bairut: Dar al-Gharby
al-Islami, 1994), jilid. 12, hlm. 188
[5] Burhanuddin Abi al-Wafa’, Tabsyirah
al-Hukkam fi Ushul al-Aqdhiyah wa Manahij al-Ahkam, (Bairut: Dar al-Kutub
Al-Ilmiyah, 2003), jilid. 2, hlm. 200
[6] Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, al-Ahkam
as-Sulthaniyah wa al-Wilayah ad-Diniyah, cet ke-3, (Mesir: Mustafa al-Babi
al-Hilli, 1393) hlm. 236
[7] Syamsuddin
Muhammad bin Abi Abbas ar-Ramly, Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj,
cet ke- 3, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), jilid.8, hlm. 16
[8] Ibnu Qudamah,
al-Mughni, jilid. 12, cet ke-3, (Riyad: Dar ‘Alima al-Kutub, 1997), hlm.
523
[9] Al-Hajawi, al-Iqna’
lithalib al-Intifa’, cet ke-3, (Riyad: Dar al-Milki Abdul Aziz, 2002),
jilid. 4, hlm. 243
[10] Nama lengkap beliau adalah Wahbah bin
Musthafa az-Zuhaili, anak dari pasangan Musthafa az-Zuhaili dan Hajjah Fathimah
binti Musthafa Sa’adah. Beliau lahir di Dar ‘Atiyah Kecamatan Faiha, Profinsi
Damaskus Suriah pada tahun 1932 M. Sejak kecil beliau sudah mengenal
dasar-dasar keislamannya. Menginjak usia 7 tahun beliau bersekolah dikampungnya
hingga sampai pada tahun 1946. Kemudian beliau menghabiskan pendidikan
menegahnya pada tahun 1952 beliau mendapatkan ijazah, yang merupakan langkah
awal untuk melanjutkan keperguruan tinggi yaitu Fakultas Syariah Universitas
Damaskus, hingga meraih gelar sarjana pada tahun 1953 M. Kemudian beliau
mengambil gelar doktornya di Universitas Azhar Kairo. Pada tahun 1963 maka
resmilah beliau sebagai Doktor dengan desertasinya yang berjudul Atsar
al-Harb fi al-Fiqhi al-Islami.
Beliau
merupakan ulama kontemporer di abad 20. Beliau sangat ahli dalam bidang fiqih
dan tafsir. Diantara guru-guru beliau adalah Muhammad Hasim al-Khatib
asy-Syafi’, Muhammad ar-Rankusi, Judat al-Mardini dan masih banyak lagi.
Diantara karya-karya beliau adalah al-Wasit fi Ushul al-Fiqh, Fiqhi Islam wa
Adillatuhu, Tafsir al-Munir dan masih banyak lagi. Beliau wafat pada 8 Agustus
2015 di Suriah. Biografi beliau bisa di lihat di,
https://en.wikipedia.org/wiki/Wahbah_al-Zuhayli, diakses pada tanggal 11
Februari 2018, pada pukul 14:52
[11] Wahbah
az-Zuhaili, al-Wajiz fi Fiqhi al-Islami, jilid. 2,cet ke-1, (Damaskus:
Dar al-Fikri, 2005), hlm. 421
[12] Muhammad bin
Ahmad bin Abi Sahl Syamsu al-aimmah as-Sarkhosi, al-Mabsuth, jilid. 9,
(Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1993), hlm. 81
[13] Wahbah
az-Zuhaili, al-Wajiz fi Fiqhi al-Islami.... hlm. 421
[14] Abi al-Fidaa Ismail bin Umar, Tafsir al-Qur’an
al-‘Adzim, cet ke-2, (Riyad: Daar Tibah lin Nasyr wa Tauzi’, 1999),
jilid.2, hlm. 295
[15] Ibid
[17]Abdurrahman
al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh ‘Ala Madzahibi al-Arba’ah, (Berut, Dar
al-Kutub al-Ilmiah,1990) jilid.5 hlm.352
[18] Abi Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats
as-Sijistani, Sunan Abi Dawud , (Beirut: Dar al-Kotob al- ilmiyah,
2015), hlm. 91, hadits no. 495
[19] Abi Thayyib
Muhammad Syamsyu al-Haqqi al-‘Adzim Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarhu Sunan Abi
Dawud, jilid 1, (Kairo: Dar al-Hadits, 2001), hlm. 465
[20] Adl bin Yusuf
al-‘Azzazi, Tamam al-Minnah fi Fiqhi al-Kitab wa Shahihi as-Sunnah,
jilid 4, (Iskandaria: Dar al-‘Aqidah, 2005), hlm. 555
[21] Had adalah
sebuah bentuk ketentuan-ketentuan Allah yang tidak boleh dilarang, atau bisa
diartikan sebagai hukum-hukum Allah, yakni aturan dan batasan-batasan yang
Allah tetapkan, sehingga manusia tidak boleh melanggarnya. Disebut hud atau
