Minggu, 05 November 2017
Senin, 30 Oktober 2017
ZAKAT PROFESI
Zakat
merupakan rukun ketiga dari rukun islam yang lima. Allah telah mewajibkannya
kepada seluruh umat islam untuk mengeluarkan zakat dari sebagian harta yang ia miliki,
seperti firman Allah Ta’ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا
أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ
تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ
اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah)sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah Ta’ala Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS.
al-Baqarah: 267)
Ayat
di atas menjelaskan bahwa sebagian dari hasil usaha (harta) yang kita peroleh
melalui pekerjaan-pekerjaan kita wajib kita keluarkan zakatnya. Harta yang kita
miliki, pada hakikatnya adalah milik Allah Ta’ala. Allahlah yang kemudian
melimpahkan amanah kepada para pemilik harta, agar dari harta yang ia peroleh
dari hasil kerjanya untuk dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian, harta dalam
pandangan islam adalah amanah Allah Ta’ala. Disinilah sikap amanah harus
dipupuk, sebab seorang muslim dituntut untuk mennyampaikan amanah tersebut
kepada ahlinya.
Dalam
hukum islam barang-barang yang wajib dikeluarkan zakatnya terbabi menjadi dua,
yaitu yang sudah terdapat kesepakatan ulama (ijma’) dan yang masih
diperselisihkan (ikhtilaf). Jenis yang pertama adalah barang-barang yang telah
dijelaskan secara gambalng dalam teks hadits, seperti zakat pertanian, peternakan,
emas dan perak, perdagangan dan harta temuan. Barang-barang itu sudah
dijelaskan secara rinci, ulai dari kadar nisabnya maupun kadar zakatnya.
Sedangkan yang kedua adalah jenis yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam
teks hadits, yang merupakan perkembangan masyarakat, seperti zakat profesi dan
jenis-jenis usha baru lainnya. Bagian yang kedua ini merupakan wilayah ijtihad,
sehingga wajar jika terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Untuk bagian
yang kedua ini para ulama mengambil dalil keumuman surat al-Baqarah ayat 267
yang telah tercantum diatas. Akan tetapi, disini penulis akan membahas bentuk
kedua yaitu barang yang masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai
kewajiban zakatnya, khususnya pada zakat profesi.
Definisi zakat
profesi
Zakat profesi dikenal dengan
isltilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat gaji pegawai) atau kasb
al-‘amal wa al-mihan (zakat hasil pekerjaan dan profesi swasta). Zakat
profesi didefinisikan sebagi zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau
keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang
atau lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhu nisab.
Zakat profesi
merupakan perkembangan kontemporer, yaitu disebabkan adanya profesi-profesi
modern yang sangat mudah menghasilkan banyak uang. Misalnya profesi dokter,
dosen, arsitek dan lain sebagainya. Kenyataan membuktikan bahwa pada
akhir-akhir ini banyak orang yang karena profesinya, dalam waktu relatif
singkat akan tetapi menghasilkan banyak uang yang terkadang mencapai nisab
zakat. Jika persoalan ini dikaitkan dengan pelaksanakan zakat yang berjalan di
masyarakat maka terlihat adanya kesenjangan atau ketidakadailan antara petani
yang memilki penghasilan kecil dan mencurahkan tenaga yang banyak dengan para
profesional misalnya dokter, insinyur, notaris, dosen yang hanya dalam waktu
relatif singkat memilki hasil yang cukup besar tanpa harus mencurahkan tenaga
yang banyak. Adapun pekerjaan atau keahlian profesional tersebut bisa dalam
bentuk usaha fisik, seperti pegawai atau buruh, usaha pikiran dan keterampilan
sperti kosultan, notaris, insinyur, dan dokter, usaha kedudukan seperti komisi
dan tunjangan jabatan, dan usaha lain seperti investasi. Hasil usaha profesi
juga bisa berfariasi, misalnya hasil yang teratur dan pasti setiap bulan,
minggu atau hari seperti upah pekerja dan pegawai atau hasil yang tetap dan
tidak dapat diperkiraan secara pasti sepertin kontraktor dan royalti pengarang.