hudud karena tidak boleh dilewati. Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqhi
al-Islami..., hlm. 713. An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab,
jilid. 22, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, t.t.), hlm. 3
[22] Qishas secara
bahasa berarti mengikuti jejak. Sedangkan secara istilah berarti membalas
kejahatan pelaku serupa dengan tindak kejahatan yang dilakukan pelaku terhadap
korban, atau membalas tindak kejahatan yang serupa. Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz
fi Fiqhi al-Islami....hlm. 444
[23] Diyat adalah
sebuah denda yang wajib dibayar oleh pelaku tindak kejahatan akibat tindak
kriminal yang ia lakukan terhadap korban. Ibid, hlm. 461
[24] Kafaroh secara
syar’i berarti denda yang harus dibayar karena telah melakukan atau melanggar
suatu ketentuan syara’ (yang mengakibatkan dosa), dengan tujuan untuk menhapuskan,
membersihkan atau menutupi dosa tersebut sehingga tidak ada lagi pengaruhnya
baik di dunia maupun di akhirat. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar/
Tafsir al-Qur’an al-Hakim, jilid. 7, (Kairo: Dar al-Manar, 1947),hlm. 36.
Al-Alusi al-Baghdadi, Ruuh al-Ma’ani, jilid. 7, (Beirut: Dar Ihya’
al-Turats, t.t), hlm. 10
[25] Ahmad Fathy
Bahnasy, at-Ta’zir fi al-Islam, cet ke-1, (Kairo: Muassasatu al-Khaliju
al-‘Arabi, 1988), hlm. 44
[26] Muhammad bi
Ahmad bin Abi Sahl Syamsu al-Aimmah as-Sarkhasi, al-Mabsut, jilid. 9,
(Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1993), hlm. 81
[27] Utsman bin Ali
bin Mahjan al-Bara’i, Fakhruddin az-Zaila’i, Tabyinu al-Haqaiq Syarhu Kanzu
ad-Daqaiq wa Hasyiatu asy-Syilbi, cet ke-1, jilid. 3, (Kairo: al-Mathba’ah
al-Kubra al-Amiriyah, 1313 H), hlm. 208
[28] Mansur bin
Yunus bin Shalahuddin Ibnu Hasan al-Idris al-Bahuti, Daqaiq Ulin Nuha li
Syarhi al-Muntaha al-Ma’ruf bi Syarhi Muntaha al-Iradat, cet ke-1, jilid.
3, (ttp.: t.p., 1993), hlm. 364. Mustafa bin Sa’ad bin ‘Abdihi asy-Syuyuthi, Mathalib
Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatil Muntaha, cet ke-2, jilid. 6, (ttp.,: Maktabah
al-Islami, 1994), hlm. 220-221. Ibnu Qudamah, al-Mughni....jilid. 9,
hlm.178-179
[29] Syamsuddin Abu
Adulullah Muhammad bin Mahmud, Mawahibu al-Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil,
cet ke-3, jilid. 6, (ttp.: Dar al-Fikri, 1992), hlm. 320
[30]Abu
Dzakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudhah at-Thalibin wa
‘Umdatu al-Muftin, jilid. 10, cet ke- 3, (Bairut: al-Maktab al-Islami,
1991), hlm. 176
[31] Hasan ‘Ali Abdu adz-Zhahir, Hauliyah Kuliya
asy-Syar’iyah wa ad-Dirasat al-Islamiyah, cet ke- 4, (ttp.: t.p, 1985),
hlm.550
[32] Ahmad Fathi
Bahnasi, at-Takzir fi al-Islam...hlm. 89
[33] Qadzaf adalah
menuduh seseorang melakukan zina, definisi Qadzaf dapat di lihat di Wahbah
az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’asirah,
jilid. 6, cet ke-1, (Damaskus: Dar al-Fikri, 2010), hlm. 20
[34] Sariqah adalah
mengambil harta orang lain dalam kondisi terjaga. Definisi sariqah dapat di
lihat di Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, jilid. 7,
cet ke-10, (Damaskus: Dar al-Fikri, 2007), hlm. 5422
[35] Muhammad Salam
Madkur, al- Madkhal lil Fiqhi, cet ke- 2, (Kairo: Dar al-Kitab
al-Hadits, 1996), 766. Abdul al-‘Aziz ‘Amir, at-Takzir fi asy-Syari’ah
al-Islamiyah, (ttp.: Dar al-Kitab al-‘Arabi Bashir, 1955), hlm. 50. Falah
sa’ad ad-Dalu, Daur at-Ta’zir fi al-Haddi min al-Jaraim fi al-Mujtama’ al-Islami,
(ttp.: t.p., t.t.), hlm. 17.