Pendapat ulama
tentang zakat profesi
Ulama berbeda pendapat mengenai
hukum zakat penghasilan atau profesi. Mayoritas ulama empat madzhab tidak
mewajibkan zakat penghasilan pada saat menerima kecuali sudah mencapai nisob
dan haul. Adapun pendapat ulama mutakahirin seperti Yusuf al-Qardawi dan Wahbah
az-Zuhail, menegaskan bahwa zakat profesi itu hukumnya wajib pada saat
memperolehnya, meskipun belum mencapai nisab, ini berdasarkan pendapat sebagian
sahabat (ibnu Abbas, ibnu Mas’ud, dan Mu’awiyah), sebagian tabi’in (az-zuhri,
hasan al-basri, dan makhul). Dan pendapat Umar bin Abdul Aziz, Baqir, Shadiq,
Nasir dan Daud azh-Zhahiri.
Adapun kewajiban zakatnya adalah 2,5
persen, berdasarkan keumuman nash yang mewajibkan zakat uang, baik sudah
mencapai satu haul atau ketika menerimanya. Jika sudah dikeluarkan zakatnya
pada saat menerimanya, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat lagi pada akhir
tahun. Dengan demikian ada kesamaan antara pegawai yang menerima gaji secara
rutin dengan petani yang wajib menegeluarkan zakat pada saat panen, tanpa ada
perhitunga haul.
Menurut al-Qardhawi nisab zakat
profesi senilai 85 gram emas dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5
persen. Landasan fiqih (at-takyif al-fiqih) zakat profesi ini menurut
Qardhawi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untuk al-maal
al-mustafad (harta perolehan). Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru
yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang
disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerja, dan yang semisalnya.
Al-Qardhawi mengambil pendapat sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu
Mas’ud dan sebagian tabi’in seperti az-Zuhri, Hasan Basri, dan Makhul yang
mengeluarkan zakat dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya tanpa
mensyaratkan haul. Bahkan al-Qardhawi melemahkan hadits yang mewajibkan haul
bagi harta zakat, yaitu hadits Ali bin Abi Thalib, yang merupakan sabda nabi:
مَنِ
اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Barangsiapa
menghasilkan harta maka tidak ada kewajiban zakat pada harta itu hingga berlalu
atasnya waktu satu tahun” (HR. Abu Daud)
Dari penjelasan diatas dapat kita
simpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi wajib atau
tidaknya zakat profesi. Adapun ulama empat madzhab tidak mewajibkan untuk
mengeluarkan zakat profesi kecuali telah mencapai nisab dan haul. Sedangkan
menurut Adapun pendapat ulama mutakahirin seperti Yusuf al-Qardawi dan Wahbah
az-Zuhail, menegaskan bahwa zakat profesi itu hukumnya wajib pada saat
memperolehnya, meskipun belum mencapai nisab. Maka pendapat yang rajih adalah
pendapat ulama mutakahirin seperti Yusuf al-Qardawi dan Wahbah az-Zuhail,
karena zakat profesi diakui oleh syariat dan mempunyai landasan dari al-qur’an
dan sunnah. Adapun kadar yang dikeluarkan pada zakat profesi adalah 2,5 persen.
Wallahua’lam bis showab
Referensi:
· Wahbah az-Zuhaili, Fiqih
islam wa adillatuhu, jilid 3, hlm.279-280
· Yusuf al-Qardawi, Fiqhu az-zakah, jilid
1, hlm.489
· Muhammad bin Abdurrahman
bin Abdurrahim al-Mubarak Furi, Tuhfatul ahwadzy, jilid 3, hlm. 219
Takdir yang Indah, Akibat Sabar dalam Taat
Di tengah guguran salju, disebuah universitas yang terletak di Eropa. Ketika
itu, ada seorang mahasiswi eropa berhijab lagi berparas cantik yang sedang
menunggu taxi dipinggir jalan, lama ia menunggu, akan tetapi tidak ada satu pun
taxi yang menghampirinya. Berlalu sepuluh menit, dua puluh menit, setengah jam,
satu jam hingga larut malam ia menunggu, tapi tidak ada satupun taxi yang datang
menghampirinya.