[36] Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i
al-Islami...jilid. 1, hlm. 686
[37] Fakhruddin
az-Zaila’i al-Hanafi, Tabyyinu al-Haqaqiq Syarhu Kanzu ad-Daqaiq wa Hasyiatu
asy-Syalbi, cet ke-1, jilid 3, (Kairo: al-Mathba’ah al-Kubra al-Amiriyah,
1313), hlm. 207
[38] Abu Abbas
Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarafi, adz-Dzakhirah, cet ke-1, jilid
12, (Bairut: Dar al-Gharbi al-Islami, 1994), hlm. 119
[39] Mustafa bin
Sa’ad, Mathalib Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatu al-Muntaha, cet ke-2, jilid
6, (ttp.: al-Maktab al-Islami, 1994), hlm. 220-221
[40] Abu Thayyib Muhammad Shadiq Khana bin Hasan, Fathu
al-Bayan fi Maqasid al-Qur’an, jilid 3, (Bairut: al-Maktabah al-‘Ashriyah
li at-Thaba’ah wa an-Nasyar, 1992), hlm.105
[41] Abu al-Qasim Abdurrahman bin Abdillah, Musnad al-Muwatha’ lil-Jauhari,
cet ke-1, (Beirut: Dar al-Gharby al-Islami, 1997), hlm. 408
[42] Abi al-Hasan ‘Ali bin Khalaf, Syarh Shahih
al-Bukhari, cet ke-2, jilid 7, (Riyad: Maktabah ar-Rusydi, 2003), hlm. 312
[43] Muhammad bin
Isa, Sunan at-Tirmidzi, cet ke-2, jilid 4, (Mesir: Mathba’ah Mustafa
al-Babi al-Halbi, 1975), hlm. 62, no hadits. 1462
[44] Abu al-‘Ala Muhammad Abdurrahman bin
Abdirrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatu al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’u at-Tirmidzi,
jilid 5, (Bairut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, t.t.), hlm. 25
[45] Fakhruddin az-Zaila’i al-Hanafi, Tabyyinu
al-Haqaqi...hlm. 207
[46] Ibnu Qudamah, al-Mughni, jilid. 9, cet
ke-3, (Riyad: Dar al-‘Alim al-Kutub, 1997), hlm179
[47] Abi Zakariya
Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudha at-Thalibin wa Umdatul Muftin,
jilid. 10, cet ke-3, (Bairut: al-Maktab al-Islami, 1991), hlm. 176
[48] Abu Abdillah
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad
al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet ke-1, jilid 4, (Kairo: Dar al-Hadits, 1995),
hlm. 190, no hadits. 4250
[49] Abi al-Hasan Nuruddin al-Mala al-Harawi
al-Qari, Marqatu al-Mafatih Syarhu Misykatu al-Mashabih, cet ke-1, jilid
2, (Bairut: Dar al-Fikri, 2002), hlm. 513-514
[50] Abdul Qadir Audah adalah salah satu tokoh
pergerakan Islam kontemporer. Beliau lahir pada tahun 1906. Beliau merupakan
salah satu da’i Islam pada masa kini dan pemimpin besar Ikhwanul Muslimin.
Kalimat-kalimat yang diucapkan didengar dengan sangat baik, posisinya penting,
khususnya bagi Ikhwanul Muslimin dan seluruh Masyarakat Mesir pada umumnya.
Abdul Qadir Audah adalah intelektual handal, hakim berpengalaman, pakar
undang-undang yang brilian. Diantara karya beliau adalah al-Islam wa
Aodha’una al-Qaanuniyah, al-Islam wa Aodha’una as-Siyasah, al-Islam
baina Jahli abnaaihi wa Ajzi Ulama’ihi, dan diantara salah satu karya
beliau yang sangat monumental adalah at-Tasyri’ al-Jina’i fi al-Islam.
Beliau wafat
pada sore hari, ketika aksi rakyat Mesir pada 28 Februari 1954 yang menuntut
agar pemerintah meninggalkan berbagai bentuk kedzaliman dan menyingkirkan
orang-orang yang berbuat dzalim. Akan tetapi aksi tersebut tidak membuka hati
pemerintah Muhammad Najib yang dzalim tersebut. Maka, pada akhirnya Abdul Qadir
Audah dihukum gantung dengan berbagai tuduhan yang tidak mendasar hingga beliau
syahid pada tahun 1954. Tim Kajian Manhaj Tarbiyah, “Abdul Qadir Audah”, dalam https://mtalhur.files.wordpress.com/2013/04/4-abdul-qadir-audah2.pdf.
Diakses 20 Februari 2018, pukul. 17.53
[51] Abdul Qadir
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, jilid 1, (Bairut: Dar al-Kitab
al-‘Arobi, t.t.), hlm. 128
[52] Ibid...hlm.128.
Abi Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman al-Maghribi, Mawahibul
Jalil lil Mukhtasar al-Khalil... hlm. 319
[53] Abdul Qadir
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami....hlm. 130-133
[54] Ibid....hlm.130
[55] Ibnu Qayyim
al-Jauziyah, Jami’ul Fiqhi, jilid. 6, cet ke-1, (ttp.: Dar al-Wafa’, 2000), hlm. 560
[56] Muhammad bin
Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad Syamsuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lamul
Mauqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, jilid. 2, cet ke-1, (Bairut: Dar AL-Kutub
al-Ilmiyah, 1991), hlm. 221. Burhanuddin Abi al-Wafa’ Ibrahim, Tabshirah
al-Ahkam, jilid. 2, (Riyad: Dar ‘Alimul Kutub, 2003), hlm. 218
[57] Ibnu Qayyim
al-Jauziyah, Jami’ al-Fiqhi... hlm. 561
[58] Abdul Qadir
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami,....hlm. 132-133. Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud, Bada’i
as-Shana’i fi Tartibi asy-Syara’i, jilid. 7, cet ke-2, (ttp.: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1986), hlm. 64
[59] ‘Alauddin, Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad
al-Kasani, Badai’ as-Shanai’ fi at-Tartibi asy-Syarai’....jilid. 7, hlm.
63. Abu Abbas Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarafi, adz-Dzakhira....hlm.
122. Muhyiddin an-Nawawi, Majmu’
Syarhul Muhadzab...jilid. 20, hlm. 121. Syamsuddin Muhammad asy-Syarbini, Mughni
Muhtaj ila Ma’rifah al-Ma’ani Alfadz al-Minhaj, jilid.5, cet ke-1, (ttp.:
Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1994), hlm. 522. Ibnu Qudamah, al-Mughni....jilid.
9, hlm. 176
[60] Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i
al-Islami....hlm. 150.
[61] Syihabuddin Muhammad bin Abi Abbas, Nihayatul
Muhtaj ila Syarh al-Minhaj....jilid. 8, hlm. 18-19. Abi an-Naja Syarafuddin
Musa al-Hajawi al-Maqdishi, al-Iqna’fi al-Fiqhi Imam Ahmad bin Hanbal,...hlm.
269. Ibrahim bin Ali bin Muhammad al-Ya’mari, Tabshirah al-Ahkam fi Ushul
al-Aqdhiyah wa Manahijul Ahkam, jilid. 2, cet ke-1, (ttp.: Maktabah
al-Kuliyat al-Azhariyah, 1986), hlm. 26
[62] Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud, Bada’i
as-Shana’i fi Tartibi asy-Syara’i...hlm.63. Syarafuddin Musa al-Hajawi
al-Maqdisi, al-Iqna’ Fi Fiqhi al-Imam Ahmad bin Hanbal, jilid. 4,
(Bairut: Dar al-Ma’rifah, t.t,), hlm 271.
[63] Burhanuddin
Abi al-Wafa’ Ibrahim, Tabshirah al-Ahkam... hlm. 260-269. Ali bin
Muhammad al-Amadi, al-Ihkam fi Ushuli al-Ahkam, jilid. 2, cet ke-2,
(Bairut: Dar al-Islami, 1402 H), hlm. 171.