Hingga akhirnya ia melihat sebuah rumah yang tidak jauh dari tempat
ia menunggu taxi, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak di rumah itu. Kemudian ia bergegas menuju rumah itu, lalu ia
pun mengetuk pintunya. Setelah ia mengetuk pintu rumah itu, akhirnya terbukalah
pintu dan terlihat di dalamnya seorang lelaki tampan yang menghuni rumah
tersebut. Kebetulan lelaki itu juga mahasiswa yang bersal dari universitas yang
sama dengannya. Kemudian ia meminta izin untuk beristirahat sejenak di rumah lelaki
tampan itu. Karena lelaki itu kasihan melihatnya, akhirnya lelaki itu pun
mengizinkannya. Sanking lelahnya ia menunggu taxi dan akhirnya mendapat tempat
untuk beristirahat, akhiranya ia pun tertidur pulas di rumah lelaki itu.
Tak lama kemudian, ia terbangun dari tidurnya, sembari melihat ke
samping, betapa terkejutnya ia bahwa lelaki itu tidur tepat di sampingnya. Kemudian
ia lari sekencang-kencangnya sembari menagis dan khawatir, akan apa yang terjadi padanya selama ia
tertidur.
Sampailah ia di rumah, kemudian ia mengadukan semua yang terjadi
padanya tadi malam kepada ayahnya. Mendengar cerita dari anak gadisnya sang
ayah sangat marah kepada lelaki itu. Kemudian sang ayah bergegas pergi untuk
mendatangi rumah lelaki tersebut, kebetulan sang ayah mengetahui alamat rumah
lelaki itu karena sang ayah termasuk salah satu dosen yang ada di universitas
tersebut.
Sampailah sang ayah di rumah lelaki itu. Berkali-kali sang ayah
mengetuk pintu rumah itu, akan tapi tidak ada sama sekali jawaban dari
penghuninya. Hingga akhirnya ada seorang laki-laki yang memberitahu sang ayah,
bahwa penghuni rumah tersebut sedang berada di rumah sakit. Kemudian sang ayah
menanyakan alamat rumah sakit tersebut kepada laki-laki itu.
Sampailah sang ayah di rumah sakit, sang ayah bergegas mencari
tempat dimana lelaki itu di rawat. Tak lama kemudian sang ayah menemukan kamar
dimana lelaki itu dirawat. Kemudian sang ayah terkejut melihat tangan lelaki
itu diperban sembari mendekati lelaki itu. Kemudian sang ayah bertanya kepada
lelaki itu,
“ Apa yang terjadi dengan tangan mu?,,,”
kemudian lelaki itu menjawab,,,,
“ Tadi malam ada seorang wanita yang meminta izin untuk
beristirahat sejenak di rumahku, karena aku melihat rasa letih yang sangat di
wajahnya, akhirnya aku megizinkannya untuk beristirahat sejenak di rumahku.
Setelah aku persilahkan ia duduk aku pun beranjak untuk membuatkan segelas teh
hangat untuknya, karena aku tahu pasti ia membutuhkannya. Tak lama kemudian aku
kembali menghampirinya dengan segelas teh hangat yang telah aku buat. Dan
setelah itu aku melihatnya tertidur pulas, ku tatap wajahnya yang begitu
cantik, hingga pada kondisi yang memuncak libidoku naik. Ketika libidoku naik
karena melihatnya, aku segera bergegas ke dapur dan mencari sumber api,
kemudian aku membakar tangan ku, ketika aku membakar tangan ku libidoku
menurun, akan tetapi ketika aku kembali menatap wajahnya libidoku naik kembali
dan sesegera mungkin aku membakar tangan ku kembali hingga libidoku turun, dan
begitu seterusnya, hingga pada puncaknya aku pingsan tepat di sampinggya,
hingga sampailah aku di rumah sakit ini.”
Kemudian dengan spontan sang ayah berkata kepada lelaki tersebut,’’AKU
NIKAHKAN PUTRIKU UNTUKMU, WAHAI LELAKI SHOLEH”
Minggu, 29 Oktober 2017
Pandangan Islam Terhadap Sistem Perpajakan di Indonesia
A.
DEFINISI
Secara
etimologi pajak dikenal dengan istilah Dharibah. Dharibah adalah isim
mufrad (kata tunggal) dari dharib yang artinya sesuatu yang diwajibkan
pemerintah kepada masyarakat dari hartanya.[1]
Dalam
kitab Mu’jamul al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’ashirah, Dharibah
adalah pemerintah yang mewajibkan pajak kepada setiap orang dari kepemilikan,
pekerjaan, dan penghasilan untuk kemaslahatan pemerintah yang bersifat jabariyyah
(sifat yang tidak ada ikhtiyar manusia), hal ini dibebankan kepada semuan
masyarakat.[2]
Dalam kitab Syamsy al-‘Ulum wa Dawau Kalam al-A’rabi min al-Kulum
definisi Dharibah adalah sesuatu yang dibebankan kepada manusia dari jizyah,
kharaj, dan usyur.[3]
Dari
beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa istilah jizyah, kharaj dan
usyur temasuk istilah lain dari pajak, seperti yang terdapat dalam kamus
Munawir. Dalam kamus al-Munawwir ketiga istilah tersebut diartikan
pajak.[4]
Adapun
definisi pajak secra terninologi adalah, Yusuf al-Qardawi mendefinisikan pajak
berlandaskan pendapat para ahli keuangan yakni kewajiban yang ditetapkan
terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan
ketentuan, tanpa mendapat timbal balik dari negara. Pajak juga difungsikan
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisir
sebagai tujuan ekonomi, sosial, politik, dan tujuan-tujuan lain yang ingin
dicapai oleh negara.[5]
B.
MACAM-MACAM PAJAK
1.
Pajak dalam Islam
Terdapat
beberapa istilah pajak dalam islam yakni kharâj, jizyah, dan usyur. Berikut penjelasan istilah-istilah tersebut,
1.
Kharaj.
Kharaj adalah pajak
atas tanah atau bumi yang pada awalnya dikenakan terhadap wilayah yang
ditaklukkan melalui perang ataupun karena pemilik mengadakan perjanjian damai
dengan pasukan muslim.[6]
Dalam kitab Ahkâmul Kharâj fi
al-Fiqh al-Islami, definisi kharâj dibagi menjadi dua, secara umum
dan khusus. Definisi kharâj secara umum adalah harta-harta yang
pemerintah menjadi pengurus dalam penarikan pajak dan penyalurannya sesuai pada
haknya, harta-harta tersebut adalah zakat, jizyah, kharâj
(definisi secara khusus), usyur dan lain sebagainya dari penghasilan
Daulah Islamiyah. Sedangkan definisi kharâj secara khusus adalah beban
atau pajak yang dibebankan imam kepada tanah kharâj yang dikelola (tanah
yang tumbuh).[7]
2.
Jizyah.