[64] Ali bin
Muhammad al-Amadi, al-Ihkam fi Ushuli al-Ahkam, jilid. 1, hlm. 173-174.
Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa min ilmi al-Ushul,
jilid. 1, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H), hlm. 76
[65] Abi Hasan Ali
bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah al-Wilayat
ad-Diniyah, cet ke- 1, (Kuwait: Maktabah Dar Ibnu Qatibah, 1989), hlm. 312
[66] Abdul Qadir
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami... hlm. 156
[67] Muhammad Abu
Zahroh, al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqhi al-Islam, (Kairo: Dar
al-Fikri al-‘Arabi, t.t.), hlm. 69. Bakar bin Abdullah Bawu Zaid, al-Hududa
wa Ta’ziratu ‘Inda Ibnu Qayyim, cet ke- 2,
(Riyad: Dar ‘Ashimmah, 1315 H), hlm. 460
[68] Ahmad Fathi
Bahnasi, at-Takzir fi al-Islam... hlm. 35. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Jami’ al-Fiqhi.....hlm.
547
[69] Muslim bin Hajaj
an-Naisaburi, Shahih Muslim Kitab al-Imaroh, Bab Idza Buyi’a li
Khalifataini, No. 1853, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2015), hlm. 743.
Ahmad bin Husain bin ‘Ali bin Musa al-Khurasani, as-Sunanu as-Shagir lil
Baihaqi Bab al-Aimmah min Quraisy wa la Yushlih Imamani, No. 3138, jilid.
3, (Pakistan: Jami’at ad-Dirasat al-Islamiyah, 1989), hlm. 269
[70] Muslim bin
Hajaj an-Naisaburi, Shahih Muslim Kitab al-Imaroh, Bab Man Farroqo Amra
al-Muslimin Wa Huwa Mujtami’un , No 1852....hlm. 742
[71] Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syarah
an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hijaj, jilid. 12, cet ke-2,
(Bairut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Araby, 1392), hlm. 242
[72] Imam an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh
an-Nawawi, jilid. 6, cet ke- 4, (Kairo: Dar al-Hadits, 2001), hlm. 483
[73] Abi
Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i, as-Sunan al-Kubra Kitab ar-Rajmu
Bab Iqamatur Rajulu al-Hadda ‘ala Walidatihi Idza Hiya Zanat, No Hadits.
7221, jilid. 6, cet ke-1, (Bairut: Muassasatu ar-Risalah, 2001), hlm. 456
[74] Abi Isa
Muhammad bin Isa bin Surah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi Kitab al-Hudud Bab
Man Syaraba al-Khamara Fajliduhu wa man ‘Ada fi ar-Rabi’ah Faqtuluhu, No
Hadits. 1444, cet ke- 6, (Bairut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 2016), hlm. 370. Abi
Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah Kitab al-Hudud Bab
Man Syariba al-Khamra Miraran, No Hadits. 2572, cet ke- 4, (Lebanon: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 2013), hlm. 415. Abi Dawud Sulaiman bin al-‘Asy’asy
as-Sijistani ,Sunan Abi Dawud Kitaba al-Hudud Bab Idza Tataba’a fi Syurbi
al-Khamri, No Hadits. 4482,.... hlm. 705
[75] Muslim bin
Hajaj an-Naisaburi, Shahih Muslim Kitab Taubah Bab Baraati Harami an-Nabi
SAW mina Ribah , No 2771....hlm. 1069
[76] Ibnu Mulqim Umar bin Aly bin Ahmad bin
Muhammad al-Misyri as-Syafi’i, Tadzkiroh fi al-Fiqhi asy-Syafi’i,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), hlm. 132
[77] ‘Alauddin, Abu
Bakar bin Mas’ud bin Ahmad al-Kasani, Badai’ as-Shanai’ fi at-Tartibi
asy-Syarai’, cet ke-2, jilid. 7, (ttp.: al-Kutub al-Ilmiyah, 1986), hlm.
63. Muhammad bin Ahmad bin Muhammad ‘Alasy, Manhu al-Jalil Syarhu Mukhtasar
Khalil, jilid. 3, (Bairut: Dar al-Fikri, 1989), hlm. 149. Syamsuddin
Muhammad bin Abi Abbas, Nihayah al-Muhtaj ila Syarhi al-Minhaj, jilid.
7, (Bairut: Dar al-Fikri, 1984), hlm. 293. ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad
bin Qudamah al-Maqdisi, asy-Syarhu al-Kabir ‘ala Matan al-Muqni’, jilid.
9, (ttp.: Dar al-Kitab al-‘Arabi lin Nasyr wa at-Tauzi’, t.t.), hlm. 22
[78] Wahbah
az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu.... hlm. 531
[79] Ahmad Fathi Bahnasy, at-Takzir fi al-Islam...
hlm. 101
[80] Jadwi Hatim, Jaraim
at-Ta’zir fi at-Tasyri’ al-Islami, Tesis S2, (Aljazair: Universitas
Muhammad Khidir Biskra, 2014), hlm. 27
[81] Ibrahim bin
Fahd bin Ibrahin al-Wadi’an, Qawaid wa Dhawabit al-Uqubah al-Hudud wa
at-Ta’zir, Desertasi S3, (Riyadh: Universitas Naif al-Arabiyah lil
‘Ulum al-Amniyah, 2007), hlm. 255
[82] Mawardi, al-Ahkam
as-Sulthaniyah, (Kairo: Dar al-Hadits, 2006), hlm. 344
[83] Abdul Hamid
Ibrahim al-Majali, Musqitath al-‘Uqubah
at-Ta’ziriyah wa Mauquf al-Muhtasab minha, (Riyad: al-Markaz al-‘Arabi lil-Hirasat
al-Amaniyah wa at-Tadrib,1992), hlm. 89
[84]Abdul Hamid
Ibrahim al-Majali, Musqitath al-‘Uqubah
at-Ta’ziriyah wa Mauquf al-Muhtasab minha....hlm. 275
[85] Muhammad bin
Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab Manaqib al-Anshar, Bab Wufudi
al-Anshori Ila Nabi SAW bi Makkah wa Bai’ati al-‘Aqobah No. 3892....hlm.
705
[86] Ahmad bin
al-Husaini bin Ali bin Musa al-Khurasani, as-Sunan al-Kubra lil Baihaqi Bab
al-Hudud Kafaraat, jilid. 8, cet ke- 3, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2003), hlm. 569
[87] Dapertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), cet ke-3, (ttp.: t.p, t.t.), hlm. 767
[88] Ahmad Warson
Munawwir, al-Munawwir Arab-Indonesia, cet ke-14, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), hlm. 1217
[89] Abdullah bin
Abdul Hamid al-Atsari, Anwa’ul Kufri, (ttp.: Dar Ibnu al-Khuzaimah,
t.t.), hlm. 6
[90] Ibrahim Anas
dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: t.p, 1972), hlm. 827
[91] Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari, Anwa’ul...hlm.
6
[92] Taqiy ad-Din Ahmad bin Taimiyah al-Harani, Majmu’atul
Fatawa Li asy-Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, jilid. 12, (Kairo: Dar
al-Hadits, 2006), hlm. 335
[93] Zarkasyi
Badruddin Muhammad bin Bahawar asy-Syafi’i, al-Mansur fi al-Qawaidh,
(ttp,: Wazaratu al-Auqaf wa ast-Tsnun, 794 H), hlm. 84
[94] Abdul Qadir
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami.... hlm. 275
[95] Taqiyuddin
an-Nabhani, asy-Syakhsiyah al-Islamiyah, jilid 2, cet ke- 5, (Bairut:
Dar al-Ummah, 2003), hlm. 222
[96] Ibnu Katsir, Lubbabut
tafsir min Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghaffar E.M dkk, jilid. 1,
(Bogor Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2004), hlm. 81
[97] Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa
al-Qital fi asy-Siyasah asy-Syar’iyah, cet ke- 2, (Bairut: Daar Ibnu Hazm:
1996), hlm. 206. Taqiyuddin an-Nabhani, asy-Syakhsiyah al-Islamiyah....
hlm. 227
[98] Utsman Jam’atu Dhamriyah, Ushul al-‘Alaqat
ad-Dauliyah fi Fiqhi al-Imam Muhammad bi al-Hasan asy-Syaibani Dirasah Fiqhiyah
Muqarinah, jilid 1, cet ke- 1, (ttp.: Dar al-Ma’aly. 1999), hlm. 583
[99] Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital fi
asy-Siyasah asy-Syar’iyah.... hlm. 1472
[100] Taqiyuddin
an-Nabhani, asy-Syakhsiyah al-Islamiyah.... hlm. 233