Jizyah artinya pajak
tanah. Bentuk pluralnya adalah jizan aw jizâan. Dalam kitab Lisanul
Arabjizyah artinya sesuatu yang diambil dari ahlu dzimmah[8].[9]
Menurut Wahbah az-Zuhaili, Jizyah adalah harta yang diambil dari ahlu
dzimmah karena harta tersebut melindungi mereka dari diperangi.[10]
Menurut al-Mawardi jizyah adalah pungutan harta yang
dikenakan atas setiap kepala. Kata jizyah itu diambil dari kata al-jaza
(balasan). Makna ini memiliki dua pengertian, pertama balasan atas
kekafiran mereka dengan mewajibkan jizyah itu bagi mereka sebagai
penghinaan atas kekafiran mereka. Kedua, sebagai balasan atas keamanan
yang kita berikan kepada mereka dengan mengambil jizyah tersebut dari
mereka dengan tidak terpaksa.[11]
3. Usyur.
Istilah Usyur memiliki dua makna yaitu
Usyur Shadaqah dan Usyur Tijarah.[12] Usyur shadaqah adalah sepersepuluh
persen dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan. Ini termasuk zakat
yang diambil dari seorang muslim dan didistribusikan sebagaimana distribusi
zakat. Sehingga Usyur ini termasuk dalam pembagian zakat dan lebih menggunakan
istilah zakat.[13] Usyur tijârah adalah sepersepuluh
persen diambil dari pedagang-pedagang kafir yang memasuki wilayah Islam karena
membawa barang dagangan.
Dalam kitab Fikih Ekonomi Umar bin
al-Khattab mendefinisikan usyur tijârah dengan harta yang diambil
petugas negara yang dipersiapkan untuk dagang ketika melintasi daerah Islam.[14]
2.
Pajak di Indonesia[15]
Di saat ini terdapat beberapa macam pajak yang sering kita jumpai
di Indonesia, diantaranya:
a.
Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhadap tanah, lahan, dan
bangunan yang dimiliki seseorang.
b.
Pajak
Penghasilan (PPH), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan
seseorang.
c.
Pajak
Pertambangan Nilai (PPN)
d.
Pajak
Barang dan Jasa
e.
Pajak
Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
f.
Pajak
Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap sistem perseroan (kongsi) atau
badan lain semisalnya.
g.
Pajak
Transit/Person dan lain sebagainya.
C.
HUKUM
1.
Pajak dalam Islam
Berdasarkan istilah-istilah di atas (al-Jizyah,
al-Kharaj, dan al-‘Usyur), kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya
diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai
bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum
muslimin, para ulama dari zaman sahabat, tabi’in hingga sekarang berbeda
pendapat di dalam menyikapinya.
Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa pajak
tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin
sudah dibebani kewajiban zakat. Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi
pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
Firman Allah Ta’ala:
يا أيها الذين أمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل
“Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang
batil….”. (QS.
An-Nisa’: 29).
Hadits yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha,
bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ فِي
الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali
zakat. ”[17] (HR Ibnu Majah I/570 no.1789. Hadits ini
dinilai dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani karena di dalam sanadnya ada
perawi yang bernama Abu Hamzah (Maimun), menurut imam Ahmad bin Hanbal dia
adalah dha’if hadistnya, dan menurut Imam Bukhari, ‘dia tidak cerdas’).
Mereka mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i yang
menetapkan adanya hak wajib pada harta selain zakat hanyalah bersifat anjuran
(bukan kewajiban yang harus dilaksanakan), seperti hak tamu atas tuan rumah.
Mereka juga mengatakan bahwa hak-hak tersebut hukumnya wajib sebelum
disyariatkan kewajiban zakat, namun setelah zakat diwajibkan, maka hak-hak
wajib tersebut menjadi mansukh (dihapuskan/dirubah hukumnya dari wajib menjadi
sunnah).
Pendapat kedua: Diantara ulama yang memperbolehkan pajak diantara lain adalah,
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali[18]
termasuk ulama yang membolehkan pemimpin membebankan biaya kepada orang kaya
untuk membantu biaya kepentingan negara seperti biaya perang. Berikut penuturan
beliau dalam kitab al-Musthafa,
“Apabila kas
negara kosong dan biaya tidak mencukupi untuk biaya militer, ditakutkan musuh
akan masuk ke dalam negara Islam, atau muncul pemberontak dari pihak musuh yang
bermaksud jahat. Maka diperbolehkan kepala negara memungut biaya dari orang
kaya untuk mencukupi pembiayaan tentara. Karena telah kita ketahui apabila timbul
dua bahaya maka hukum syara’ mengharuskan menolak bahaya yang lebih besar
(bahaya yang mengancam jiwa dan harta) dengan bahaya yang lebih kecil (beban
yang diberikan kepada orang kaya). Jika di negeri itu tidak terdapat kepala
negara yang kuat yang dapat memelihara segala urusan negara dan menolak segala
bahaya.”[19]
Dari penuturan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapat
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali memperbolehkan hal tersebut dengan syarat.
Diantara syarat-syaratnya adalah, jika kas negara kosong, akan muncul bahaya
yang lebih besar jika tidak memungut biaya dari orang kaya, dan tidak adanya
kepala negara yang dapat memelihara segala urusan negara serta menolak segala
bahaya.
Ibrahim bin Musa asy-Syathibi[20]
(yang lebih terkenal dengan sebutan asy-Syathibi) senada dengan Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali dalam hal pembolehan mengambil harta dari orang kaya. Yaitu
jika Negara membutuhkan penambahan jumlah pasukan guna menjaga pos-pos
perbatasan dan melindungi daerah kekuasaan yang semakin luas. Sementara baitul
mal dalam keadaan kosong padahal kebutuhan pasukan juga meninggi dan sulit
tercukupi. Maka menurut Asy-Syathibi seorang imam dalam keadaan tersebut dengan
syarat imam yang adil, boleh menggunakan harta orang-orang kaya untuk menutupi
keadaan atau kondisi yang sulit tersebut. Pungutan tersebut diambil sampai
baitul mal terisi kembali.
Asy-Syathibi menjelaskan kebijakan pengambilan harta dari orang
kaya sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, tidak terjadi pada era dulu.
Dikarenakan harta di baitul mal telah mencukupi pembiayaan semua keperluan
ummat. Asy-Syathibi berhujjah dengan meninjau dari sisi maslahat yang akan
dicapai yakni terhindar dari bahaya yang akan diterima. Bahaya tersebut yakni
jika imam tidak melakukan sistem ini maka kekuasaannya akan hancur, kemudian
tempat tinggal seluruh masyarakat sangat dimungkinkan akan dikuasai musuh
(orang-orang kafir).
Asy-Syathibi
juga berpendapat jika dibandingkan antara bahaya ini (mengambil sebagian harta)
dengan bahaya yang mungkin timbul (kalau kekuasaan jatuh ditangan musuh), maka
para imam (pemimpin) berhak mengambil harta dari orang kaya.[21]
Hal ini disebabkan jika kekuasaan jatuh ditangan musuh maka Syari’at Islam akan
hancur dan Undang-Undang Islam tidak akan ditegakkan, bahkan kaum Muslimin akan
dibantai dan dibinasakan.
2.
Pajak di Indonesia[22]
Apakah pajak hari ini sudah sesuai dengan
syarat-syarat yang telah ditetapkan para ulama di atas? maka jawabannya adalah
tidak sesuai, hal itu dikarenakan beberapa sebab:
1. Negara belum komitmen untuk menerapkan
syariat Islam.
2. Pajak hari ini dikenakan juga pada barang
dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak
langsung akan membebani rakyat kecil.
3. Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk
hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah
digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan
budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya, bahkan yang lebih
ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk
dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah,
pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.
4. Pajak hari ini diwajibkan terus menerus
secara mutlak dan tidak terbatas.
5. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat,
padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
6. Pajak yang diwajibkan hari ini belum
dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.
7. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat
kecil, padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam
tidak diolah dengan baik, malah diberikan kepada perusahaan asing, yang
sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan
rakyat.[23]
[1] Muhammad
Rawasi Qal’ahji dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughahal-Fuqahâ, cet.
ke-2, (Libanon: Darul Nafais, 1988), hlm. 213.
[2] Ahmad Mukhtar
Abdul Hamid Umar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’âshirah, cet.
ke-1, jilid 2, (ttp.: ‘Alimul Kutub, 2008), hlm. 1355.
[3] Niswan bin
Sa’id al-Humari, Syamsy al-U’lum wa Dawâu Kalam al-A’rabi min al-Kulumi, jilid.6,
cet. ke-1, (Damaskus: Darul Fikri, 1999), hlm. 3952.
[4] Ahmad Warson
Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997).
[5] Yusuf
al-Qardawi, Fiqhu az-zakat, cet. ke-2, jilid 1, (Beirut, Muasasatur
Risalah, 1973), hlm. 997.
[6]Abdurrahman, “An-Nadmu ad-Dharibah (2004)”, tesis
(Palestina: Universitas Najahul Wathiniyah, 2004), hlm. 73.
[7] Muhammad Utsman, Ahkamu Kharâj fial-Fiqih
Islami, cet. ke-1, (Kuwait: Darul Arqam,
1986), hlm. 13.
[8]Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa
Adilatuhu,Jakarta: Gema Insani,2017, jilid 8, hlm.
[9]Ibnu Mandzur, Lisânul Arab, (Qohiroh: Dar Tauqifiyah Li At-Turots, 2009), hlm. 621. Rajab Abdul Jawad Ibrahim, Mu’jamal-Musthalahât
al-Islâmiyah fial-Misbahal-Munir, cet. ke-1, (Qahirah: Darul Afaqil
Arabiyah, 2002),hlm. 48.
[10]Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa
Adilatuhu..., hlm. 58.
[12] Abu Sulaiman Hamdan bin Muhammad al-Khatabi, Ma’alimas-Sunan
lial-Khatabi , cet. ke-1, Jilid 3, (ttp.: Muhammad Raghib at-Tabakh, 1932),
hlm. 39.
[13]Wazarotul Auqhaf wa Syu’unil Islamiyah, Al-Mausu’ah
al-Fiqhiyah,(Kuwait:
Wazarotul Auqhaf wa Syu’unil Islamiyah. t.t.),
jilid. 30, hlm. 101.
[14]Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi
Umar bin al-Khathab, terj. Asmuni Solihan Zamarkhasyi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2006),hlm. 570.
[15] https://aslibumiayu.net/10410-hukum-pajak-dalam-fiqih-islam-bagaimana-kaum-muslimin-menyikapinya.html, diakses 29/10/2017, pukul 13:21
[16] Muhammad Taki Utsman, Abhats Fiqhiyyah Fi Qadhaya Az-Zakat Al-Mu’ashirah, (Damaskus: Dar Al- Qolamt.t.), jild. 2, hlm.621-623
[17] Al-Imam Ibnu
Majah, Sunan Ibnu Majah, cet. ke-4, (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2013), hlm. 286, no. 1789
[18] Khairuddin bin Mahmud ad-Dimasyqi, al-‘Alâm,
(ttp.: Darul ‘Ilmi lil Malayyin. 2002), jilid. 7, hlm. 22
[19] Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Musthafa
fi ‘Ilmi al-Ushul, cet. ke-1,(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1413 H),hlm.
177.
[20]Abi Ishaq
asy-Syatibi, al-‘Itshâm, (Kairo: Darul Hadits, 2003), hlm.7
[21]Ibrahim bin
Musa Asy-Syathibi, al-I’tisham, jilid 3, (ttp.,: Maktabah at-Tauhid,
t.t.), hlm. 25-27.
[22] https://aslibumiayu.net/10410-hukum-pajak-dalam-fiqih-islam-bagaimana-kaum-muslimin-menyikapinya.html, diakses
29/10/2017, pukul 13:21
[23] https://aslibumiayu.net/10410-hukum-pajak-dalam-fiqih-islam-bagaimana-kaum-muslimin-menyikapinya.html, diakses 29/10/2017, pukul 13:21
Langganan:
Postingan (Atom)